Haruna dan Christian sudah berdiri di depan gerbang. Malam sudah sangat larut, Haruna tidak bisa menawarkan Christian untuk mampir.
"Terima kasih, Chris, sudah mengantarku pulang. Maaf, tidak bisa menyuruh mampir karena ini sudah jam dua belas malam. Aku rasa kamu juga harus istirahat," ucap Haruna.
"Mama," ucap Kiara. Ia berlari keluar dari dalam rumah.
Betapa leganya hati Haruna karena Kiara benar-benar sudah pulang dalam keadaan baik-baik saja. Christian memperhatikan wajah Haruna dan wajah Kiara sama sekali tidak mirip.
"Mungkinkah putrinya Haruna lebih mirip pada ayahnya?" pikir Christian.
"Om, Om ini pacarnya Mama, ya?" tanya Kiara pada Christian.
Christian tersenyum. Haruna segera menutup mulut Kiara. "Sayang, tidak boleh bicara tidak sopan seperti itu," ucap Haruna.
"Haha, putrimu sangat lucu. Boleh Om kenalan, siapa namamu, cantik?" Christian berlutut dan memegang kedua pundak Kiara.
"Kiara, Om."
"Nama yang cantik, persis seperti orangnya. Kalau Om jadi pacarnya Mama, memang Kiara setuju?" tanya Christian.
Kedua mata Haruna membelalak lebar saat mendengar pertanyaan Christian. Ia menarik Kiara menjauh dari Christian.
"Aku hanya bercanda, tidak perlu dianggap serius. Sudah malam, kalian masuklah, aku akan pulang. Selamat malam cantik, selamat malam Haruna," ucap Christian sambil mengelus rambut Kiara.
"Selamat malam, Chris. Hati-hati di jalan," jawab Haruna.
Haruna dan Kiara melambai ke arah Christian. Christian membalas lambaian tangan mereka lalu masuk ke dalam mobil dan melaju pergi meninggalkan halaman rumah Haruna.
"Sayang, kamu kemana tadi? Mama sangat khawatir. Katakan sama Mama, Kia kemana saja tadi?" tanya Haruna sambil menggendong Kiara dan membawanya masuk ke dalam kamar.
"Kia tadi main sama Om Ganteng. Kia main kuda-kudaan sama Om Ganteng, terus karena Om Ganteng ada perlu, Kia main sama Om satunya. Kia diajak ke pasar malam terus mampir ke tempat teman Om Ganteng, terus diantar pulang," ucap Kiara menceritakan panjang lebar.
"Em, Kia bertemu macan tidak?" tanya Haruna penasaran.
"Macan? Ya, ada macan, Ma. Kata Om Ganteng di sana ada macan galak, tapi Kia tidak bertemu dengan macannya," jawab Kiara polos.
"Syukurlah. Sudah, sekarang Kia bobo, ya."
"Ya, Ma. Leher dan bibir Mama kenapa?"
Haruna menutup lehernya dengan gugup. Haruna mencoba mencari alasan.
"Mama terjatuh, sudah, Kia cepat bobo. Mama mau mandi dulu," ucap Haruna. Ia segera berlari masuk ke kamar mandi. Haruna melihat bibir bawahnya yang sedikit lecet karena gigitan Tristan. Haruna juga melihat lehernya, untung saja Tristan tidak membuat tanda kissmark. Haruna bernapas lega, karena ia tidak harus mencari alasan lainnya.
***
Keesokan pagi.
"Pa, nanti malam adalah batas akhir pengembalian pinjaman. Apa rencana Papa?" tanya Anggi.
"Papa akan mencoba menjual kedai kita, meskipun tidak tahu apakah akan terjual hari ini atau tidak."
"Pa, Ma, Haruna juga sedang mencoba mencari pinjaman. Doakan Haruna semoga berhasil," ucap Haruna.
"Mama selalu berdoa semoga semua masalah ini bisa kita selesaikan."
Mereka berhenti bicara dan mulai sarapan. Seperti biasanya, keluarga kecil mereka tidak pernah makan sambil bicara. Haruna pergi bekerja setelah selesai sarapan. Ia memacu scooter matic-nya menuju Bank Berkah, tempat ia bekerja. Haruna melayani nasabah dengan senyuman manis seperti biasanya.
Di ruangannya, Tristan menatap layar laptop dengan senyuman. Ia menunggu jam istirahat, karena hari ini di jam makan siang, Haruna akan menemuinya.
"Tuan, ada telepon." Levi menyerahkan ponselnya.
"Halo," sapa Tristan.
[....]
"Baiklah, aku kesana sekarang," ucap Tristan. Tristan segera pergi meninggalkan Bank bersama Levi. Orang yang meneleponnya adalah Christian. Hari ini ada rapat dengan perusahaan real estate dari Bali. Tristan sudah dua hari tidak datang ke kantor 'IZHAM Corporation' dan membuat Christian harus menangani pekerjaan Tristan.
Jam istirahat pun tiba. Haruna segera pergi ke ruangan Direktur. Berkali-kali Haruna mengetuk pintu, tetapi tidak ada jawaban. Haruna memberanikan diri memutar gagang pintu. Belum sempat Haruna mendorong pintu, ia dikejutkan oleh sekretaris Tristan.
"Hayo, ngapain?"
"Eh, Lia, mengagetkan saja."
"Presdir Tristan tidak ada. Dia pergi terburu-buru tadi."
"Presdir Tristan? Presdir kita namanya Tristan?" tanya Haruna mencoba meyakinkan jika pendengarannya tidak salah.
"Ya. Masa kamu lupa, kan di kantin sudah aku beritahu."
Aulia pergi meninggalkan Haruna yang tertegun. Haruna lalu bersandar di dinding kantor Tristan. Haruna masuk ke dalam ruangan Tristan, ia ingin melihat sendiri, apa Tristan yang Aulia maksud adalah Tristan yang sama dengan orang yang ada di pikiran Haruna. Haruna melihat papan nama 'Tristan Izham Putra, jabatan Presiden Direktur'.
" Tidak mungkin, itu benar-benar dia. Kenapa jadi dia yang membeli bank ini? Apa dia melakukannya dengan sengaja agar bisa membalas dendam padaku?" Haruna melangkah keluar dari ruangan Tristan. Ia melangkah dengan lesu menuju toilet.
Haruna membasuh wajah pucatnya. Ia masuk ke salah satu bilik toilet dan duduk diatas toilet yang tertutup.
"Dia, sejak awal sudah merencanakan balas dendam. Orang yang membeli bank ini adalah dia. Itu tepat di hari aku bertengkar dengannya. Lalu, apakah orang yang membuat papa berhutang sebesar 2 Milyar juga dia? Aku berharap bukan, karena itu sangat keterlaluan." Haruna terus bergumam pelan. Ia tidak percaya jika Presdir baru Bank Berkah adalah Tristan. Haruna yakin Tristan tidak akan meminjamkan uang pada Haruna, apalagi sebanyak itu, jelas sangat mustahil.
Haruna mengeringkan wajahnya dengan tisu, setelah itu dia pergi ke kantin dan duduk melamun di salah satu meja dekat jendela. Pikirannya menerawang sambil menatap ke luar jendela. Rekan kerja Haruna, Sari dan Lia menghampiri dan duduk di depan Haruna. Namun, Haruna sama sekali tidak menyadarinya. Haruna tetap fokus menatap parkiran kantor hingga kedua matanya melihat sebuah mobil putih. Haruna mengenali mobil itu. Itu mobil milik Tristan. Kedua tangan Haruna mengepal kuat saat melihat Tristan keluar dari mobil itu bersama Levi. Rahangnya mengeras, darahnya seolah bergolak dan mendidih. Kemarahan telah menguasai hati dan pikiran Haruna.
Haruna memikirkan betapa kejam Tristan yang telah menipu keluarganya. Membuat kebahagiaan keluarganya hancur. Haruna tidak akan sampai marah seperti itu jika Tristan hanya membalas dendam padanya, tetapi Tristan juga mengganggu keluarganya. Ia tidak bisa membiarkan keluarganya ditindas oleh Tristan karena kesalahannya.
"Aku harus bicara dengannya. Dia tidak boleh mengganggu keluargaku! Jika memang dia ingin membalas dendam, maka dia harus melakukannya padaku bukan keluargaku. Ya, aku harus bicara dengan Tristan," pikir Haruna. Dengan memantapkan hatinya, Haruna pun pergi menemui Tristan. Ia harus segera bicara dengan Tristan dan meminta dia untuk berhenti mengganggu keluarganya. Hanya hal itu saja yang ada di dalam pikiran Haruna saat ini.