webnovel

PENDEKAR TAPAK DEWA

Kebiadaban yang dilakukan oleh gerombolan La Kala (Kelompok Merah-Merah) di bawah pimpinan La Afi Sangia makin merajalela. Terakhir mereka membantai penduduk Desa Tanaru beserta galara (kepala desa) dan keluarganya sebelum desa mereka dibumihanguskan. Mayat-mayat bergelimpangan di mana-mana yang sebagian besarnya hangus bersama rumah-rumah mereka. Darah Jenderal Hongli alias Dato Hongli mendidih menyaksikan bekas aksi kebiadaban yang di luar batas kemanusiaan itu. Darah kependekarannya menangis dan jiwanya menjerit. Tetapi ada sebuah keajaiban. Di antara mayat-mayat bergelimpangan ada sesosok bayi mungil yang kondisinya masih utuh. Tubuhnya sama sekali tak bergerak. Sang bayi malang seolah-olah tak tersentuh api walau pakaiannya telah menjadi abu. “Oh...ternyata bayi ini masih hidup,” desah sang mantan jenderal perang kekaisaran Dinasti Ming. Diangkatnya bayi itu seraya lanjut berucap, “Akan kubesarkan bayi ini. Dia adalah sang titisan para dewa. Akan kugembleng ia agar kelak menjadi seorang pendekar besar. Kelak, biarlah dia sendiri yang akan datang untuk menuntut balas atas kematian keluarganya serta seluruh penduduk desanya. Akan kuberi bayi ini dengan nama La Mudu. Ya, La Mudu, Si Yang Terbakar...!” Lalu sang pendekar besar yang bergelar Wu Ying Jianke (Pendekar Tanpa Bayangan) itu mengangkat tubuh bayi itu tinggi-tinggi dengan kedua tangannya. Ia berseru dengan suaranya yang bergetar membahana: “Dengarlah, wahai Sang Hyang Dewata Agung....! Aku bersumpah untuk menggembleng dia menjadi seorang pendekar besar yang akan menumpas segala bentuk kejahatan di atas bumi ini..!! Wahai Dewata Agung, kabulkanlah keinginanku ini...!! Kabulkan, kabulkan, kabulkan, wahai Dewata Agung...!” Sang Hyang Dewata Agung mendengar permohonannya. Alam pun seolah mengamininya. Cahaya petir langsung menghiasi angkasa raya yang disusul dengan guruh gemuruh yang bersahut-sahutan. Tak lama kemudian hujan deras bagai tercurah mengguyur bumi yan

M Dahlan Yakub Al Barry · Fantasy
Not enough ratings
89 Chs

Bab 26. Sebuah Rencana Besar

“Jadi...,” ucap La Mudu kemudian, “sejak saat ini kita adalah lima sahabat yang saling rela berkorban satu sama lain, tanpa boleh saling curiga dan tanpa saling mengkhianati. Dan karena saya telah dianggap sebagai sahabat yang dituakan, maka kewajiban saya untuk menjadi sahabat yang bijak!”

Kelima pemuda berpostur kekar itu pun serentak saling berangkulan satu sama lain dengan penuh suka dan dengan keyakinan penuh.

Keesokan malamnya, masih di bawah rembulan dan hamparan langit bersih yang bertabur ribuan bintang-gemintang, La Mudu dan keempat sahabatnya duduk di teras rumah.

“Lusa siang kita berlayar menuju Pulau Sangia,”La Mudu membuka suaranya. “Apa kalian benar-benar sudah mantap dan yakin ke sana untuk menjadi anggota pajuri-nya La Afi Sangia?”

Keempat sahabatnya saling berpandangan satu sama lain, sebelum La Pabise menjawab, “Tentu, Lenga, kami...sudah mantab...”

La Mudu tersenyum mesem mendengar jawaban La Pabise. Ada keraguan yang mendasar dari suara sahabat barunya itu. “Tapi ingat...,” ucapnya, “setelah kalian menjadi pajuri-nya La Afi Sangia, kalian bukan saja harus memutuskan hubungan kalian dengan kekasih kalian dan keluarga kalian, tetapi kalian harus memutuskan pikiran kalian dengan hati nurani kalian. Rasa kemanusiaan di hati kalian harus kalian buang jauh-jauh selamanya. Karena selamanya kalian tak akan bisa keluar dari keanggotaan itu. Jiwa raga kalian hanya semata untuk Tuan Agung kalin, La Afi Sangia.” La Mudu menatap satu-satu wajah keempat sahabatnya, sebelum lanjut bertanya, “Apa kalian sudah menyadari itu?”

Lagi-lagi La Pabise, La Tunggara, La Rangga Jo, dan Lewamori saling berpandangan satu sama lain. Jelas mencuat keraguan yang nyata di wajah mereka. Dan sebelum keempat sahabatnya itu menjawab pertanyaan, La Mudu lalu lanjut berkata, “Baiklah, tak usah dijawab. Saya ganti pertanyaannya. Hal utama yang mendorong kalian untuk menjadi pajuri-nya Afi Sangia adalah gaji, harta, benar demikian?”

Keempat sahabat barunya serentak mengangguk. “Benar, Lenga Mudu,” sahut keempatnya hampir bersamaan.

“Andaikata keadaan negeri tak seperti saat ini,” kata La Pabise, “ maka saya lebih memiliki jadi petani atau nelayan. Sekalipun mungkin penghasilan tak menentu, tetapi ketenangan hidup lebih terjamin. Tetapi karena keadaan negeri seperti saat ini, ya...pekerjaan apa pun harus dijalani, sekalipun harus melenyapkan kehidupan orang lain demi untuk melanjutkan hidup.”

“Ya, ya, saya mengerti, Lenga,”ujar La Mudu. “Keadaan negeri saat ini benar-benar tak menguntungkan sedikit pun bagi kalangan rakyat. Tetapi kenapa tidak menjadi nelayan saja, mungkin masih ada harapan?”

La Pabise tersenyum sembari meggeleng-geleng pelan dengan wajah merunduk. “Dulu ayah saya adalah juragan kapal, Lenga. Beliau salah satu orang yang terkaya di desa saya. Beliau memiliki kapal penangkap ikan yang sangat banyak. Tapi kemudian, setelah La Afi Sangia demikian kuat, kapal-kapal itu dirampas untuk kemudian dijadikan sebagai kapal perompak. Sekarang, orang tua saya jatuh ke titik kehidupan yang paling rendah. Beliau tak mampu bangkit lagi. Melaut pun hanya untuk sekedar menyambung hidup.”

La Mudu hanya mengangguk-angguk pelan. Ada pancaran ikut prihatin pada raut wajah tampannya. Ia hendak mengucapkan sesuatu, tetapi tak jadi, karena La Lewamori mendahului dengan berkata, “Nasib orang tua saya pun tak jauh berbeda. Dulu beliau adalah seorang petani dan peternak yang kaya raya. Kerbau dan kudanya sangat banyak, tapi sekarang jatuh miskin. Harta mereka dirampas oleh gerombolannya La Afi Sangia. Nyaris semua kerbau dan kuda dibawa ke pulau. Ayah bercocok tanam pun hasilnya pun lebih banyak diserahkan kepada gerombolannya La Afi Sangia.”

La Mudu menghela nafas panjang. “Apa kerajaan sudah tak mampu untuk melindungi segenap rakyatnya?”

“Seharusnya mampu, tetapi gerombolannya La Afi Sangia jauh lebih licik daripada para pajuri jaga kerajaan, “sahut La Pabise. “ Gerombolannya La Afi Sangia kebanyakan bergerak pada malam hari, dan hanya sekali-sekali mereka lakukan di siang hari. Namun beberapa bulan ini mereka sudah tak mengenal waktu lagi. Pernah beberapa kali mereka berhadapan dengan pasukan kerajaan, perang kecil-kecilan, dan saling mengalahkan. Saat ini La Afi Sangia sedang merekrut banyak calon pajuri. Ada tiga kemungkinan tujuan, menurut saya, yaitu: La Afi Sangia ingin menjadi bangsa perompak yang paling kuat di wilayah timur dan tenggara, atau ingin mendirikan sebuah kerajaan sendiri yang berpusat di Pulau Sangia. Tetapi saya dengar-dengar, dan ini saya yakini, bahwa La Afi Sangia hendak melakukan pemberontakan terhadap kerajaan dan sekaligus ingin merebut tahta kerajaan dari raja yang sah. Ia orang yang cukup cerdas dan sangat licik, sehingga sudah memperhitungkan kekuatan angkatan perang Kerajaan Bima, karena itu ia harus membangun dulu angkatan perangnya sekuat mungkin agar tidak kepalang basah.”

“Apakah La Afi Sangia kira-kira mampu melakukan itu? Karena membangun sebuah angkatan perang yang kuat itu membutuhkan kekuatan dana yang sangat besar juga?”tanya La Mudu.

“Sangat mampu, saya kira,”ujar La Pabise. “La Afi Sangia memiliki perbendaharaan yang sangat besar. Hartanya yang berupa emas, perak, dan permata beratus-ratus peti yang disimpan di sebuah gua khusus sebagai gudangnya. Demikian kabar yang kami dengar. Dan cerita tentang itu sudah menjadin rahasia umum di kalangan rakyat negeri. Harta yang paling banyak, konon, berasal dari hasil merompak terhadap kapal-kapal dagang yang melintas di sekitar laut tenggara.”

La Mudu mendengarkan keterangan La Pabise dengan mengangguk-angguk pelan. Dan semua keterangan itu disimpannya dalam hatinya.

“Konon, kekayaan La Afi Sangia jauh lebih besar yang dimiliki oleh kerajaan mana pun di wilayah kepulauan tenggara ini,” sambung La Rangga Jo.

“Ya, saya juga menduganya begitu,” ujar La Mudu. Lalu memandang ke arah La Rangga Jo, dan bertanya, “Lantas, bagaimana cerita tentang orang tuami, Rangga?”

“Jujur, saya dasarnya berasal dari keluarga miskin. Ayah saya hanya seorang peladang. Jadi ya...tak ada yang perlu diceritakan, kecuali tentang kemiskinannya.”

Lagi-lagi La Mudu manggut-manggut, lalu beralih memandang ke La Turangga.

“Kisah orang tua saya mungkin sama memilukannya dengan nasib orang tuanya Lenga La Pabise dan Lenga La Lewamori. Ayah saya adalah seorang pedagang kaya, orang yang terperlajar, dan berasal dari kalangan bangsawan. Tapi lagi-lagi, akibat kebringasan dan keserakahan La Afi Sangia, pelan tapi pasti, ayah saya pun dibuat jadi miskin. Orang tua saya sekarang hanya mampu menjadi seorang palele kecil-kecilan. Itu pun dilakukan dengan sangat hati-hati. Karena jika anak buah La Afi Sangia dengar, ya hasil palele-nya dirampok juga.”(Palele = makelar jual beli ternak, hasil bumi, dan lain-lain).

La Mudu kembali manggut-manggut. Ia tidak manggut-manggut pada nasib orang tua dari La Turangga, namun lebih mengambil kesan dari kepribadian sahabat barunya yang paling muda itu. Perawakannya tinggi tegap, wajah ganteng, kulit kuning bersih, dengan pembawaan tenang dan santun, yang merupakan ciri khas umum dari keturunan orang berada, bangsawan, dan terpelajar. Sebuah kepribadian yang sama sekali tidak cocok untuk menjadi calon anak buahnya La Afi Sangia yang kelak mau tak mau akan berubah menjadi manusia yang jiwa dan wataknya separo iblis dan separo binatang buas. Bahkan ketiga sahabatnya yang lain pun tak cocok untuk itu. Oh, begitu kejamnya dunia!

“Lalu bagaimana dengan kisahmu sendiri, Lenga Mudu?”

Pertanyaan dari La Rangga Jo itu sedikit membuat kaget La Mudu, namun kemudian dia tersenyum. Dalam hatinya ia sama sekali tak ada keraguan ataupun takut untuk menceritakan riwayat dirinya kepada keempat barunya itu. Bukankah keempat sahabatnya itu sudah menceritakan kisah mereka masing-masing dengan jujur?

“Jujur, Lenga semua,” ucapnya La Mudu, “nasib saya jauh lebih memilukan lagi. Sejak saya bisa mengenali dunia ini, saya belum pernah melihat wajah kedua orang tua saya, wajah saudara saya, dan wajah-wajah orang di lingkungan saya. Sejak usia bayi saya diangkat, diasuh, dibesarkan, dan dididik oleh guru saya yang saya panggil sebagai Ato. Beliau bukan orang asli negeri ini. Beliau pendatang dari sebuah negeri yang sangat jauh. Sebangsa dengan Tuan Baojia sekeluarga. Saya tumbuh dan besar di sebuah rimba di pegunungan sebelah barat sana.”

“Lantas asal-usul Lenga Mudu dari mana...?”bertanya La Pabise.

“Tentu saya dari negeri ini juga,” jawab La Mudu. “Pernahkah kalian mendengar tentang desa yang bernama Tanaru? Menurut guru saya, desa itu terletak di pesisir timur pulau ini.”