Jenderal Hongli memanfaatkan suasana pantai yang sepi di malam harinya utk melakukan hal tersebut. Latihan-latihan yang dilakukannya tersebut tentu tidak dilewatkan oleh keluarga barunya, yaitu La Mbili, La Hiri, dan La Gunta Marunta. Setiap gerakan jurus yang demikian cepat dan dahsyat yang diperagakan oleh pendekar dari negeri nun jauh ini senantiasa menimbulkan decak kagum dari ketiganya.
Menurut penilaian La Gunta Marunta, kedahsyatan jurus-jurus yang diperagakan oleh laki-laki bermata sipit itu masih jauh di atas tingkatan jurus-jurus yang dimiliki para pendekar penggembleng di padepokan kerajaan. Hingga muncul keyakinan dalam hati pemuda tanggung ini, bahwa laki-laki yang sudah berusia empat puluhan tahun ini bukanlah manusia awam masalah ilmu kependekaran, namun sesungguhnya ia adalah seorang pendekar besar di dunia persilatan. Harapan besar akan keberuntungan masa depan yang bisa diraih oleh sang anggota keluarga barunya ini pun teryakini dalam hati La Gunta Marunta dan kedua orang tuanya.
* * *
Setelah semuanya telah dipersiapkan dengan matang, maka di suatu sore yang cukup cerah, dengan didampingi oleh La Gunta Marunta dan ayahnya, La Mbili, Jenderal Hongli pun berangkat menuju alun-alun istana, di mana uji pencarian pemangku panglima perang sementara itu dilakukan. Ketiganya menunggang kuda. Dengan mengenakaian pakaian ciri khas pendekar dari Dataran Sinae (Dataran Tiongkok), penampilan Jenderal Hongli sore itu terlihat begitu gagah dan berwibawa, menggambarkan ia adalah seorang pendekar besar dan amat pilih tanding.
Sesampai di alun-alun, pertarungan uji sedang berlangsung dengan seru dan dahsyatnya. Telah banyak pendekar yang gagal dan berguguran. Kebanyakan para pendekar gagal itu digotong keluar kalangan oleh para juru gotong dalam kondisi sudah meregang nyawa. Pendekar-pendekar malang tersebut rata-rata gugur di pertarungan uji tahap pertama melawan para pendekar uji istana. Para pendekar peserta diperbolehkan bertarung dengan menggunakan senjata kebesarannya masing-masing. Misalnya pendekar yang masyhur dengan ilmu tongkatnya, maka dia akan maju bersama tongkatnya, dan akan disambut oleh pendekar penguji pertama dan seterusnya dengan permainan tongkat pula. Demikian juga pendekar yang masyhur dengan ilmu pedangnya.
Karena sekeliling kalangan tarung sudah sangat padat oleh para penyaksi, maka La Gunta dan La Mbili mengajak Hongli untuk mengambil tempat di pojok selatan kalangan pertarungan, di dekat jalan keluar dan masuk. Saat itu sedang berlangsung pertarungan seorang pendekar berparang kembar melawan seorang pendekar utama. Pendekar peserta itu menyerang pendekar penguji dengan gerakan jurus-jurus yang demikian cepat dan lihai. Sepasang parang kembar di kedua tangannya bergerak dan berkiblat laksana kitiran, mengejar ke mana pun tubuh pendekar penguji bergerak. Namun anehnya pendekar penguji hanya melawannya dengan tangan kosong, dan sama sekali belum berniat untuk menggunakan senjata sejenis yang tersedia di atas sebuah meja kayu yang diletakkan di sudut utara kalangan.
Mungkin Pendekar penguji utama merasa belum saatnya untuk melawan dengan senjata sejenis. Setiap tebasan kedua parang di arahkan ke bagian-bagian tubuhnya yang mematikan, maka dengan cepat pendekar penguji menghindari sembari mengiblatkan pukulan dan tendangan dengan kecepatan tinggi. Beberapa pukulan dan tendangannya pun telak dan keras mengenai tubuh pendekar berparang kembar hingga terlempar beberapa tombak ke belakang dan terduduk. Namun, dengan semangat kejawaraan sejati, pendekar bertubuh ceking itu segera mengumpulkan kembali tenaga dalamnya, dan kembali melakukan penyerangan dengan gerakan jurusnya yang lebih lihai dan dahsyat lagi.
Namun, mungkin karena tak ingin memperpanjang waktu, pendekar uji utama pun menyambut serangan itu dengan mengarahkan kedua kepalanya ke depan. Pancingannya kena. Saat pendekar berparang kembar mengarahkan tebasan kepada kedua pergelangan tangan pendekar utama, dengan cepat pendekar penguji menarik kedua tangannya kebawah untuk kemudian digerakkan secara melingkar ke kedua sisi, lalu menebas kedua sendi siku lawannya dengan menggunakan kedua sisi tangannya. Saat kedua tangan yang memegang parang itu terlempar ke samping, maka dengan secepat kilat pendekar penguji membenturkan kepalanya ke dada lawannya itu dengan amat keras.
Bugggh!! Krekk..!!
Terdengar suara tulang dada pendekar berparang kembar itu patah, yang disusul dengan terlemparnya tubuhnya ke belakang hingga beberapa tombak lagi, dan jatuh dengan dada membentur bumi. Hanya sesaat dia memandang tanpa berkedip ke arah pendekar uji, sebelum ia terkapar tak sadarkan diri dengan darah segar yang merembes keluar dari mulut dan kedua lubang hidungnya. Dan tanpa diperintah, sekelompok membopong dengan sergap masuk mengangkat tubuh yang terkulai itu ke luar kalangan. Sorak dan tepuk tangan pun kembali bergemuruh.
Hongli menikmati pertunjukan itu dengan baik dan seksama, yang sekali-kali menilainya sambil tersenyum dan manggut-manggut.
"Jawara penguji utama itu namanya La Singa Tambora," La Gunta memberitahukannya dengan setengah berbisik. "Namun di dunia persilatan dia lebih dikenal dengan julukan Jawara Kundunawa (Pendekar Perenggut Nyawa). Dia merupakan salah satu jawara terbaik dan utama yang dimiliki oleh kerajaan, dan merupakan pengawal kepala kerajaan."
"Artinya, sampai saat ini belum ada seorang pendekar pun yang mampu melewatinya?" bertanya Jenderal Hongli kepada La Gunta Marunta, dengan setengah berbisik pula.
"Begitulah, Tuan."
Keduanya tak melanjutkan lagi saling berbisiknya, karena saat itu pandangan mereka kembali terarah sepenuhnya ke dalam kalangan tarung. Saat itu tinggal dua pendekar calon lagi yang tersisa. Seorang bertubuh hitam tinggi dan kekar, tidak bersenjatakan apa-apa. Sedangkan pendekar peserta yang satunya lagi bertubuh cebol, gempal, berambut panjang, dengan memegang sebuah tongkat bambu kuning setinggi ukuran tubuhnya.
La Singa Tambora kembali mempersilahkan di antara kedua pendekar itu untuk maju ke dalam kalangan tarung. Ternyata yang maju duluan adalah pendekar cebol. Pendekar ini hanya hanya menjura sesaat lalu dengan tiba-tiba menyerang La Singa Tambora dengan sangat cepatnya. Permainan tongkatnya pun sangat lihai juga. La Singga Tambora yang sudah siap dengan serangan mendadak tersebut, segera bergerak menghindar dengan melentingkan tubuhnya ke samping. Sebatang tongkat rotan yang disiapkan di pojok kalangan diraihnya, dan langsung menghalau sembari menyerang balik tongkat lawan.
Pertarungan pun berlangsung dengan dahsyatnya. Suara dari beradunya kedua tongkat sakti itu terdengar demikian rapat dan gencar. Suara sorakan dan tepukan tangan para penyaksi serta gencarnya gendang dan serunai pengiring ditabuhkan dan ditiupkan menjadikan pertarungan antara kedua manusia yang sama-sama memiliki ilmu tinggi itu pun makin seru.
Pendekar cebol, yang di kalangan dunia persilatan dikenal dengan julukan Jawara Poro Sape (Pendekar Cebol dari Sape), memang terkenal ampuh dengan permainan tongkatnya. La Singa Tambora cukup kerepotan dalam menyambut setiap serangan dahsyat tongkatnya. Namun setelah pertarungan berlangsung hampir melewati sepuluh jurus, barulah La Singa Tambora berhasil mendaratkan satu pukulan pamungkas tongkatnya. Ujung tongkat rotannya berhasil menghantam tepat pada dahi pendekar cebol dengan sangat kerasnya, menimbulkan sobekan dan percikan darah segar. Tubuh pendekar cebol jatuh tergeletak dan langsung tak bergerak. Pingsan!
Belum lagi La Singa Tambora mempersilahkan lawan terakhirnya, si pendekar tinggi hitam sudah meloncat ke dalam kalangan. Tanpa menunggu lagi, dengan cepat menggempur La Singa Tambora dengan serangan memutar kakinya dengan gerakan yang amat cepat.
La Singa Tambora dibuat kaget juga dengan serangan dadakan itu, sehingga sempat juga tubuhnya terkena sabetan kaki sang lawan, sehingga membuatnya sedikit tergeser ke belakang. Saat tendangan susulan lawan kembali berkiblat ke arah lehernya, dengan sebuah gerakan yang amat sigap dan cepat, La Singa Tambora menangkap dan mencengkeram kaki lawannya dengan kuat, sembari mengiblatkan satu tendangan keras ke dalam selangkangan sang lawan. Tak ampun lagi, sang lawan yg bertubuh besar tinggi itu pun terlempar ke belakang. Ia mengerang guling-guling sembari memegang bagian selangkangannya yang sakit tiada terkira. Ketika La Singa Tambora hendak maju melanjutkan penyerangan, lawannya segera mengangkat tangan tanda menyerah. Suara tawa penyaksi pun sontak menggelegar.
"Apa masih ada lagi yang mau mencoba keberuntungan...?" bertanya La Singa Tambora, setelah semuanya tenang kembali.