webnovel

Pengakuan Psikopat

Febi mempercepat langkahnya. Gadis itu berjalan menyusuri gang kecil dan gelap itu karena itu satu-satunya jalan menuju ke kostnya. Didengarnya suara seperti langkah kaki tapi samar-samar dan terasa jauh. Ia menoleh ke belakang dengan gerakan yang tiba-tiba...tidak ada siapapun. Perasaan apa ini? Seperti perasaan cemas bercampur takut dan kuatir yang tidak pada tempatnya. Sudah kesekian kalinya Febi merasa ada yang mengikutinya di belakang sepulang ia dari kampus. Gadis itu memutuskan cepat-cepat berlari sampai ke kost dan segera masuk ke kamarnya. Gang kecil itu begitu sepi, jauh dari kamar kost Febi. Seorang pria bertubuh tinggi berpundak lebar sedang berdiri setengah tertutup tembok, sedang memperhatikan Febi yang setengah panik masuk ke kost. Pengalaman menegangkan itu membawa kecurigaan Febi pada seorang psikopat yang berusaha menghancurkan hidupnya. Ian adalah seorang pria yang selalu tampil baik dan superior. Tapi Febi mengetahui dibalik penampilan primanya, Ian memiliki kejahatan-kejahatan yang terselubung. Hanya saja semakin Febi berusaha menghubungkan misteri-misteri yang dialaminya dengan Ian, semakin ia terjerembab dalam siasat dan tingkah laku Ian yang tidak normal. Ian yang menjadi tersangka penguntitan Febi akhirnya menjadi tersangka sebuah kasus pembunuhan yang terjadi di kampus mereka. Semua misteri yang terjadi terhubung pada sindrom psikopatisnya. Benarkah Ian yang melakukan tindakan kriminal itu?

Lei Locke · Teen
Not enough ratings
41 Chs

Semester Satu: Memasuki Masa Kuliah

Kuliah dimulai. Febi berjalan di lobi gedung FH tanpa menoleh ke kanan dan ke kiri, ia menuju ke loket akademik. “Febi Anggraini…NIM 0311920080…” ucapnya kepada staf akademik sambil berdiri di depan loket. Setelah membalik-balik tumpukan kertas yang ada di depannya, tangan staf itu berhenti dan menarik sehelai kertas dari tumpukan itu dan menyerahkannya pada Febi. Dengan bersemangat Febi mengambil Kartu Rencana Studinya dari staf itu dan segera berlalu. Sambil melangkah perlahan, Febi membaca daftar mata kuliah yang ia akan ambil di semester 1 ini.

Sem. 1

Mata Kuliah: Bahasa Inggris

SKS: 2

Sem. 1

Mata Kuliah: Pancasila

SKS: 2

Sem. 1

Mata Kuliah: Pengantar Ilmu Hukum

SKS: 4

Sem. 1

Mata Kuliah: Pengantar Hukum Indonesia

SKS: 4

Sem. 1

Mata Kuliah: Ilmu Negara

SKS: 3

Sem. 1

Mata Kuliah: Hukum Adat

SKS: 2

Sem. 1

Mata Kuliah: Pendidikan Kewarganegaraan

SKS: 2

Sem. 1

Mata Kuliah: Kepemimpinan Menurut Hukum

SKS: 2

Sem. 2

Mata Kuliah: Pengantar Ilmu Sastra

SKS: 2

Sem. 2

Mata Kuliah: Logika Terapan

SKS: 2

Total SKS: 25

Febi begitu fokus membaca Kartu Rencana Studi-nya. “Hhh.” Tiba-tiba ada suara senyuman sinis mendengus terdengar dekat sekali dari arah pundak Febi. Gadis itu segera menoleh ke belakang. “Kak Ian…” sapanya dengan suara yang terkejut melihat pria berpundak lebar itu berdiri di hadapannya. Rupanya Ian membaca Kartu Rencana Studi Febi dari belakang.

“Aku bukan dengan sengaja mencuri baca KRS kamu, tapi karena tinggi badan kamu jauh di bawah aku, jadi tidak sengaja terbaca,” katanya dengan tatapan mata yang tidak ramah. Ian terlihat sangat tidak suka dengan cara berpikir Febi. “Kamu mau cepet lulus biar bisa cepet kerja? Kamu yakin bisa belajar dengan baik dengan ambil kredit sampe 25 sks? Apa kamu salah satu dari orang-orang yang berpikir masuk kuliah hukum supaya kalau kerja bisa dapet duit banyak?” Ian tak menyisakan ruang bagi Febi untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan yang dilontarkannya itu. Sementara Febi masih mulai menarik nafas untuk menjawab, senior bertubuh tinggi kekar itu segera berlalu membuat Febi terpaku dengan mulut ternganga karena mengurungkan mengeluarkan suaranya. Febi hanya bisa menghela nafasnya. “Celaka, aku sepertinya sudah membuat permusuhan dengan seorang senior…uuuurgh,” pikirnya sambil mengacak-acak rambut kusutnya sendiri sambil bergegas menuju kelas.

Kelas pertama dimulai, kelas Bahasa Inggris. Dosen Pengajar memasuki kelas. Semua peserta kelas duduk sambil mengikuti pelajaran dengan seksama. Febi mengikuti kuliah itu dengan penuh semangat. Hingga kelas berakhir, Febi tidak segera beranjak dari kursinya tapi justru memeriksa jadwal kuliahnya. “Berikutnya Pengantar Ilmu Hukum,” ujarnya. “Masih satu setengah jam lagi…aku bisa ke perpus dulu…” Lalu gadis itu membereskan laptop dan alat tulisnya, bersiap-siap ke perpus. Sambil memegang tali tas selempangnya, gadis itu berjalan keluar dari gedung FH. Setibanya di perpus, Febi begitu kagum melihat banyaknya buku-buku bertemakan hukum memenuhi rak-rak yang tinggi. Mata gadis itu bersinar-sinar. Mulai dari buku klasik hingga modern, buku pengantar hingga yang partikular, semuanya terpajang dengan rapi. Suasana begitu tenang, tidak ada yang mengobrol, semua yang duduk di situ tampak sibuk menatap buku dan laptopnya masing-masing. “Oh,” decaknya kagum. “Aku akan duduk disini setiap waktu menunggu.” Gadis itu membayangkan masa kuliah yang tenang dimana dia akan selalu punya waktu di sela-sela kuliah tanpa ada orang yang menegurnya untuk berbicara. Setelah melihat-lihat buku-buku yang terpajang di sana, Febi memutuskan untuk meminjam sebuah buku pengantar. Ia membawanya ke bagian peminjaman. Febi celingak-celinguk, “gimana caranya pinjam buku ya?” Kemudian Ia menghampiri meja pustakawan.

“Saya mau pinjam buku ini…” ucapnya.

“Oh, peminjaman disini pake sistem self-scanning.”

Jawaban pustakawan itu membuat Febi bengong sejenak.

“Apa itu self-scanning?” pikirnya.

“Di situ ada komputer-komputer. Kamu masukkan ID kamu sendiri lalu scan sendiri barcode yang ada di buku itu dengan alat scan di samping komputer itu,” jelas pustakawan itu sambil menunjuk ke arah komputer-komputer yang diletakkan di dekat pintu keluar.

“Oh,” lanjut Febi, “terima kasih.”

Dilihatnya ada 6 komputer berdiri di area itu dan hanya ada satu orang yang sedang melakukan peminjaman dengan menggunakan komputer self-scanning itu. “Hmmm…ada orang yang sedang pinjam juga, kalo ada yang gak ngerti bisa coba tanya orang itu,” pikirnya yang hanya bisa melihat punggung seorang pria berpundak lebar tersebut dari belakang. Febi menghampiri salah satu komputer yang tidak digunakan dan mencoba mempelajari tulisan-tulisan yang muncul di layar monitor. Ia mencoba mengetikkan NIM-nya di kolom kosong pada layar monitor itu. Semua berjalan lancar. Lalu diambilnya alat scan di samping monitor dan didekatkannya ke sampul belakang buku yang akan dipinjamnya. Tapi… tidak terjadi apa-apa. Didekatkannya alat scan itu sekali lagi ke barcode buku, … tidak muncul apa-apa di layar monitor. “Kenapa ya?” pikirnya. Kemudian Febi mencoba untuk bertanya pada orang yang sedang berdiri memakai komputer di sebelahnya itu. Orang tersebut hampir selesai melakukan pemnjaman. Febi menoleh dan hendak memanggilnya tapi ternyata pria tersebut sudah selesai melakukan peminjaman dan sedang menatap layar monitor Febi. Pandangan mata Febi hanya setinggi dada pria yang sedang menatap komputer yang digunakan gadis mungil itu. Febi mendongakkan wajahnya untuk dapat melihat wajah pria tersebut. Melihat wajah itu, Febi membelalakkan matanya terkejut. Pria tersebut adalah Ian. Ian berdiri di sana dengan tatapan dinginnya. Ia melihat Febi tanpa bicara sepatah kata pun. “…Aa…” Melihat sosok Ian membuat kerongkongan Febi tersumbat. “Tolong…aku nggak bisa…” Belum selesai Febi bicara, Ian segera pergi meninggalkan Febi berdiri di sana dengan mulut ternganga. “Kenapa dengan orang itu ya?” pikirnya jadi mulai kesal dengan kelakuan Ian. “Dia harusnya tau aku lagi kesulitan tapi sengaja ninggalin…” Febi menghela nafasnya tanpa berusaha meneruskan kekesalannya kemudian segera menghampiri pustakawan dan mengurus peminjaman bukunya.

Pukul 10:00, Kelas Pengantar Ilmu Hukum telah dimulai. Beberapa peserta terlihat malas mengikuti kelas tapi Febi masih dengan semangat menyimak setiap kalimat yang keluar dari mulut dosen. Seorang mahasiswi yang duduk di samping Febi terlihat tidak begitu fokus mengikuti kelas. Ia terus mengecek handphonenya sambil sesekali melihat laptop Febi yang penuh dengan ketikan catatan kelas itu. Setelah kelas berakhir, mahasiswi tersebut langsung menyapa Febi.

“Hai…” sapanya. “Kamu bisa ikutin ya? Dari tadi nyatet terus…”

Febi tertegun melihat wajah ramah gadis di sampingnya itu.

“Oh…he eh…” balas Febi.

“Boleh pinjem catetanmu gak?” tanya gadis ramah itu.

“Oh…iya…” jawab Febi merasa canggung karena belum kenal. “Email kamu apa?” tanya Febi.

Gadis ramah itu mengucapkan perlahan-lahan alamat emailnya kepada Febi dan Febi mengirimkan catatan kelasnya kepadanya.

“Namaku Jennifer. Nama kamu siapa?” sambil mengulurkan tangannya, ia menunggu jawaban Febi. Febi sedikit terkejut melihat keramahan Jennifer.

“Febi…” jawabnya sambil menyambut uluran tangan itu dengan segan.

“Mau makan siang bareng gak?” Jennifer mengajaknya tanpa ragu.

“Oh…e…iya…boleh”

Jennifer adalah seorang yang ramah. Wajahnya juga cantik, ia terlihat begitu cocok dengan kemeja oversize dan celana jeansnya. Berdua, mereka bersama-sama berjalan menuju kantin kampus. Jennifer terus mendominasi pembicaraan, sedang Febi begitu menikmati menjadi pendengar yang baik.

Setelah memesan makanan, mereka mencari tempat yang kosong untuk makan berdua. Sangat sulit mencari tempat kosong di jam istirahat siang. Tiba-tiba terdengar teriakan, “Hei!”

Ada seorang pria melambai-lambaikan tangannya kepada Febi dan Jennifer sambil memberi tanda bahwa kursi di sebelahnya kosong. “Itu ada yang kosong, Feb.” Tanpa mempertanyakan siapa pria itu, Jennifer segera berlari kecil menuju kursi kosong itu. Febi agak ragu awalnya tapi melihat Jennifer langsung berlari menuju ke sana, ia pun mengikutinya.

“Thanks ya” ucap Jennifer sambil duduk di sebelah pria tak dikenal itu.

Pria bertubuh kurus tinggi itu tersenyum pada Febi yang duduk di hadapan Jennifer. “Kalian tadi ikut kelas Pengantar Ilmu Hukum ya?” tanyanya pada Febi dan Jennifer.

“Iya. Kamu juga ikut?” balas Jennifer cepat.

“Iya…aku Robi. Nama kamu siapa?” lanjutnya sambil menatap Febi.

“Aku Jennifer, dia Febi.” Jennifer menjawabnya dengan cepat tanpa melihat ke arah Robi.

“Kalian tingkat satu ya?”

“Iyalah. Kelas tadi kan mata kuliah semester satu,” jawab Jennifer sambil meneruskan makannya. Febi hanya diam sambil mendengarkan pembicaraan dan menikmati makanannya.

Robi tersenyum malu, “Hehe, aku tingkat dua sih. Tahun lalu gak lulus kelas itu…”

“Ooh,” sahut Jennifer sambil meneruskan makannya. Sambil berbincang-bincang, Robi terus memperhatikan Febi.

Sejak perkenalannya dengan Febi, Robi tanpa ragu menunjukkan ketertarikannya pada Febi. Di kelas, ia selalu berusaha duduk di sebelah Febi. Robi bahkan tanpa sungkan berkali-kali bertanya pada Febi untuk menjadi pacarnya. Seringkali juga Robi mengatakan pada teman-temannya bahwa Febi adalah pacarnya. Walaupun hal itu dilakukannya dengan setengah bercanda, tapi hal itu membuat Febi menjadi risih. Dan yang paling membuatnya kesal adalah, Alwi pun beberapa kali melihat bagaimana Robi menggoda Febi.

“Dia bercanda…kami nggak pacaran kok.” Jelas Febi suatu kali ketika Alwi sedang duduk di lobi dan Robi dengan suara kencang menggoda Febi. Alwi hanya tersenyum melihat gelagat Febi yang begitu kuatir ia salah paham. “Febiku…bukannya kita sama-sama suka?” Sekali lagi Robi mengeluarkan kalimat yang membuat orang-orang di lobi juga jadi risih. “HEH!” bentak Jennifer dengan suara kencang ke arah Robi. “Siapa yang suka sama elo! Elo kali yang ngejar-ngejar Febi!” Kemudian Jennifer melihat ke arah Alwi dan berkata, “Kak Alwi, jangan percaya sama Robi. Febi gak pernah suka dia kok.” Alwi menatap Febi dan tersenyum. “Iya, aku tahu itu kok” jawabnya lembut membuat Febi seperti terbang ke awan-awan. Lalu Alwi segera pergi meninggalkan Febi yang tersenyum-senyum sendiri dan menundukkan kepalanya. “Ups,” celetuk Jennifer sambil menyenggol lengan Febi dengan bahunya, “serasa ditembak panah cupid.”

Iya benar! Febi begitu bahagia hanya dengan satu kalimat lembut dari Alwi tadi dan beruntung karena Jennifer selalu menjadi advocatenya di depan Alwi. Melihat Febi tersenyum malu-malu setelah mendengar perkataan Alwi membuat air muka Robi jadi berubah. Dengan wajah sedikit kesal ia melihat ke arah Febi. Di pojok lobi, duduk seseorang yang sedang memperhatikan semua peristiwa itu. Ian, tatapannya dingin tapi melihat peristiwa yang terjadi di lobi siang itu, ia memiringkan bibirnya tersenyum, senyuman yang membuat bulu kuduk orang berdiri.