webnovel

PENDEKAR TAPAK DEWA

Kebiadaban yang dilakukan oleh gerombolan La Kala (Kelompok Merah-Merah) di bawah pimpinan La Afi Sangia makin merajalela. Terakhir mereka membantai penduduk Desa Tanaru beserta galara (kepala desa) dan keluarganya sebelum desa mereka dibumihanguskan. Mayat-mayat bergelimpangan di mana-mana yang sebagian besarnya hangus bersama rumah-rumah mereka. Darah Jenderal Hongli alias Dato Hongli mendidih menyaksikan bekas aksi kebiadaban yang di luar batas kemanusiaan itu. Darah kependekarannya menangis dan jiwanya menjerit. Tetapi ada sebuah keajaiban. Di antara mayat-mayat bergelimpangan ada sesosok bayi mungil yang kondisinya masih utuh. Tubuhnya sama sekali tak bergerak. Sang bayi malang seolah-olah tak tersentuh api walau pakaiannya telah menjadi abu. “Oh...ternyata bayi ini masih hidup,” desah sang mantan jenderal perang kekaisaran Dinasti Ming. Diangkatnya bayi itu seraya lanjut berucap, “Akan kubesarkan bayi ini. Dia adalah sang titisan para dewa. Akan kugembleng ia agar kelak menjadi seorang pendekar besar. Kelak, biarlah dia sendiri yang akan datang untuk menuntut balas atas kematian keluarganya serta seluruh penduduk desanya. Akan kuberi bayi ini dengan nama La Mudu. Ya, La Mudu, Si Yang Terbakar...!” Lalu sang pendekar besar yang bergelar Wu Ying Jianke (Pendekar Tanpa Bayangan) itu mengangkat tubuh bayi itu tinggi-tinggi dengan kedua tangannya. Ia berseru dengan suaranya yang bergetar membahana: “Dengarlah, wahai Sang Hyang Dewata Agung....! Aku bersumpah untuk menggembleng dia menjadi seorang pendekar besar yang akan menumpas segala bentuk kejahatan di atas bumi ini..!! Wahai Dewata Agung, kabulkanlah keinginanku ini...!! Kabulkan, kabulkan, kabulkan, wahai Dewata Agung...!” Sang Hyang Dewata Agung mendengar permohonannya. Alam pun seolah mengamininya. Cahaya petir langsung menghiasi angkasa raya yang disusul dengan guruh gemuruh yang bersahut-sahutan. Tak lama kemudian hujan deras bagai tercurah mengguyur bumi yan

M Dahlan Yakub Al Barry · Fantasy
Not enough ratings
89 Chs

Bab 21. Lima Sahabat

Tentu saja serangan yang seperti itu tidak membuat perasaan La Mudu kaget. Bahkan dengan tenang ia menyambut serangan itu dengan permainan pedang yang jauh lebih cepat dan berbahaya lagi sehingga membuat lawan justru dalam waktu singkat terserang balik dan…

Trang…!!

Bughg…!!

Pedang pemimpin terlepas dari tangannya dan terlempar ke udara lalu disusul oleh bunyi tubuhnya yang terlempar ke belakang akibat tendangan Pendekar Tapak Dewa. Ia jatuh dan membentur sebatang pohon besar di sekitar itu. Darah menyembur dari mulut dan kedua lobang hidungnya. Saat La Mudu meloncat dan hendak menebaskan pedangnya, laki-laki itu langsung menjatuhkan tubuhnya seperti orang yang bersujud sebagai tanda menyerah.

“Baiklah, Anak Muda, kami menyerah. Kami akan mengikuti permintaanmu,” ucapnya dengan nafas terengah-engah.

“Dasar manusia-manusia sampah yang tak punya otak! Kenapa tidak dari tadi kalian mengikuti ucapanku!? Sekarang kalian serahkan semua harta kalian!”

Tanpa diminta untuk kedua kalinya, sang pimpinan kawanan mengambil kantong hitam dari balik bajunya untuk kemudian dilemparkan ke depan kakinya La Mudu. “Kukira itu sudah lebih dari cukup untuk membayar semua utang dan kerugiannya Baojia.”

“Belum!” bentak La Mudu, “Harga diri dan rasa malu anak gadisnya yang kalian perlakukan secara biadab tidak sebanding dengan sekantong uang ini. Ayo kalian serahkan kantong uang milik kalian. Jika tidak, kalian akan menggantinya dengan sebelah tangan kalian maisng-masing!”

Mendapat ancaman yang naga-naganya tak main-main itu, keenam anggota kawanan pun serentak menyerahkan kantong hitam yang berisi kepingan-kepingan uang emas kepada La Mudu.

“Hmmm. Untuk saat ini aku akan memaafkan kalian, namun jika lain waktu akau bertemu lagi dengan kalian sedang berbuat biadab, maka aku tak akan memaafkan kalian. Paling tidak aku akan membuat kalian cacat untuk seumur hidup. Itu sumpahku! Ingat!”

“Baik, Jawara Muda, kami berjanji tidak akan berbuat biadab lagi!”janji ketua kawanan.

“Aku genggam ucapanmu, orang tua!”sahut La Mudu. “Dan satu hal lagi, kalian jangan pernah berfikir untuk membalas dendam kepada pemilik warung ini dan keluarganya. Jika terjadi sesuatu hal yang buruk kepada mereka, maka aku akan mencari kalian hingga ke lobang semut sekalipun. Bagiku, dunia ini sangat sempit kalau hanya untuk mencari sampah dunia seperti kalian!”

“Iya, Jawara Muda, kami bersumpah untuk memegang ucapan kami!”janji ketua kawanan lagi.

“Baik! Segera kalian enyah drai tempat ini! Aku muak melihat kalian!”

Tanpa menunggu lama, ketujuh kawanan itu pun segera pergi dari tempat itu.

Baojia dan istrinya segera datang memeluk tubuh La Mudu. Keduanya mengucapkan terima kasihnya berulang-ulang. Saat itu Meilin hanya berdiri di pintu warung tanpa berkata apa pun, namun matanya memandang kepada La Mudu.

La Mudu tersenyum dan membalas pelukan sepasang suami istri pendatang dari negeri Tiongkok itu. “Sama-sama Baojia, Ibu, itu hanya kewajiban terhadap sesama saja.”

“Mereka gerombolan manusia yang sangat jahat, Jawara,” ucap istrinya Baojia. “Kami dan seluruh warga desa tak ada yang berani menetang mereka.”

Iya ibu, saya rasa juga begitu, tapi mereka sudah berjanji untuk tidak pernah mengganggu ibu sekeluarga,”ucap La Mudu dengan sikap sopan kepada wanita setengah baya di depannya. Lalu kepada Baojia ia berkata, “Bapak bawa masuk semua kantong itu. Kukira ini cukup untuk membayar semua utang dan lain-lain mereka kepada Bapak Baojia sekeluarga.”

“Haiya, ini malah keterlaluan banyaknya, Pendekar Muda. Tentu saya hanya mengambil sesuai dengan utang dan kerugian kami saja,”sahut Baojia.

“Kalau begitu begini saja, Pak Baojia. Sebagian dari isi kantong-kantong ini diberikan saja kepada masyarakat yang membutuhkannya. Toh harta ini adalah milik penduduk yang mereka rampok juga.

“Baiklah Jawara Muda…” Baojia tak melanjutkan ucapannya. Tampaknya ia seperti tersadar tentang sesuatu hal saat melihat penampilan sang jawara muda di hadapannya. Sepasang matanya semakin sipit.

“Ada apa Pak Boajia?” bertanya La Mudu karena ditatap demikian oleh Baojia.

“Aaa…maaf Jawara Muda,”ucap Baojia agak ragu. “Saya hanya merasa heran ketika melihat penampilan Jawara Muda yang seperti penampilan para jawara di negeri saya Tiongkok sana. Apakah Jawara Muda ini berasal dari Tiongkok juga…?”

La Mudu tersenyum dan menyadari apa yang menjadi keheranan Baojia. Dia melangkah masuk ke dalam warung, melewati Meilin, dan duduk kembali di meja makannya tadi. Baojia dan istrinya mengikuti dari belakang.

Setelah meminum air nira yang belum sempat diminumnya, La Mudu pun menceritakan sekilas tentang siapa dirinya.

“Jadi Jawara Muda ini dibesarkan dan diangkat murid oleh seorang pendekar pelarian dari Tiongkok?”bertanya Baojia.

“Iya, benar. Tetapi siapa beliau saya tak bisa menceritakannya, karena nampaknya beliau sendiri tidak ingin orang lain tau siapa dirinya dan keberadaannya saat ini. Tetapi yang jelas, wajah Bapak Baojia memiliki kemiripan dengan guru saya itu.”

“Ya, ya, ya, saya paham,”sahut Baojia. “Sekali lagi, saya sekeluarga mengucapkan terimakasih atas pertolongan Jawara Muda. Andai saja taka da Jawara Muda, tentu kawanan jahat tadi akan berbuat lebih jauh kepada saya sekeluarga. Kau seorang jawara besar, Jawara…”

“Panggil saja saya Mudu, La Mudu,”La Mudu memperkenalkan namanya.

“Iya, Jawara Mudu. Kamu sangat bahagia karena Jawara Mudu datang pada waktu yang tepat,” lanjut Baojia.

“Tentu semuanya sudah diatur oleh Sang Dewata Agung, Pak Baojia. Kewajiban kita manusia adalah saling menolong satu sama lain.”

“Benar Jawara Muda. Ohya, sebenarnya Jawara Muda hendak ke manakah gerangan?”

La Mudu hendak menjawab pertanyaan Baojia, tetapi tidak jadi karena ia melihat Meili sedang merapikan peralatan warung yang tadi berserakan oleh pimpinan kawanan jahat. Segera ia bangkit dan datang membantu untuk merapikannya. Meja yang sudah hancur di bawahnya keluar agar meja dan bangku bisa dirapikan kembali.

Saat Lamudu dan Meilin memungut satu-satu pecahan piring dan gelas keramik, tangan keduanya sempat bersentuhan yang membuat keduanya slaing bertatapan.

“Sudah Kakak, biar saya yang merapikannya,”Meilin berkata pelan kepada La Mudu dengan wajah tersipu malu.

“Tak mengapa, Meilin. Biar tempat ini cepat rapi kembali dan pelanggan tidak merasakan kalau di tempat ini baru saja terjadis esuatu,”La Mudu memberi alasan.

“Kakak ini dari manakah gerangan dan hendak pergi ke mana?”

“Oh saya berasal dari wilayah barat dan hendak menuju….”

Belum sempat La Mudu melanjutkan ucapannya, di luar terdengar suara ringkihan beberapa ekor kuda. Lalu beberapa saat kemudian empat pemuda masuk ke dalam warung, untuk makan. Mereka seumuran dengan La Mudu. Dilihat dari penampilannya yang bersih dan sopan, keempatnya adalah pemuda biasa, dan bukan kawanan jahat.

“Masih adakah makanan dan minumannya, Tuan?” bertanya salah seorang dari keempatnya kepada Baojia.

“Tentu masih. Silakan tuan-tuan duduk, kami akan segera menyiapkannya.”

La Mudu mengikuti Baojia dan Meilin ke dalam dapur untuk menyiapkan makan dan minuman pesanan. “Maaf, Bapak Baojia, Meilin, biar saya bantu untuk membawakan makanan dan minuman pesanan mereka. Meilin di sini saja, ya?”

Rupanya La Mudu khawatir jika Meilin yang membawakan akan mendapatkan perilaku tak terpuji dari keempat laki-laki di depan seperti yang dilakukan oleh ketujuh kawanan jahat tadi. Dan Baojia tak keberatan.

Saat ia membawakan nasi dan lauk pauknya kepada keempat orang itu, La Mudu berkata dengan ramah, “Selamat menikmati makanannya, lenga berempat.”

“Terima kasih,” sahut keempat pemuda bersahutan.

Dan saat ia kembali lagi untuk membawakan beberapa wadah nira segar, La Mudu bertanya, “Maaf, lenga berempat ini berasal dari mana dan hendak ke manakah? Ohya, maaf, perkenalkan namaku La Mudu.”

Kelimanya saling bersalaman sembari memperkenalkan nama maisng-masing. Nama mereka adalah La Rangga Jo, La Tunggara, La Lewamori, dan La Pabisa.

“Kami berempat dari wilayah Wawo, dan tujuan kami hendak menuju Pulau Sangia,”menjawab pemuda yang bernama La Pabise mewakili ketiga temannya.