webnovel

BAB 11 MENYESUAIKAN

BAB 11 MENYESUAIKAN

"Wajahmu tampak lelah. Ada apa?"

Raihan menatap kakak sepupunya yang kini duduk di depannya. Novia sedang tidur di dalam kamarnya saat Aslan datang ke rumahnya.

Mereka kini duduk di teras belakang rumah, di depan kolam renang yang memang menjadi tempat tiap pagi untuk olahraga paginya.

"Enggak tidur semalam, Mas. Novia masih terus terbangun karena mimpi buruk."

Raihan kini menyugar rambutnya dan menghela nafas. Trauma Novia begitu dalam sehingga membuatnya kesulitan untuk menghilangkan kenangan buruk itu.

"Kalau aku dengar dari Bagus, kecelakaannya cukup parah, Rai. Novia sempat koma beberapa minggu, lalu shock saat mengetahui kakinya lumpuh. Ditambah lagi sekolahnya harus berhenti juga. Novia terpukul, Rai."

Ucapan Aslan membuat Raihan memejamkan mata. Dia tidak bisa menghalau rasa sakit yang menyelusup ke dalam dadanya. Dia ikut merasa kesakitan untuk Novia.

"Aku nggak tahu apa yang harus aku lakukan, Mas. Dia terlalu ketakutan. Lagipula aku juga punya batas cuti, Mas. Takutnya dia tidak ada yang merawat kalau aku sudah bertugas lagi."

Raihan menatap kakak sepupunya yang selalu bijak dalam memberikan nasihat. Lagipula siapa lagi yang bisa diminta nasehat selain Aslan. Cuma Aslan keluarganya saat ini.

Aslan kini menghela nafas, pria itu tampak mengerutkan kening.

"Semuanya memang perlu waktu, Rai. Kamu harus sabar ya? Masih kuat kan?"

Raihan tersenyum mendengar pertanyaan itu dan menganggukkan kepala.

"Insyaallah, Mas. Rai pasti akan sabar."

Kali ini kakak sepupunya itu tersenyum. Lalu menyesap teh hangat yang terhidang di meja bundar di depan mereka.

"Ehmm aku tuh kemarin ketemu sama Ningsih. Dia nanyain kabar kamu. Yah aku jawab kamu lagi bulan madu sama istri kamu. Dia tampaknya sedih. Aku mau tanya kamu nggak ada hubungan apa-apa kan sama dokter muda itu?"

Aslan menyipit ke arahnya membuat Raihan langsung menggelengkan kepala.

Ningsih adalah tetangga Aslan. Kebetulan wanita itu memang seorang dokter muda. Karena anaknya ramah dan kadang minta bantuan tentang yang tidak dimengertinya kepadanya membuat Ningsih sepertinya merasa akrab.

"Enggak, Mas. Ningsih itu kan masih kecil lagipula aku juga nggak pernah senyum atau kasih perhatian lebih. Dia itu kan tetangga Mas. Sudah semestinya aku juga jaga silaturahim."

Aslan mengangkat alisnya tapi kemudian menganggukkan kepala.

"Habisnya Ningsih tuh kalau nanyain kamu kayak nanyain pacarnya aja."

Raihan hanya menggelengkan kepala lagi. Makanya dia bersikap dingin dengan seorang wanita itu untuk menjauhkan prasangka seperti ini. Dia tidak mau membuat seseorang berharap.

"Yowes aku mau pulang. Cuma mau ngundang kapan-kapan ke rumah ya? Bawa Novia, itu si nyonya pengen ketemu katanya "

Raihan langsung tersenyum mendengar ucapan Aslan. Teringat kakak iparnya, Sofia yang memang sangat ramah.

"Salam buat Mbak Pia ya, Mas. Besok deh kalau Novia sudah beradaptasi di sini, Rai bawa ke rumah."

******

Raihan menguap lagi. Entah kenapa setelah Aslan pulang rasa kantuknya kembali mendera. Jam baru menunjukkan pukul 4 sore. Dia akhirnya masuk ke dalam kamar.

Setelah tadi pagi bisa membuat Novia untuk memakan nasi goreng buatannya meski Novia masih tak banyak bicara.

Raihan melangkah ke dalam kamar dan tertegun saat melihat Novia yang sudah terduduk di atas kasur. Rambut panjangnya tergerai lalu wajah yang selalu terlihat pucat itu kini mendongak.

"Hai.."

Novia terlihat malu saat menatapnya. Wanita itu tengah membaca sebuah novel.

Raihan melangkah ke arah kasur dan duduk di tepinya. Menatap Novia yang kini tampak kikuk.

"Sudah bangun? Mau makan apa?"

Pertanyaannya membuat Novia kini menatapnya.

"Aku nggak lapar."

Jawaban itu langsung membuat Raihan menggelengkan kepala.

"Harus makan, Nov, tubuhmu lebih kurus saat ini. Dulu, saat aku bertemu denganmu kamu begitu sehat, dengan tubuh proposional dan wajah cantik."

Mendengar ucapannya itu Novia merona tapi kemudian menggelengkan kepala. Raut wajahnya berubah sedih.

"Aku bukan Novia 2 tahun yang lalu Rai. Aku bukan wanita yang kamu lamar itu. Aku sudah hancur."

Raihan langsung meraih tangan Novia yang memegang novel. Lalu melepaskan novel itu dan meletakkan di atas nakas. Dia menggenggam jemari Novia yang terasa sangat dingin.

Dia tidak suka dengan perasaan gugup Novia.

"Nov. Bagiku kamu tetap istriku. Yang berdedikasi tinggi untuk semua orang yang membutuhkan."

Ucapannya sangat lembut agar Novia tidak tersinggung. Istrinya itu menggelengkan kepala.

"Kamu bisa punya istri lagi, Rai. Aku tahu kamu dulu menikahiku karena memang ingin membina rumah tangga dan mempunyai anak. Tapi aku mengacaukannya dengan pergi Rai. Lalu kesempatan itu hilang. Kita..."

Tapi Raihan sudah menggelengkan kepala. Dia kini mendekat ke arah Novia. Mata indah istrinya itu mengerjap. Tampak terkejut dengan kedekatan ini.

"Aku tidak mau yang lain selain kamu, Nov."

Dia melepaskan genggaman jemarinya lalu menangkup wajah Novia dengan kedua tangannya. Membingkainya dan membuat nafas hangat mereka semakin menerpa.

"Ijinkan aku untuk mencintaimu."

Ucapan itu mengguncang Novia karena raut wajah Novia tampak begitu sedih.

"Aku...aku..tidak pantas kamu cintai, Rai."

Tapi Raihan menggelengkan kepala lalu tiba-tiba saja dia mempunyai keberanian untuk mengecup bibir Novia untuk pertama kalinya. Dan hal itu mengguncang jiwanya. Rasa Novia begitu manis. Dia menyesali tahun-tahun yang berlalu di belakang mereka. Harusnya Novia bahagia sejak dulu.

Raihan melepaskan ciumannya dan menatap Novia yang menangis. Air mata membasahi pipinya yang merona merah.

"Hei..."

Tapi Novia langsung menghambur ke dalam pelukannya. Membenamkan wajahnya di dada bidangnya. Membuat Raihan melingkarkan lengannya di tubuh istrinya yang rapuh itu.

"Semua akan baik-baik saja sayang."