"Cihh. Sebelum mengatakan orang lain penipu, sebaiknya kamu bercermin dulu. Kamu-lah yang menipuku. Kamu pergi belajar di luar negeri dan menyuruhku menunggumu karena aku tidak ingin putus denganmu saat itu. Tapi, apa yang kau lakukan di sana? Apa kau pikir aku tidak tahu sudah berapa pria yang naik ke ranjangmu," cerca Tristan.
Stevi terdiam mendengar ejekan Tristan. Jadi, itu sebabnya dia berpaling dariku? Rupanya, itu karena dia tahu dengan kehidupanku di luar negeri, batin Stevi.
"Sayang, aku bisa jelasin soal itu. Aku … cuma …."
"Cuma apa? Cuma tidak tahan karena kesepian. Wanita murahan sepertimu, aku, Tristan Izham Putra, bisa mendapatkan setiap malam di klub. Sekarang juga keluar dari kamarku!" Tristan berteriak mengusir Stevi.
Senyuman licik tergambar jelas di sudut bibirnya. "Jangan lupa, Sayang. Orang yang pertama merenggut kesucianku adalah kamu. Kita sudah melakukannya lebih dulu sebelum aku melakukannya dengan orang lain," ucap Stevi percaya diri.
"Hahaha …."
Tristan tertawa keras lalu menatap Stevi dingin. Ia melangkah ke arah sofa kecil di sudut kamarnya. Duduk dengan angkuh dan mulai bercerita.
"Kamu pikir aku sudah tidur denganmu?" tanya Tristan dengan satu sudut bibir terangkat. Dengan sinis, Tristan berkata, "maaf mengecewakanmu. Tapi … aku sama sekali belum pernah melakukannya," ucap Tristan dengan tatapan dingin.
Stevi memicingkan matanya. Ia ingat dengan jelas saat mereka kelas tiga SMA. Mereka minum-minum untuk merayakan kelulusan. Stevi dan Tristan terbangun di ranjang yang sama dengan hari ini. Mereka dalam keadaan polos, terbangun pagi hari di kamar Tristan.
"Kamu bohong! Jelas-jelas kita bangun di kamar ini dengan keadaan …."
"Mabuk. Ya, kamu mabuk dan merayuku untuk melakukannya. Kamu juga berkata kalau kamu merasa terhina karena aku menolak. Karena itulah, aku berbaring di sampingmu. Tapi, sedikitpun aku tidak pernah menyentuhmu. Kau pikir, sekarang aku mau dengan barang bekas sepertimu," cibir Tristan.
Kedua pengawal Tristan datang dan menyeret Stevi keluar dari kamar Tristan. Namun, Seruni keluar dari kamar samping. Ia menyuruh kedua pengawal itu melepaskan Stevi.
"Lepaskan dia!" Seruni menepis tangan kedua pengawal Tristan.
"Mama!" Tristan menganga melihat ibunya keluar dari kamar sebelah. "Sejak kapan Mama di sini?"
"Kenapa? Tidak bolehkah Mama menginap di rumahmu?" tanya Seruni sarkas.
"Mama boleh menginap di sini, tapi kenapa harus membawa Stevi?"
"Memangnya kenapa? Stevi ini tunanganmu. Kalau wanita murahan seperti Haruna boleh tinggal di sini, kenapa Stevi tidak boleh. Jangan keterlaluan kamu!" maki Seruni. Ia membawa Stevi masuk ke dalam kamar.
"Akhh!" Tristan mengepalkan tangannya dengan kuat. "Kalian pergi!" Tristan mengusir kedua pengawal itu pergi dari hadapannya. Tristan membanting pintu kamar dengan kuat.
Brakk!
"Stevi, kamu kenapa masuk ke kamar Tristan, Sayang?" tanya Seruni sambil menuangkan air dari teko yang ada di atas nakas.
"Stevi tadi habis dari dapur, Tante. Karena ketiga kamar di sini sama, jadi Stevi salah masuk kamar, hiks. Dan, Tristan salah paham pada Stevi karena hal itu. Apalagi, Stevi pakai baju tidur seperti ini. Stevi malu, Tante. Stevi gak mau ketemu Tristan lagi," isak Stevi. Ia selalu berpura-pura jadi gadis baik-baik di depan keluarga Izham. Hanya Tristan yang tahu seperti apa kelakuan Stevi di belakang semua orang.
"Sayang, jangan sedih. Itu bukan salah kamu. Nanti Tante jelasin sama Tristan. Sekarang lebih baik, Stevi tidur. Tante juga mau kembali ke kamar," hibur Seruni. Ia mengecup kening Stevi seperti perlakuan ibu pada putrinya sendiri.
Setelah Seruni keluar dari kamarnya dan menutup pintu. Wajah Stevi berubah kembali, menyeringai dengan satu sudut bibir terangkat tinggi. Ia mendecak, "ckk, kamu pikir aku akan kalah dari Haruna. Jangan menganggapku remeh, Tristan! Benda atau barang apapun yang aku inginkan, harus aku dapatkan. Termasuk orang yang aku inginkan. Aku tidak akan membiarkan orang lain mendapatkanmu. Tidak akan!"
***
"Selamat pagi semua," seru Haruna yang sudah rapi dengan baju kantor. Ia menyapa mereka yang sudah berkumpul lebih dulu di ruang makan. Kiara menggelayut manja dalam gendongan Haruna.
"Haruna, apa kabar, Sayang?" tanya Kamal. Ia menyunggingkan senyum lebar saat melihat Haruna. Sudah sejak semalam, Kamal ingin menemui Haruna, tapi Haruna sudah tidur. Melihat Haruna baik-baik saja, Kamal merasa sangat bahagia.
"Baik, Pah. Papa juga baik, kan?"
"Syukurlah. Papa juga baik-baik saja," jawab Kamal. "Haruna, setelah sarapan, Papa mau bicara denganmu." Kamal memandang wajah Haruna yang terlihat gugup. Kenapa anak itu gugup? tanya Kamal dalam hati.
"Iya, Pah."
Tidak ada lagi kata-kata yang mereka ucapkan setelah mereka mulai makan. Tradisi di keluarga Kamal masih sama, dilarang berbicara saat makan. Selesai sarapan,Vivi berpamitan untuk pergi lebih dulu.
"Pah, Mah, Kak, Vivi berangkat duluan, ya. Kiara, Tante kerja dulu, ya," pamitnya. Vivi mengecup pipi kiri dan kanan Kiara sebelum pergi. Saat kakaknya tidak ada di rumah, Vivi sesekali memakai motor Haruna. Karena sekarang kakaknya ada di rumah, Vivi akan pergi dengan angkot. Namun, sebelum Vivi pergi, Haruna memanggilnya.
"Vi, tunggu!"
"Iya, Kak. Ada apa?" tanya Vivi.
"Ini, pakai saja motor Kakak. Motor ini, kakak kasih buat kamu," ucap Haruna.
"Tapi, Kak. Motor ini, kan, hasil kerja keras Kakak. Mana boleh Kakak kasih sama Vivi begitu saja. Vivi tidak bisa menerimanya," tolak Vivi dengan halus.
"Vi, Kakak sudah bekerja di tempat lain. Kakak bosan dengan motor lama ini, jadi Kakak kasih sama kamu. Kakak mau beli yang lain nanti. Jadi, terimalah!" Haruna memberikan kunci motornya pada Vivi.
"Terima kasih, Kak. Vivi belum bisa memberi apa-apa sama Kakak, Papa, dan Mama. Tapi, kalian sudah banyak sekali memberikan hal berharga buat Vivi. Terima kasih," isak Vivi. Air mata haru mengalir di kedua pipinya.
Kamal dan Anggi juga ikut terharu. Betapa beruntungnya mereka memiliki anak angkat yang sangat baik. Tidak hanya saling menyayangi, mereka juga penurut dan tidak pernah membantah ucapan kedua orang tuanya.
"Sudah sana berangkat! Nanti telat," ucap Haruna. Ia menarik kedua ujung bibirnya dan menghapus air mata di pipi Vivi.
"Iya, Vivi berangkat." Vivi pergi menaiki motor Haruna yang kini sudah sah menjadi miliknya. Sebenarnya ada sesuatu yang mengganjal di hati vivi, tetapi ia tidak bisa mengutarakan hal itu di depan kedua orang tuanya. Terkait pekerjaan baru Haruna, Vivi bahkan belum tahu kenapa Haruna diperbolehkan pulang. Ada sesuatu yang aneh dari Kakak, tapi apa? tanya Vivi dalam hati. Motor Vivi sudah meninggalkan pintu gerbang.
Kini tinggal Haruna yang merasa cemas. Apa yang ingin dibicarakan oleh Kamal? Haruna khawatir, Kamal akan mengungkit atau bertanya soal kehidupannya di rumah Tristan. Haruna tidak pernah bisa berbohong pada kedua orang tuanya. Bagaimana jika mereka tahu kalau Tristan telah merenggut kesuciannya. Bahkan, Haruna berpura-pura berpacaran dengannya saat ini.