webnovel

Pendekar Mabuk

Pendekar Mabuk Adalah Bocah Tanpa Pusar Yang Bernama Suto Sinting Yang Mempunyai Guru Bernama Ki Shabawana Bergelar Gila Tuak Dan Nyai Nawang Tresni Bergelar Bidadari Jalang Kedua Tokoh Itu Adalah Tokoh Tertinggi Di Rimba Persilatan Pada Masa itu.

Riko_Supriyatna · Action
Not enough ratings
44 Chs

002.Pendekar Mabuk - Pusaka Tuak Setan Eps14

Episode 14

DUA perempuan itu bersalto ke belakang secara

bersama-sama. Bukan karena benturan pukulan

mereka melainkan karena adanya pukulan berbahaya

yang dilancarkan dari jarak jauh oleh lelaki bertubuh

sedikit gemuk, mengenakan baju merah dan celana

hitam dengan ikat pinggangnya yang hitam juga itu.

Seperti diceritakan sebelumnya Dewi Murka dan

Selendang Kubur sedang berkelahi mempertahankan

keinginan masing-masing untuk menemui si Gila

Tuak.

Tetapi ketika mereka sedang bertempur, tiba-tiba

saja mereka merasakan adanya serangan dari pihak

ketiga.

"Selendang Kubur, kurasa lebih baik kita bersama-

sama menghadapi lelaki tambun itu! Dan nanti kita

bersama-sama saja menghadapi si Gila Tuak!" ujar

Dewi Murka mengajak berdamai.

"Aku mengerti, Dewi. Baiklah kalau kau

menghendaki kita bersatu."

Mereka berdua memang tidak menyangka jika

kehadirannya di Jurang Lindu akan disambut oleh

sikap bermusuhan dari seorang lelaki yang dikenal

dengan nama julukan: Pujangga Kramat. Pelayan

setia si Gila Tuak itu adalah orang yang mudah curiga.

Tak satu pun manusia yang berada di sekitar wilayah

air terjun itu yang luput dari sasaran kecurigaan.

Bahkan seorang penggembala kambing pun

pernah menjadi sasaran kecurigaan, sehingga

penggembala kambing itu nyaris mati di tangan

Pujangga Kramat. Dan, kali ini kehadiran Selendang

Kubur serta Dewi Murka pun dianggapnya suatu niat

yang jahat, walaupun di ujung pertemuan mereka

berdua sudah menjelaskan akan bertemu dengan si

Gila Tuak. Tetapi, Pujangga Kramat itu berkata,

"Tak punya bertemu waktu si Gila Tuak kalian

kepada!"

Mulanya Selendang Kubur dan Dewi Murka sama-

sama ingin tertawa geli mendengar kata-kata

Pujangga Kramat. Tetapi mereka segera maklum,

karena mereka pernah mendengar cerita dari Guru

mereka, bahwa Pujangga Kramat adalah manusia

yang tidak pernah benar dalam menggunakan tata

bahasa. Kadang orang bingung mengartikan tiap

ucapan kata Pujangga Kramat, yang menurutnya

mempunyai seni sastra tersendiri.

"Kami datang dengan maksud baik," kata Dewi

Murka.

"Peduli tak. Izin tak ada menerima tamu untuk si

Gila Tuak dari," kata Pujangga Kramat.

Selendang Kubur berbisik kepada Dewi Murka,

"Apa maksudnya?"

"Tak peduli. Tak ada izin dari si Gila Tuak untuk

menerima tamu!"

"Ooo...," Selendang Kubur manggut-manggut. "Jika

begitu, kita desak saja dia dengan rayuan."

"Lelaki macam dia sepertinya tak butuh rayuan

wanita."

Belum sempat kedua perempuan itu berunding

lagi, Pujangga Kramat telah berkata dengan nada

membentak.

"Ini tempat kalian tinggalkan segera! Di sekitar sini

orang tak lain boleh ada. Si Gila Tuak mendidik

sedang muridnya. Kuusir paksa kalian kalau segera

tak pergi!"

"Kami tak akan pergi sebelum bertemu dengan si

Gila Tuak!" kata Dewi Murka.

Maka, menyeranglah Pujangga Kramat dengan

pukulan tenaga dalam dari kedua tangannya.

Berjumpalitanlah kedua perempuan itu ke belakang.

Kini, kedua perempuan itu sama-sama rentangkan

tangan siap hantamkan pukulan 'Kepak Sayap

Sepasang Merpati Liar'. Pujangga Kramat segera

ambil sikap menyamping. Kedua kakinya merenggang

rendah dengan kedua tangan diangkat setinggi

pundak. Matanya tertuju tajam pada masing-masing

perempuan yang bersebelahan itu.

Tiba-tiba kedua perempuan itu sama-sama

memutar tubuh satu putaran dan kedua tangan

mereka dihentakkan ke depan dengan keras.

Wuuggh...! Wuggh...!

Duubh...!

Pukulan itu ditahan oleh Pujangga Kramat dengan

menggunakan tenaga dalam dari kedua tangannya.

Tetapi, agaknya pukulan 'Kepak Sayap Sepasang

Merpati Liar' itu lebih besar kekuatannya, sehingga

tubuh yang sedikit gemuk dan agak pendek itu

terjengkang ke belalang, lima langkah jauhnya.

Brrukk...!

Tubuh Pujangga Kramat bagai hendak terbenam di

dalam tanah. Napasnya menjadi sesak, matanya

sempat mendelik. Namun buru-buru ia mengeraskan

semua uratnya dan melesat cepat dengan

menggunakan ke dua kakinya. Kini ia sudah kembali

berdiri dengan wajah memerah.

"Gila. Cukup hebat juga orang ini. Dia mampu

berdiri lagi dengan cepat setelah mendapat pukulan

kita berdua!" kata Dewi Murka.

Selendang Kubur hanya tersenyum sinis. Segera ia

melepas kain selendangnya seraya berkata pelan

kepada Dewi Murka.

"Biar kuhadapi dengan selendangku. Dia perlu

mendapat pelajaran yang layak dari selendang ini!"

Dewi Murka tidak memberi persetujuan lewat kata,

namun ia melangkah mundur beberapa tindak,

membiarkan Selendang Kubur maju ke depan. Pada

saat itu, Pujangga Kramat berkata,

"Aku salahkan jangan, jika melayang kau punya

nyawa! Lagi sekali kuingatkan kamu, dari sini

cepatlah pergi!"

Selendang Kubur sempat berpaling ke arah Dewi

Murka dan bertanya, "Apa maksudnya?"

"Entahlah. Tak perlu tahu, serang saja dia!"

Selendang Kubur mengangguk tanda setuju. la

melangkah maju tiga tindak. Pujangga Kramat pun

melangkah maju dengan bersiap mengirimkan

pukulannya lewat kepalan tinjunya yang besar dan

kekar. Namun sebelum tangan itu sempat bergerak

melancarkan pukulan tenaga dalamnya, selendang

putih berkelebat dengan cepatnya, bagai hembusan

angin di siang hari bolong. Wusss...! Srettt...!

Kain selendang menjerat lengan Pujangga Kramat.

Kuat dan erat sekait lilitan kain selendang itu.

Pujangga Kramat mengerahkan tenaganya untuk

menarik selendang tersebut, sementara Selendang

Kubur pun berusaha menarik selendangnya kuat-

kuat. Keduanya saling beradu kerahkan tenaga.

Keduanya sama-sama berkuda-kuda rendah dengan

tangan gemetaran.

Selendang Kubur membatin, "Besar juga kekuatan

orang ini. Biasanya tangan yang terlilit selendangku

akan patah dalam satu hentakan. Tapi agaknya

tangan orang ini cukup kokoh. Aku harus lebih

mengerahkan tenaga lagi!"

Maka memekiklah Selendang Kubur dengan

suaranya yang nyaring. "Hiaaat....!"

la sentakkan tenaga lebih kuat lagi, dan tubuh

Pujangga Kramat pun terlempar maju bagaikan

terbang ke arah Selendang Kubur. Perempuan itu

segera menyongsongnya dengan satu lompatan

bertenaga.

"Heaaah...!"

Plak, plak...!

"Huggh.,.!"

Dua pukulan ganda dari tangan Selendang Kubur

tepat telak di dada Pujangga Kramat. Lelaki yang

mengenakan baju komprang tanpa dikancingkan

bagian depannya itu tersentak mundur akibat

pukulan telapak tangan Selendang Kubur. la jatuh

berdebam ke tanah dan berguling-guling, seperti

nangka busuk jatuh dari pohon.

Bluuugh...!

Lelaki berikat kepala kulit rusa itu menyeringai

kesakitan. Namun seringainya hanya sebentar,

karena ia telah menarik napas dalam-dalam

menahannya beberapa saat. Rasa nyeri segera

teratasi. Tetapi ia terkesiap ketika melihat di dadanya

membekas dua telapak tangan merah memar, la

segera membatin.

"Hebat juga jurus perempuan itu! Kalau aku tidak

mengerahkan tenaga perisaiku, pasti dada ini sudah

jebol sampai ke belakang."

Selendang Kubur sendiri berkata kepada Dewi

Murka saat berdiri di sampingnya.

"Dia punya pelapis di dalam dadanya. Pasti dia

melapisi dengan suatu gelombang berkekuatan baja.

Mestinya dia punya dada sudah hangus dan terbakar,

tapi nyatanya hanya membekas merah saja!"

"Apakah kau sudah menyerah?" tanya Dewi Murka

berkesan mengejek. "Kalau kau sudah kewalahan

menghadapi dia, biarlah aku yang maju!"

"Selendang Kubur tak pernah mengenal kata

menyerah!" geram Selendang Kubur yang mempunyai

nama asli Larasati.

"Kalau begitu, silakan kau lanjutkan

pertarunganmu. Aku akan menjadi penonton yang

baik."

Dewi Murka tersenyum sinis, meremehkan

kemampuan Selendang Kubur. Tetapi sikapnya itu

tidak dihiraukan oleh Selendang Kubur. Perempuan

itu segera bergerak maju dengan selendang putih

dikalungkan di lehernya.

"Pujangga Kramat, satu kali lagi kau menentang

kemauanku bertemu dengan si Gila Tuak,

kupatahkan batang lehermu memakai selendang

kuburku ini!"

Pujangga Kramat tertawa sedikit keras. la bertolak

pinggang, seakan memamerkan dadanya yang tidak

bisa dijebol oleh kekuatan pukulan lawannya. Lalu,

Pujangga Kramat pun berkata,

"Hebatnya apa selendang itumu?! Tak hebat

adanya sama sekali!"

"Apakah kau tak melihat bekas telapak tanganku

di dadamu?"

"Tak lihat kau pula bekas di tangan

pergelanganmu?"

Selendang Kubur sedikit bingung mengartikan

kata-kata itu, lalu ia berpaling kepada Dewi Murka

dan bertanya, "Apa arti kata-katanya?"

"Lihat pergelangan tanganmu!" kata Dewi Murka.

"Oh...?!" Selendang Kubur terpekik dalam hatinya,

la melihat noda hitam menghangus di pergelangan

tangan kirinya. Ternyata pada waktu terjadi bentrokan

di udara tadi, Pujangga Kramat berhasil menotokkan

jarinya ke pergelangan tangan Selendang Kubur.

Tetapi totokan itu tidak mengenai jalan darah,

sehingga tidak mengakibatkan apa-apa kecuali bekas

hangus, biru kehitam-hitaman pada kulit yang kuning

langsat itu.

"Keparat!" geram hati Selendang Kubur. "Hampir

saja jalan darahku terkena totokannya. Jelas totokan

itu bertenaga dalam cukup besar, sampai membuat

bekas seperti ini di kulit pergelangan tanganku.

Rupanya ia punya gerakan jari yang cukup cepat dan

membahayakan jika tidak diperhatikan!"

"He, he, he... diam mengapa, Selendang Kubur?

Anggap jangan enteng diriku. Bisa aku membuat jebol

kepalamu, kau inginkan saja kapan. Jadi, pergilah

sebaiknya sekarang kau juga, sebelum kujebol pusar

dan lainnya pusarmu."

Geram hati Selendang Kubur bertambah

mengganas. Maka, ia pun segera menarik

selendangnya ke belakang dan melecutkannya

dengan kaki menghentak ke tanah satu kali.

Wusss...!

Dueaarr...!

Ujung selendang memercikkan api. Suara

menggelegar tersentak keluar dari kibasan angin

selendang. Tubuh lelaki bergelang akar bahar

terpental terbang, dan jatuh hampir mencapai tepian

tebing sungai. Pukulan yang bernama 'Selendang

Petir' itu telah dilancarkan. Pujangga Kramat tidak

menduga akan mendapat serangan sehebat itu.

Sekujur tubuhnya bagai dihantam angin topan

berkekuatan besar.

Untung saja sikunya menghantam gugusan batu di

tepi tebing sungai. Jika tidak, ia pasti telah terjun ke

tebing sungai itu. Napasnya sendiri terasa bagaikan

hilang dalam beberapa jurus. Ketika ia temukan lagi

napasnya, ia terengah-engah dengan mata

berkunang-kunang. Sejenak ia kibas-kibaskan

kepalanya untuk membuang kunang-kunang dalam

penglihatannya itu.

"Samber gledek!" makinya dalam hati. "Untung

ujung selendang itu tidak mengenai kepalaku. Kalau

saja tepat mengenai kepalaku, pasti kepalaku hancur

disambar ekor petir yang keluar dari ujung selendang

keparat itu! Uuff...! Pusing juga kepalaku jadinya! Aku

harus memberi balasan kepadanya. Biar tahu

perempuan itu bagaimana rasanya orang disambar

angin petir."

Pujangga Kramat segera bangkit, tidak

menampakkan kepusingannya. Namun ketika ia maju

satu langkah, tubuhnya terasa gontai. Agar tak

kentara gontainya, ia berhenti dan tetap berdiri

dengan kaki tegak menghadap Selendang Kubur.

Sementara itu, Selendang Kubur pun mempunyai

kecamuk batin.

"Orang ini manusia apa banteng?! Mestinya ia

terluka dalam dan tak sadarkan diri. Setidaknya

rambutnya terbakar atau pakaiannya terbakar oleh

percikan api dari pukulan 'Selendang Petir'-ku tadi.

Tapi, kenyataannya ia dalam keadaan utuh! Berarti ia

cukup mampu melapisi dirinya dengan kekuatan

tenaga dalamnya yang cukup tinggi juga rupanya."

Dari arah belakang terdengar Dewi Murka berkata

merendahkan ilmu yang digunakan Selendang Kubur.

"Kau ini mau bertarung apa menari? Sejak tadi tak

ada hasilnya sama sekali. Buang-buang waktu saja!"

"Diamlah kau!" sentak Selendang Kubur, tanpa

memandangi Dewi Murka.

"Minggirlah. Biar aku yang maju! Kau belajar dari

jurus-jurusku dalam merubuhkan lawan seperti dia!"

Selendang Kubur tidak mau mundur, la tidak

mempedulikan kata-kata Dewi Murka. la bahkan maju

dua langkah dengan memutar-mutarkan kain

selendangnya di atas kepala.

Pujangga Kramat meletakkan kedua tangannya

kebelakang kepala. Dari sana kedua tangannya

mengeras, dan hanya dua jari di masing-masing

tangannya yang mengembang lurus, lalu kedua

tangan itu segera berkelebat ke depan dalam satu

sentakan kedua jari dari masing-masing tangannya.

Wuugh...!

Sebuah tenaga begitu besar melesat keluar dari

keempat jari yang tertuding kaku itu. Tenaga besar itu

tidak menghantam, melainkan mendorong tubuh

Selendang Kubur. Tubuh tersebut pada mulanya

terdorong mundur mendekati Dewi Murka. Setelah

itu, tubuh tersebut berputar di atas tumitnya.

Putarannya semakin kencang. Tubuh itu terangkat

sedikit dari tanah. Bahkan tubuh Dewi Murka pun ikut

terangkat dan berputar dengan kuat. Wusss...

wuuss... wuusss...!

Kedua perempuan itu tidak bisa mengendalikan

diri. Mereka berdua sama-sama berusaha melawan

kekuatan yang memutarkan tubuh. Namun semakin

dilawan terasa semakin cepat saja putaran tersebut.

Mereka bagai hanyut di dalam pusaran angin lesus

yang cukup besar.

"Jangan dilawan! Pecah peredaran darahmu jika

dilawan!" seru Selendang Kubur kepada Dewi Murka

yang tampak mau melawannya dengan kekuatan

tenaga dalamnya. Namun begitu mendengar kata-

kata Selendang Kubur, hatinya membenarkan kata-

kata itu. Maka ia tak jadi melawan kekuatan dahsyat

yang telah membuatnya seperti baling-baling. Bahkan

kini mereka bergerak terlempar bersama-sama ketika

tangan Pujangga Kramat menghentak ke samping,

bagai melemparkan sebuah benda dari jarak jauh.

Buuk... buukkk...! Kedua tubuh perempuan itu

berjatuhan saling tindih. Dewi Murka terkulai tak

mampu bergerak untuk sesaat. la ditertawakan oleh

Pujangga Kramat. Dan tawa itu tiba-tiba berhenti

melihat Selendang Kubur telah berdiri tegak dalam

sekejap.

"Edan! Perempuan itu tidak merasakan pusing

sedikit pun?! Dia masih bisa berjalan dengan lurus!"

Pujangga Kramat terkesiap melihat Selendang

Kubur tidak terbujur lemas seperti Dewi Murka.

Bahkan kini Selendang Kubur menyabetkan kain

selendangnya ke bagian kaki. Wuusss...! Sreett...!

Terperangkap sudah kedua kaki Pujangga Kramat,

bagai terikat kuat dengan selendang putih itu.

Brukkk...! Tubuh Pujangga Kramat jatuh karena

selendang disentakkan oleh pemiliknya. Lelaki

bergeleng akar hitam itu sempat menggeragap

sebentar. Tubuhnya terasa mulai terseret tanpa

mendapat pegangan apa pun. Lalu, ia juga

merasakan tubuhnya mulai melayang.

Selendang Kubur telah berhasil menarik tubuh itu

dan kini sedang melayangkan tubuh tersebut dengan

cara memutarkan selendangnya. Tubuh pria berusia

antara empat puluh tahunan itu dipakai mainan,

diputar-putar di udara dengan ringannya. Semakin

lama semakin cepat putarannya. Membentur pohon

sedikit, pecah kepala Pujangga Kramat itu.

Seandainya ikatan pada kakinya terlepas dari

selendang, maka tubuh itu akan meluncur cepat,

terbuang entah ke mana dan jika membentur benda

keras, sedikitnya akan ada tulang yang patah.

Bayangan itu yang membuat Pujangga Kramat

menjadi panik. la memekik dengan suara mirip gaung

sejuta kumbang.

"Waooow...!"

Saat itu Dewi Murka mulai sadar dari rasa pusing

yang memabukkan. la mulai bisa melihat dengan

jelas apa yang dilakukan Selendang Kubur. Maka

dengan cepat ia menghunus trisulanya. Gerakan

tubuh Pujangga Kramat akan disongsong dengan

pucuk trisula. Jelas gerakan putar itu akan berhenti

dan tubuh Pujangga Kramat akan tertusuk ujung

trisula.

Tetapi, ketika trisula itu dihunus dan hendak

dihadangkan ke garis putaran tubuh Pujangga

Kramat, tiba-tiba ada angin baru yang berkelebat

membuat trisula itu lenyap dari tangan Gewi Murka.

Perempuan itu sempat terbengong melompong

melihat tangannya kosong.

Mata Dewi Murka kian terbelalak ketika melihat

sesuatu yang berkelebat cepat sekali itu telah

membuat tubuh Pujangga Kramat lenyap. Tinggal

selendang tanpa bandul apa pun yang dibawa

berputar-putar oleh perempuan yang berjuluk

Selendang Kubur itu. Dewi Murka menahan tawa

keheranan melihat Selendang Kubur berputar-putar

bersama selendangnya yang sudah tanpa tubuh

Pujangga Kramat itu.

"Selendang Kubur! Berhentilah! Mangsamu telah

lenyap!" seru Dewi Murka. Dan seruan itu didengar

oleh Selendang Kubur.

"Hah...?!" Selendang Kubur terkejut melihat ujung

selendangnya telah kosong. Matanya terbelalak

memandang sekeliling, kemudian sepasang matanya

itu menangkap sesosok tubuh yang berdiri dalam

jarak antara tujuh langkah dari tempatnya. Sosok

yang ditangkap matanya itu berpakaian coklat tua

dengan celana putih. Rambutnya panjang sebatas

punggung, lurus rapi, lembut gemulai.

Bersamaan dengan itu, mata Dewi Murka pun

menangkap kehadiran seorang pemuda berpakaian

coklat dengan sebuah bumbung dari bambu yang ada

di bagian punggungnya, melintang miring bagaikan

sebilah pedang pusaka kebanggaan para pendekar.

Kedua perempuan itu memandang dengan mata

tak berkedip. Apalagi ketika pemuda itu sunggingkan

senyum di bibirnya, hati kedua perempuan tersebut

menjadi berdesir, berdebar-debar penuh bunga-bunga

indah bermekaran membuai jiwa.

Dewi Murka berbisik kepada Selendang Kubur,

"Tak salah lagi, pasti dialah murid si Gila Tuak yang

disebut-sebut Murbawati dengan nama Suto Sinting

itu!"

"Ya. Memang benar. Pasti dia. Ketampanannya

sesuai dengan pujian yang selalu meluncur dari mulut

Murbawati," balas Selendang Kubur berbisik lirih

sekali.

"Paman Sugiri," kata Suto kepada Pujangga

Kramat, "Sebaiknya Paman kembali ke tempat dan

biarlah urusan ini saya yang selesaikan."

"Baiklah, Suto," jawab Pujangga Kramat dengan

suara gemetar. la pun melangkah, sambil sesekali

berusaha menjaga keseimbangan tubuh yang mau

rubuh. Gerakannya itu menimbulkan perasaan geli di

hati Suto, juga di hati kedua perempuan itu.

"Pasti dia pusing akibat kau putar-putarkan!" bisik

Dewi Murka, tapi hanya dijawab dengan gumaman

pendek oleh Selendang Kubur, karena perhatian

Selendang Kubur telah kembali tertuju pada pemuda

tampan itu.

Senyum Suto semakin mekar ketika ia sadar

dipandangi penuh kagum oleh kedua perempuan

berwajah cantik-cantik itu. Bahkan sekarang ia

melangkah mendekati mereka dan berhenti dalam

jarak tiga langkah di depan mereka.

"Kaukah yang tadi mau membunuh Paman Sugiri,

alias Pujangga Kramat itu?" katanya kepada Dewi

Murka.

"Hmmm... maksudku... maksudku...."

Belum selesai Dewi Murka bicara, tiba-tiba Suto

yang masih menggenggam trisula itu bergerak cepat

menerjang tubuh Dewi Murka. Perempuan itu sempat

terpelanting nyaris jatuh ketika tangan kirinya

berusaha menangkis pukulan tangan kiri Suto.

Sreppp...!

Jliiggg...!

Suto telah berdiri tegak membelakangi kedua

perempuan itu. Kepalanya berpaling menoleh ke

belakang, senyumnya kembali mekar indah

mengguncang hati kedua perempuan yang nyaris tak

sempat berkedip melihat gerakan Suto yang begitu

cepat. Bahkan Dewi Murka terbelalak kaget melihat

trisulanya sudah terselip di pinggangnya dengan rapi,

persis pada tempat semula.

"Edan gerakannya! Melebihi angin menurutku.

Sampai tak terasa ia telah mengembalikan trisulaku

pada tempatnya. Luar biasa!" gumam hati Dewi

Murka sambil mundur mendekati Selendang Kubur.

Suto berbalik arah. Kini ia berhadapan dengan

kedua perempuan itu. Matanya yang memancar indah

dengan sedikit sayu akibat pengaruh tuak yang

diminumnya di dalam gua, telah membuat daya pikat

tersendiri di hati kedua perempuan itu.

"Siapa kalian berdua, dan ada urusan apa dengan

Paman Sugiri sehingga kalian saling bertempur

melawannya?" tanya Suto sambil meraih bumbung

tuaknya untuk dilepas dari punggung.

"Kami orang-orang Perguruan Merpati Wingit,"

jawab Selendang Kubur. "Kami... kami... kami..,,"

ucapannya tak mampu dilanjutkan karena sepasang

mata Suto menatap dengan kelembutan yang

meneduhkan hati. Namun agaknya Selendang Kubur

merasa malu jika tak bisa melanjutkan ucapannya

karena tatapan mata Suto, maka ia segera

mengalihkan pandangannya ke arah lain dan berkata

lagi.

"Kami ingin bertemu dengan si Gila Tuak, untuk

menyampaikan permohonan maaf dari guru kami,

Nyai Guru Betari Ayu, atas salah sangka tempo hari,

yang membuat teman kami menderita sakit akibat

pukulan tenaga dalam dari Pujangga Kramat."

"Apakah temanmu itu juga seorang perempuan

muda berkuda hitam?"

"Benar!" jawab Selendang Kubur.

"O, dia yang mencuri dengar percakapanku dengan

guruku itu?"

"Buk... bukan... buk... bukan...,'' Dewi Murka ingin

ikut bicara tapi menjadi gagap karena hatinya

berdebar-debar menikmati ketampanan seraut wajah

lelaki yang belum pernah ia jumpai di mana pun juga.

Jantungnya gemetar, sehingga ia tak bisa

melontarkan kata-kata dengan baik.

Tetapi, Selendang Kubur yang sengaja tak

memperhatikan Suto segera menjelaskan maksud

temannya,

"Temanku itu bukan menyadap percakapanmu

dengan si Gila Tuak. Hanya secara kebetulan saja ia

mendengar Pusaka Tuak Setan sedang kalian

bicarakan. Tapi sebenarnya temanku itu hanya...

hanya merasa tertarik padamu dan ingin melihat lebih

jelas ketampananmu."

Suto selesai meneguk tuak, lalu tertawa terkekeh

mirip orang tua, sambil berkata,

"Jadi dia hanya ingin mengintip ketampananku?

Apa benar begitu? Apa benar pula saat ini kalian juga

ingin mengintip ketampananku? Apakah kalian tidak

bermaksud mencuri dengar pembicaraanku dengan

Guru?"

"Tidak," jawab Selendang Kubur. "Kalau toh kami

mendengar tentang Telaga Manik Intan, itu suatu hal

yang kebetulan saja. Tapi tujuan utama kami datang

ke sini untuk meluruskan salah duga antara pihak

perguruanku dengan pihak si Gila Tuak."

Mata jeli Suto Sinting itu melirik ke pepohonan

sebelah kanannya. Ada sesuatu yang ia curigai di

sana. Tetapi sesuatu itu telah pergi dengan melesat

cepat tak bisa ditangkap penglihatan bentuk dan

wujudnya. Suto membiarkan hal itu berlalu, karena ia

merasa masih perlu bicara dengan kedua perempuan

tersebut.

"Siapa namamu?" tanyanya kepada Selendang

Kubur. Yang ditanya menatap, dan bola matanya

segera blingsatan karena hatinya makin berdebar

pada saat beradu pandang. la tak berani terlalu lama

beradu pandang dengan Suto, karena ia tak akan

bisa bicara jika dalam keadaan beradu pandang.

"Namaku Selendang Kubur," jawab Selendang

Kubur dengan mata menatap ke arah Dewi Murka.

Sambungnya lagi, "Dan ini saudara seperguruanku

yang bergelar Dewi Murka."

"Bagus sekali. Nama kalian tak ada hubungannya

dengan rupa ayu kalian. Tapi aku tidak peduli. Yang

perlu kujelaskan, aku mewakili pribadi guruku, si Gila

Tuak, telah menerima penjelasan dari pihak Merpati

Wingit. Aku menyatakan tidak ada urusan apa-apa

lagi di antara kita."

"Kami memohon maaf jika sikap teman kami ini

tidak berkenan di hati pihakmu," kata Selendang

Kubur dengan mata sengaja memandang ke arah

gugusan batu di tanah lereng.

"Permintaan maaf kuterima," jawab Suto. "Tapi

sikapmu bicara padaku masih kurang sopan."

"Harus bagaimana aku bicara padamu?"

"Pandanglah orang yang kau ajak bicara. Itu sikap

yang sopan."

"Aku belum sanggup."

"Tapi temanmu yang bernama Dewi Murka ini,

sejak tadi sanggup menatapku."

"Tapi ia tidak sanggup bicara apa-apa padamu."

Suto tertawa panjang. Tuaknya kembali ditenggak

sedikit. Setelah itu ia berkata lagi kepada Selendang

Kubur.

"Persoalan sudah selesai. Kalian boleh pulang."

"Tid... tidak... tidakkah... kam... kami...," Dewi

Murka tak pernah mampu menyelesaikan kata-

katanya, membuat Suto semakin tertawa geli.

"Apa maksudmu?"

"Kam... kam... kam...."

'Kambing?" sahut Suto menerka.

Dewi Murka menggeleng. Wajahnya makin pucat.

Napasnya tampak tidak teratur lagi. Badannya tidak

bergerak, matanya masih menatap Suto tak berkedip

sejak tadi.

"Ak... ak... aku... aku...."

"Sudahlah, jangan bicara," potong Suto. "Napasku

bisa putus mendengar bicaramu! Sekarang,

sebaiknya kalian lekas pergi dari sini, karena aku pun

akan segera pergi."'

Selendang Kubur menatap sebentar, lalu

memalingkan pandangan ke arah lain, sambil

melontarkan pertanyaan.

"Ke mana kau akan pergi? Ke Telaga Manik

Intan?"

"Kau tak perlu tahu."

"Ak... aku...," Dewi Murka mencoba bicara lagi.

"Ak... aku... aku dal... dal... dalam... ke... keadaan...

bah... bah...." . El

"Bahagia?" sahut Suto.

"Bah... bah... bahaya...."

Serentak wajah Selendang Kubur berpaling

menatap Dewi Murka. "Apa maksudmu, Dewi?"

Wajah Dewi Murka makin pucat walau mata tetap

memandang Suto. la berkata gagap lagi, "Tol...

tolong... ak... aku.... Di punggung...."

Suto berkerut dahi melihat perubahan wajah kian

memucat. la segera membalikkan tubuh Dewi Murka.

Ternyata punggung perempuan itu telah berdarah

karena ditembus oleh sepucuk jarum besi sepanjang

kelingkingnya.

"Dewi...?!" sentak Selendang Kubur dengan sangat

terkejut.

Dewi Murka rubuh ke dada Suto. Wajahnya kian

memucat. la telah menjadi salah sasaran dari

seseorang yang ingin menyerang Suto dengan

menggunakan jarum beracun.

*

* *