Sudah dua minggu ini Dara terbaring lemas. Jangankan berjalan, bangun dari tempat tidur pun dia tak mampu. Tubuhnya limbung setiap kali hendak berdiri.
Hyperemesis, itulah diagnosa yang diberikan dokter kandungan kepadanya. Mual, muntah, tekanan darah rendah, yang dialaminya sekarang semakin hari semakin menghebat. Ditambah dengan mimisan dan sariawan yang datang bergantian membuatnya ingin menyerah.
"Mas ...."
"Sabar, ya," bujuk Dewa.
"Aku gak sanggup," keluh Dara. Entah mengapa rasanya dia ingin mati saja.
"Gak boleh bilang gitu." Lelaki itu mengusap kepala istrinya dengan sayang.
"Sampai kapan?"
"Kata dokter kan tiga bulan pertama. Jadi sebentar lagi."
"Ibu mana, Mas?"
"Masih di jalan," jawab Dewa.
"Suruh cepatan. Aku gak kuat."
"Sini mas pijet."
"Gak mau. Mas mijetnya gak ikhlas."
Dewa mengusap dada. Selama hamil, sikap Dara berubah seratus delapan puluh derajat. Semua yang dilakukannya selalu salah.
Untunglah ibu mertuanya bersedia datang setiap hari dan membantu mengurus. Jika tidak, mungkin kepalanya sudah pecah menghadapi kelakuan istrinya.
"Mana ada suami gak ikhlas nolongin istri."
"Kalau ikhlas, bukan begitu mijetnya. Tapi begini. Kayak Ibu." Dara mencontohkan dengan nada suara yang sedikit meninggi.
Kali ini Dewa mengusap wajahnya dan bergumam dalam hati, "Salah apa aku sampai istri ngidam begini?"
"Yaudah kalau gitu tunggu Ibu datang," kata Dewa dengan sabar.
Dara membalikkan badan dan memunggungi suaminya.
"Mas keluar sana. Aku gak suka cium baunya."
"Sudah mandi ini."
"Tapi bau. Sana!" usir Dara. Jangankan aroma tidak sedap, bau parfum atau pengharum ruangan saja membuatnya mual.
"Tadi yang minta ditemani juga siapa," keluh Dewa sambil keluar dan menutup pintu.
Dara kembali gelisah karena perasaannya tidak nyaman. Dia lapar tapi belum bisa makan. Hanya es krim yang bisa masuk, juga roti, tapi hanya dalam jumlah yang sedikit. Bahkan ketika haus dan ingin minum air putih juga tak bisa.
Jadinya, seharian dia akan bergelung di ranjang sambil menekuk kaki dan memejamkan mata walaupun belum bisa tertidur.
Pintu kamar diketuk.
"Nak."
Wanita paruh baya itu membuka pintu dengan pelan lalu berjalan mendekati ranjang.
"Kenapa?"
"Bu, aku mau pulang aja. Gak betah disini."
"Loh, kan ibu setiap hari datang kesini ngurusin kamu."
"Tapi aku maunya pulang. Aku malas liat muka Mas Dewa."
"Astagfirulllah."
Setelah mengucapkan itu, Dara kembali berlari ke kamar mandi dan mengelurkan apa yang dia makan tadi.
Wanita paruh baya itu membantu putrinya berjalan dan memakaikan selimut karena Dara tiba-tiba saja menggigil setelah terkena air.
"Pijet, Bu."
"Iya, sini. Kamu merem ya. Tidur, nanti bangun ada bubur ayam." Tangan tua itu mulai bekerja, memijat pelipis putrinya.
Dara menurut. Selama kondisi begini, dia mematuhi semua petuah ibunya. Tak lama dengkur halusnya terdengar.
***
Hari-hari dilalui dengan penuh perjuangan bagi Dara. Bertahan untuk tidak banyak mengeluhkan kehamilannya sungguh berat mengingat keadaannya begini.
Tak terasa, kandungannya kini memasuki bulan ketiga. Sekalipun begitu, tubuhnya tetap payah. Setelah selesai mimisan, gigi yang biasanya baik-baik saja, kini sering ngilu tanpa sebab.
"Ayo."
Dewa menuntun istrinya masuk ke mobil. Ini jadwalnya mereka periksa kandungan.
Dia meminta izin dari kantor karena harus ke rumah sakit pagi-pagi. Dara tidak bisa dibawa ke praktik malam karena kondisinya masih drop.
Mereka mengantar Ciara sekolah terlebih dahulu. Setelah memastikan perlengkapan putrinya lengkap, Dewa melajukan mobil menuju rumah sakit tempat dokter kandungan yang pernah mereka datangi di praktik malam.
Setelah mengambil nomor antrean, Dewa meminjam kursi roda untuk membawa Dara ke poli karena jaraknya cukup jauh masuk ke dalam.
"Duduk, diam. Kita antre jadi harus sabar menunggu."
Sesampainya di poli mereka duduk di kursi tunggu bersama pasien yang lain.
Dewa mengusap kepala Dara yang bersandar di bahunya. Kalau sudah begini, Dara mau tak mau bergantung kepada lelaki itu karena Ibu tidak bisa mengantar.
"Ibu Dara."
Mereka berdua masuk dan pemeriksaan dimulai. Sama seperti sebelumnya, hanya kini janinnya sudah terbentuk.
Dewa tersenyum senang menatap layar, dimana ada buah cinta mereka bersemayam.
"Mualnya kok gak hilang ya, Dokter?" tanya Dara.
"Biasanya selepas ini berkurang. Ibu yang sabar."
"Tuh kan apa juga kata mas, sabar."
"Tapi mas kan gak ngerasain."
"Ngerasain jugalah. Pusing karena kamu rewel banget," jawab Dewa.
Dokter hanya tersenyum melihat kelakuan mereka. Lalu memberikan resep vitamin dan obat anti mual supaya Dara bisa merasa lebih baikan.
"Mas aku mau makan di kantin sana," tunjuknya saat keluar dari ruangan.
Dewa mendorong kursi roda melewati lorong rumah sakit dan berbelok arah.
"Hai." Suara seseorang menegur, membuat mereka berbalik badan.
"Hai." Dara tersenyun senang saat meliaht siapa yang berdiri di sana. Radit.
"Bumil kenapa pake kursi roda?" tanya lelaki itu saat melihat kondisi Dara.
"Lemes banget. Kalau jalan limbung," jawabnya.
"Biasanya memang begitu setauku. Cuma ada beberapa yang kuat juga. Anak kamu manja nih, sama kayak mamanya dulu," kata lelaki itu sambil tertawa menggoda.
Mendengar itu, hati Dewa menjadi panas. Sejak tadi dia diam saja menyaksikan istrinya dan lelaki itu bicara sambil sesekali tertawa.
Kenapa saat bertemu dengan Radit, Dara menjadi ceria? Berbeda dengan di rumah. Dara selalu mengeluh ini dan itu.
"Permisi, ya. Kami mau makan di kantin."
Dewa memotong pembicaraan karena geram melihat itu. Dulu saat berpacaran dengan Laura, dia tidak seposesif ini. Entah mengapa ketika menikah dengan Dara, dia menjadi cemburuan.
Apalagi laki-laki di depannya ini memakai jas dokter. Dewa tak terima jika dia berakrab ria dengan istrinya.
"Silakan. Saya juga mau balik ke poli. Masih ada pasien menunggu."
"Thanks sharingnya, Pak Dokter."
"Sama-sama, Bu Guru."
Belum sempat Dara mengucapkan kata, Dewa langsung mendorong kursi roda meninggalkan Radit begitu saja. Sampai di kantin dia meminta daftar menu dan membiarkan istrinya memilih.
"Soto ayam satu, bakso satu sama es jeruk aja, Mas."
Eh?
Dahi Dewa berkerut. Ternyata jika diajak makan diluar, Dara kembali normal. Sekarang dia sudah tahu obat supaya istrinya tidak mual, bertemu Radit dan jajan di luar. Untuk opsi pertama dia tidak akan pernah mengizinkan.
Benar saja, begitu pesanan datang, wanita itu melahap semua dalam waktu sekejap. Dewa yang tadinya sempat kesal dan cemburu, malah mengulum senyum melihat cara istrinya makan.
"Kalau gini, aku gak mual lagi," kata Dara dengan mulut masih penuh makanan.
"Jadinya tiap hari mau jajan?"
"Iya."
"Kalau Bibik bikin di rumah?"
"Boleh juga. Tapi kalau mas libur, aku maunya jalan."
"Oke."
Hanya itu jawaban Dewa. Lelaki itu membayar tagihan di kasir lalu mereka pulang ke rumah.
"Nyonya." Bibik membukakan pintu dan merasa sedikit lega saat melihat Dara terlihat segar.
"Bibik gak jemput Ciara?" tanya Dewa.
"Ini mau berangkat. Nunggu Bapak datang."
Setelah Dara masuk ke kamar, Dewa bertanya, "Bisa bikin bakso, Bik?"
"Bisa. Tapi kurang enak kayaknya, Pak."
"Kalau gitu beli di pasar aja. Mie sama kuahnya bikin sendiri."
"Besok tapi ya, Pak. Ini udah kesiangan."
Bibik pun berpamitan hendak menjemput nona kecilnya.
Dewa masuk ke kamar. Seperti biasa Dara berbaring di ranjang. Hanya kini lebih baik, dia lemas karena kekenyangan.
"Udah baikan?"
"Sedikit."
"Masih mual cium bau mas?"
"Eng-gak."
"Kalau gitu boleh, dong."
"Boleh apa?"
Dewa tersenyum menggoda. Itu membuat Dara memalingkan muka.