webnovel

Penyihir Terhebat Bumi

# Indonesian Internasional Best Selling Author Sejarah ditulis oleh para pemenang, kata mereka. Jika demikian, bagaimana dengan sejarah Bumi, tempat kita tinggal sekarang? Dua ribu tahun yang lalu, seorang anak laki-laki bernama Emery mengalami nasib tragis. Pada nafas terakhirnya, dia dibawa dan diterima di sekolah sihir paling bergengsi di Alam Semesta. "Kamu adalah beberapa orang terpilih dari ribuan dunia manusia. Apakah kamu memegang atau tidak dari kesempatan ini, itu terserah kamu. Kamu berada di Magus Academy, puncak kecerdasan humaniora. Sihir, sains, dan semua kekuatan tersedia bagi mereka yang mencarinya. " [Scan selesai - Afinitas empat element: Air, Bumi, Tumbuhan, dan Kegelapan.] "Acolyte empat element! Hanya satu dari puluhan ribu acolyte yang memiliki ini!" Maka dimulailah perjalanan Emery bersama dengan 4 temannya dari sudut pelosok Bumi. Setiap tahun mereka kembali ke Bumi untuk tumbuh, membalas dendam, menyelamatkan sang putri, menaklukkan dunia, dan menjadi Magus Terhebat di Bumi. Nama mereka masih tertulis dalam buku sejarah kita hingga saat ini. ----- Bisa cek juga versi inggrisnya yg Trending di Global #Earth Greatest Magus atau kunjungi websitenya unutk video youtube dan link discord www.avans.xyz Terimakasih

Avan · Fantasy
Not enough ratings
418 Chs

Lebih Kuat

Emery menghela nafas dan memutuskan untuk menerima kenyataan saja. Memang, Julian serta murid-murid lain yang mempelajari elemen bumi jauh lebih berbakat darinya. Seperti yang selalu dikatakan ayahnya saat ia berlatih pedang dulu, ia hanya harus berlatih dengan lebih tekun dan berusaha dengan lebih keras untuk mengejar mereka.

Pada percobaan pertama itu, hanya ada sekitar 40 acolyte dari ribuan yang berhasil memindahkan batu itu. Sebenarnya, memindahkan batu itu kelihatannya sangat mudah, karena jika mereka berhasil menggerakkan batu itu sejauh seujung jari pun, mereka sudah akan dianggap berhasil menjadi acolyte bagian dari Institut Bumi. Tetapi kenyataannya, hanya sedikit yang berhasil. Dengan kata lain, memindahkan batu itu bukanlah sekedar masalah mengadu kekuatan semata.

Dari ratusan acolyte yang mencoba, ada sebagian yang tidak bisa memindahkan batu tetapi bisa membuat batu sedikit bergetar. Namun, membuat batu bergetar tidaklah cukup karena syarat dari Darius menyatakan bahwa batu harus berpindah. Beberapa murid yang gagal memutuskan untuk duduk, memandang tulisan di telapak tangan mereka, dan memfokuskan energi batu origin yang merembes dari balik gerbang batu itu.

Hari pun berakhir, dan sekitar seratus acolyte berhasil memindahkan batu. Sementara itu, Julian dan Emery sama sekali tidak berhasil walaupun mereka juga kembali duduk dan memfokuskan energi bumi yang merembes dari balik gerbang setelah gagal pertama kali. Dari jumlah acolyte yang berhasil pada hari pertama, dapat disimpulkan bahwa mereka yang berhasil sepertinya memiliki bakat roh tingkat S.

Warna indah oranye mulai mewarnai langit, menandakan penghujung hari. Para acolyte yang gagal diminta untuk kembali ke pulau langit mereka masing-masing.

Saat Emery dan Julian tiba di kamar mereka, mereka melihat Thrax, Chumo, dan Klea juga sedang beristirahat di ruang umum.

"Bagaimana dengan kalian? Apakah ada yang berhasil di hari pertama?" Julian bertanya sambil melambaikan tangannya.

Thrax tidak menggubris, sama sekali tidak tertarik untuk menjawab pertanyaan Julian. Tetapi, jika dilihat dari cemberut masam bibirnya dan alisnya yang terkernyit, Emery dan Julian dapat menyimpulkan Thrax juga gagal tes-nya di Institut Api. Chumo juga tidak mengatakan apa-apa, ia hanya menggelengkan kepalanya, menunjukkan bahwa seperti Thrax ia juga gagal.

Emery dan Julian memandang Klea yang sedari tadi masih belum menjawab. Saat merasakan pandangan mereka, gadis itu menjawab dengan suaranya yang manis. "Aku? Tentu saja aku berhasil."

Gadis itu membuka telapak tangannya dan menciptakan sebuah bola air kecil yang melayang-layang di tengah telapak tangannya. Bola itu mirip dengan bola angin Minerva, tapi jauh lebih kecil.

"Kau memang hebat, Klea." Emery memuji sembari mendekat untuk melihat tangan Klea lebih dekat.

"Terima kasih atas pujiannya, Emery. Tapi bagaimana dengan kalian? Apa salah satu dari kalian berhasil?" Klea menghilangkan bola air itu dan bertanya kembali kepada mereka.

Emery mengedikkan bahunya. "Belum, tapi aku akan coba lagi besok."

Klea mengangguk. "Tidak apa-apa, kalau kau gagal, belajarlah dari kesalahan lama dan capailah hasil yang lebih baik pada percobaan kedua." - Klea memandang Julian dan memicingkan matanya. "Kalau Julian bodoh itu mengganggumu atau mengganggu orang lain, katakan saja padaku, akan kuhajar dia nanti."

Julian tertawa kecut dan menggaruk kepalanya yang tidak gatal. "Kau hanya bercanda kan, Klea? Hahaha."

Di antara mereka, Klea memiliki tingkat bakat roh tertinggi. Dalam satu hari saja, gadis itu bisa meningkat pesat dengan kecepatan jauh lebih tinggi dari mereka semua. Tentu saja, Julian tidak berani macam-macam dengannya.

Hari pun berganti. Emery dan Julian segera bangun dan langsung pergi ke Institut Bumi bersama-sama. Sebenarnya, mereka ingin kembali belajar memfokuskan energi bumi dalam ruangan batu origin, tetapi seperti kata Darius, para acolyte tahun pertama hanya bisa menggunakan ruangan itu selama setengah hari, namun ia tidak mengatakan bahwa maksud 'setengah hari' itu adalah hanyalah satu sekali. Aturan itu ada karena ruangan tersebut diprioritaskan sebagai fasilitas untuk acolyte senior.

Emery merasa benar-benar kecewa, karena ia merasa bahwa ia sudah dekat dengan pemahaman energi bumi, dan ia hanya perlu sedikit lagi waktu. Akhirnya, Emery dan Julian memutuskan untuk duduk bersila dan berlatih di luar gerbang dengan memfokuskan energi serta mempelajari tulisan di tangan mereka. Walaupun mereka berada di luar gerbang, mereka masih bisa merasakan sensasi dorongan dari energi batu origin itu.

Mereka berusaha memfokuskan pikiran mereka, namun tempat itu juga adalah tempat di mana tes acolyte tahun pertama dilakukan. Sehingga, saat ada acolyte yang berhasil lulus tes, terkadang fokus mereka terpecah.

Para acolyte yang mengikuti tes jauh lebih sedikit dari kemarin karena separuh dari semua acolyte sudah diterima. Mereka yang sudah diterima dipindahkan ke area lain.

Saat Emery membuka mata, ia melihat bahwa hari sudah siang. Ia mengusap dahinya yang basah karena keringat dan memandang telapak tangannya, melihat kekuatan roh-nya meningkat satu poin lagi. Saat ia mempertimbangkan apakah ia harus mencoba keuntungan di institut ini atau pergi ke institut lain, Julian berdiri dengan cepatnya dan berteriak. "Akhirnya! Aku sudah mengerti!"

Julian mendekati salah satu batu dengan langkah cepat dan antusias dan meletakkan kedua tangannya di atas salah satu batu. Ia mengerahkan seluruh kekuatannya, hingga pembuluh darah di tangannya terlihat jelas. Seketika, tangannya memancarkan pendar kuning redup, dan akhirnya batu besar itu pun bergerak.

"Bagus! Selamat datang di Institut Bumi, nak." Darius berkata.

Julian mengepalkan tangannya ke udara dan menyunggingkan senyum bahagia. Ia sudah berhasil menyelesaikan kultivasi energi bumi, dan kekuatan roh-nya meningkat tiga poin, menjadi total 30 poin. Ia mendekati Emery dan berbisik. "Kau mau tahu bagaimana caraku berhasil, Emery?"

"Tidak." Emery menjawab tanpa membuang waktu. Tidak terlihat sedikit pun keraguan pada ekspresinya.

Julian mengernyitkan alisnya dengan bingung. "Kenapa tidak?"

Emery memandang Julian dengan serius. "Kalau kau memberiku trik-trik seperti ini terus, bagaimana aku bisa maju? Terima kasih banyak telah memberiku tawaran menarik seperti ini, tapi aku harus berusaha sendiri. Aku tidak ingin terus menjadi beban."

"Wah, hebat kau sekarang, ya?" Goda Julian. "Aku senang kau mau berusaha keras. Aku pergi dulu, aku mau lihat reaksi si barbar itu saat dia mendengar aku berhasil, hahaha."

Emery mengangguk dan melihat sekelilingnya. Dari ribuan acolyte yang datang untuk mencoba masuk, hanya tersisa sepertiga dari mereka, semuanya fokus mencoba memfokuskan pikiran mereka pada energi batu origin di balik gerbang. Kepergian Julian juga membuatnya sadar bahwa siang akan segera berakhir, digantikan oleh gelapnya malam, dan sebuah jawaban lain. Jika saja ia kuat dan percaya diri seperti Julian, mungkin ia bisa menyelamatkan ayahnya dari para Perampok terkutuk itu.

Emery tidak berbasa-basi, ia terus berusaha berlatih walau hari sudah larut malam. Walaupun malam sudah tiba, ia tidak sendirian di sana, ada banyak acolyte yang tidak bergerak dari posisi awal mereka. Seakan menyadari bahwa mereka adalah bagian dari 33% terburuk, mereka tidak mau kehilangan muka dan menggunakan kenyataan itu sebagai dorongan untuk bekerja lebih keras.

Darius dan Felicia berdiri di atas batu-batu yang mereka ciptkana dan tersenyum.

"Kau masih ingat? Kita dulu juga seperti mereka." Darius berkata.

Felicia menjawab dengan mata terbelalak. "Ha? Kau ini bicara apa? Aku masih ingat, kau dulu adalah acolyte paling malas dan banyak bicara di kelas kita."

Darius hanya tertawa. "Hahaha. Ah, masa lalu…"