webnovel

Mengajukan pinjaman

Haruna terus melirik jam dinding, ia sungguh tidak sabar menunggu jam istirahat. Dengan gelisah, Haruna melayani nasabah bank. Sari sesekali melirik Haruna yang berbeda dari biasanya. Haruna yang biasa bekerja dengan tersenyum ramah, kini terlihat kaku dan tegang. Sikap Haruna begitu aneh, seperti seseorang yang berjalan di tengah kegelapan dan dikuntit pembunuh. Antara bingung mencari cara menyelamatkan diri dan meminta pertolongan.

Jam dua belas tepat, jam istirahat yang sedari tadi ditunggu oleh Haruna telah tiba. Haruna segera berlari ke ruangan Manager Soni, mantan Direkturnya. Ia mengetuk pintu dengan gemetar. Terdengar sahutan dari dalam ruangan Manager. Perlahan-lahan Haruna membuka pintu.

"Permisi, Pak."

"Ya. Oh, Haruna. Ada apa?" tanya Soni sambil membereskan meja. Soni sedang bersiap keluar untuk makan siang. Ia mengajak Haruna duduk di sofa, berdampingan dengannya.

"Em ... itu ... saya, ingin meminta tolong pada Pak Soni," ucap Haruna dengan gugup. Ia merasa risih duduk berdampingan dengan Soni. Ya, karena Soni pernah menyatakan rasa suka pada Haruna, tetapi Haruna menolaknya.

"Minta tolong apa? Katakan saja!"

"Saya ingin meminjam uang 2 Milyar," ucap Haruna dengan wajah tertunduk.

"Hah!" Soni seketika bangun dari sofa, saking terkejutnya dengan permintaan Haruna.

"Banyak sekali, untuk apa uang sebanyak itu?" tanya Soni sambil berdiri di depan Haruna yang masih duduk manis menundukkan wajahnya.

"Orang tua saya terlilit hutang rentenir. Saya hanya diberi waktu tiga hari untuk melunasinya, hiks hiks. Jika tidak ...." Haruna menutup wajahnya dengan kedua tangan, ia pun menangis tersedu-sedu.

"Tapi, kamu tahu, kan. Saya bukan lagi Direktur Bank ini. Kamu coba saja, bicara dengan Direktur kita yang baru!" Soni menyarankan Haruna meminjam dari Direktur baru Bank Berkah.

"Saya, tidak berani, Pak." Haruna menunduk.

***

Di ruangannya, Tristan tersenyum menyeringai menatap layar monitor yang terhubung ke semua kamera CCTV yang ada di kantor itu. Ia tersenyum puas melihat betapa putus asanya Haruna yang sedang menangis. Melihat tangisan Haruna membuat Tristan merasa begitu bahagia.

"Hahaha ... haha. Sebentar lagi kau akan mengemis padaku, saat itu, semua kesombonganmu ketika menghinaku kemarin, akan lenyap. Hahaha ...." Tawa Tristan membahana di dalam ruangan kantor.

Levi, merasakan sekujur tubuhnya merinding, saat tiba-tiba Tristan tertawa. Ia tertawa melihat seorang wanita menangis. Meskipun hanya dibalik layar, tetapi wanita itu bukan sedang berakting, tetapi sedang benar-benar putus asa. Levi memang sudah tahu sikap dingin Tristan terhadap orang yang tidak ia sukai, tapi terkenal loyal pada gadis yang mau menjadi mainannya. Namun, ini pertama kalinya Levi melihat Tristan sampai seperti ini, hanya karena ia tersinggung oleh ucapan gadis itu. Haruna mengatakan Tristan bukan tipenya, kata-kata umpatan kesal yang berakibat fatal untuk Haruna.

Tawa Tristan lenyap dan berganti pandangan dingin seolah ingin mencincang dua orang dalam layar itu. Levi menggeser sedikit posisinya di belakang Tristan. Disanalah Levi tahu apa yang membuat Tristan berhenti tertawa.

Terlihat jelas disana, Soni kembali duduk disamping Haruna dan memeluk pundak Haruna. Seketika itu pula Tristan melempar semua yang ada di atas mejanya, termasuk laptop yang sedang ia pakai untuk memantau Haruna. Entah kenapa Tristan begitu marah. Levi pun hanya bisa terdiam kebingungan.

"Disaat seperti ini saja dia masih bermain tak tik merayu pria. Bukannya mencari dan memohon padaku. Haruna Azhaar, akan kubuat kau menyesal telah mengenalku!" ancaman mengerikan itu keluar dari mulut Tristan dengan mata yang berkilat penuh amarah.

***

Di ruangan Soni, Haruna segera berdiri saat Soni memeluk pundaknya.

"Maaf, aku hanya ingin menghibur kamu saja. Aku akan mencoba membicarakannya pada Direktur Tristan. Mengenai bisa atau tidaknya, aku tidak bisa berjanji," ucap Soni.

"Terima kasih, Pak. Saya permisi," ucap Haruna.

Ia pamit undur diri dari ruangan Soni dan melangkah menuju toilet. Di depan pintu toilet, Haruna berpapasan dengan Tristan. Sebenarnya bukan berpapasan, tapi Tristan memang sengaja menghadang Haruna. Tristan sudah menghafal kebiasaan wanita setelah menangis, wanita pasti pergi ke toilet untuk membasuh wajahnya atau sekedar merenung di dalam bilik toilet.

Haruna menghentikan langkahnya, dan menatap tajam pada pria yang sedang bersandar di samping pintu toilet, bersama asistennya. Haruna masih belum tahu, jika Tristan adalah bos baru di Bank Berkah itu. Haruna mengurungkan niatnya untuk masuk ke dalam toilet dan berbalik pergi, tapi sedetik kemudian Haruna menjerit.

"Akh! Lepaskan aku! Apa yang kau lakukan?" Haruna memberontak dan meminta tolong, tetapi suaranya hanya bisa tertahan di tenggorokannya.

Tristan tiba-tiba membekap mulut Haruna dan menyeretnya masuk ke dalam toilet. Asistennya Levi, menjaga di depan pintu toilet. Haruna terus memberontak hingga akhirnya ia bisa terlepas dari bekapan Tristan. Haruna terpojok di dinding toilet, dengan napas yang memburu dan wajah pucat pasi.

"A-pa yang ma-u ka-mu lakukan padaku?" Dengar gemetar ketakutan Haruna bertanya pada Tristan.

Tristan melangkah mendekati Haruna yang bergeser ke samping perlahan-lahan. Haruna benar-benar sudah tidak bisa kemanapun, ia terpojok di sudut ruangan. Wajahnya memucat tidak berdaya dengan tatapan dingin menusuk dari Tristan.

"Kalau ... kau ... marah dengan perkataanku kemarin, aku minta maaf, tapi ... tolong ... lepaskan aku, biarkan aku pergi," ucap Haruna dengan putus asa.

Namun Tristan masih terus melangkah hingga ia berada tepat satu langkah di depan Haruna. Ia menyeringai tajam melihat peluh Haruna yang sudah membasahi lehernya. Haruna mendorong Tristan dan berniat melarikan diri, tetapi Tristan sudah mencekal tangan Haruna dan menariknya hingga punggung Haruna membentur dinding. Tristan memperangkap tubuh Haruna dengan kedua tangan Haruna diatas kepala. Tristan sama sekali belum mengeluarkan suara, hingga ia mendekatkan wajahnya ke wajah Haruna.

Haruna membelalak melihat wajah Tristan semakin mendekat dan berhenti saat jarak diantara wajah mereka hanya dua inchi. Haruna bahkan bisa merasakan hembusan napas Tristan yang menerpa wajahnya. Seluruh tubuh Haruna gemetar ketakutan, ia tidak sanggup mengeluarkan kata-kata apapun lagi. Haruna takut jika ia akan semakin menyinggung perasaan Tristan.

"Kenapa? Kau takut? Tidak bisa bersuara lagi? Bukankah suaramu begitu lantang kemarin, kenapa sekarang diam?" tanya Tristan dengan satu jari telunjuk menjelajah wajah Haruna dan semakin turun ke leher Haruna. Haruna memejamkan matanya dengan kuat, napasnya berpacu cepat membuat dada Haruna naik turun dengan cepat. Tristan menjauhkan wajahnya beberapa centimeter dan menatap Haruna yang memejamkan mata. Dia tersenyum menyeringai, menunjukkan sedikit barisan gigi putihnya. Tristan sangat bahagia melihat ekspresi ketakutan di wajah Haruna. Rasanya Tristan sangat ingin tertawa, tetapi ia menahannya. Tristan tidak mau sampai Haruna tahu, kalau sesungguhnya dia hanya mengancam. Tristan tidak sungguh-sungguh dengan apa yang diucapkannya.

Next chapter