Episode 14
DUA perempuan itu bersalto ke belakang secara
bersama-sama. Bukan karena benturan pukulan
mereka melainkan karena adanya pukulan berbahaya
yang dilancarkan dari jarak jauh oleh lelaki bertubuh
sedikit gemuk, mengenakan baju merah dan celana
hitam dengan ikat pinggangnya yang hitam juga itu.
Seperti diceritakan sebelumnya Dewi Murka dan
Selendang Kubur sedang berkelahi mempertahankan
keinginan masing-masing untuk menemui si Gila
Tuak.
Tetapi ketika mereka sedang bertempur, tiba-tiba
saja mereka merasakan adanya serangan dari pihak
ketiga.
"Selendang Kubur, kurasa lebih baik kita bersama-
sama menghadapi lelaki tambun itu! Dan nanti kita
bersama-sama saja menghadapi si Gila Tuak!" ujar
Dewi Murka mengajak berdamai.
"Aku mengerti, Dewi. Baiklah kalau kau
menghendaki kita bersatu."
Mereka berdua memang tidak menyangka jika
kehadirannya di Jurang Lindu akan disambut oleh
sikap bermusuhan dari seorang lelaki yang dikenal
dengan nama julukan: Pujangga Kramat. Pelayan
setia si Gila Tuak itu adalah orang yang mudah curiga.
Tak satu pun manusia yang berada di sekitar wilayah
air terjun itu yang luput dari sasaran kecurigaan.
Bahkan seorang penggembala kambing pun
pernah menjadi sasaran kecurigaan, sehingga
penggembala kambing itu nyaris mati di tangan
Pujangga Kramat. Dan, kali ini kehadiran Selendang
Kubur serta Dewi Murka pun dianggapnya suatu niat
yang jahat, walaupun di ujung pertemuan mereka
berdua sudah menjelaskan akan bertemu dengan si
Gila Tuak. Tetapi, Pujangga Kramat itu berkata,
"Tak punya bertemu waktu si Gila Tuak kalian
kepada!"
Mulanya Selendang Kubur dan Dewi Murka sama-
sama ingin tertawa geli mendengar kata-kata
Pujangga Kramat. Tetapi mereka segera maklum,
karena mereka pernah mendengar cerita dari Guru
mereka, bahwa Pujangga Kramat adalah manusia
yang tidak pernah benar dalam menggunakan tata
bahasa. Kadang orang bingung mengartikan tiap
ucapan kata Pujangga Kramat, yang menurutnya
mempunyai seni sastra tersendiri.
"Kami datang dengan maksud baik," kata Dewi
Murka.
"Peduli tak. Izin tak ada menerima tamu untuk si
Gila Tuak dari," kata Pujangga Kramat.
Selendang Kubur berbisik kepada Dewi Murka,
"Apa maksudnya?"
"Tak peduli. Tak ada izin dari si Gila Tuak untuk
menerima tamu!"
"Ooo...," Selendang Kubur manggut-manggut. "Jika
begitu, kita desak saja dia dengan rayuan."
"Lelaki macam dia sepertinya tak butuh rayuan
wanita."
Belum sempat kedua perempuan itu berunding
lagi, Pujangga Kramat telah berkata dengan nada
membentak.
"Ini tempat kalian tinggalkan segera! Di sekitar sini
orang tak lain boleh ada. Si Gila Tuak mendidik
sedang muridnya. Kuusir paksa kalian kalau segera
tak pergi!"
"Kami tak akan pergi sebelum bertemu dengan si
Gila Tuak!" kata Dewi Murka.
Maka, menyeranglah Pujangga Kramat dengan
pukulan tenaga dalam dari kedua tangannya.
Berjumpalitanlah kedua perempuan itu ke belakang.
Kini, kedua perempuan itu sama-sama rentangkan
tangan siap hantamkan pukulan 'Kepak Sayap
Sepasang Merpati Liar'. Pujangga Kramat segera
ambil sikap menyamping. Kedua kakinya merenggang
rendah dengan kedua tangan diangkat setinggi
pundak. Matanya tertuju tajam pada masing-masing
perempuan yang bersebelahan itu.
Tiba-tiba kedua perempuan itu sama-sama
memutar tubuh satu putaran dan kedua tangan
mereka dihentakkan ke depan dengan keras.
Wuuggh...! Wuggh...!
Duubh...!
Pukulan itu ditahan oleh Pujangga Kramat dengan
menggunakan tenaga dalam dari kedua tangannya.
Tetapi, agaknya pukulan 'Kepak Sayap Sepasang
Merpati Liar' itu lebih besar kekuatannya, sehingga
tubuh yang sedikit gemuk dan agak pendek itu
terjengkang ke belalang, lima langkah jauhnya.
Brrukk...!
Tubuh Pujangga Kramat bagai hendak terbenam di
dalam tanah. Napasnya menjadi sesak, matanya
sempat mendelik. Namun buru-buru ia mengeraskan
semua uratnya dan melesat cepat dengan
menggunakan ke dua kakinya. Kini ia sudah kembali
berdiri dengan wajah memerah.
"Gila. Cukup hebat juga orang ini. Dia mampu
berdiri lagi dengan cepat setelah mendapat pukulan
kita berdua!" kata Dewi Murka.
Selendang Kubur hanya tersenyum sinis. Segera ia
melepas kain selendangnya seraya berkata pelan
kepada Dewi Murka.
"Biar kuhadapi dengan selendangku. Dia perlu
mendapat pelajaran yang layak dari selendang ini!"
Dewi Murka tidak memberi persetujuan lewat kata,
namun ia melangkah mundur beberapa tindak,
membiarkan Selendang Kubur maju ke depan. Pada
saat itu, Pujangga Kramat berkata,
"Aku salahkan jangan, jika melayang kau punya
nyawa! Lagi sekali kuingatkan kamu, dari sini
cepatlah pergi!"
Selendang Kubur sempat berpaling ke arah Dewi
Murka dan bertanya, "Apa maksudnya?"
"Entahlah. Tak perlu tahu, serang saja dia!"
Selendang Kubur mengangguk tanda setuju. la
melangkah maju tiga tindak. Pujangga Kramat pun
melangkah maju dengan bersiap mengirimkan
pukulannya lewat kepalan tinjunya yang besar dan
kekar. Namun sebelum tangan itu sempat bergerak
melancarkan pukulan tenaga dalamnya, selendang
putih berkelebat dengan cepatnya, bagai hembusan
angin di siang hari bolong. Wusss...! Srettt...!
Kain selendang menjerat lengan Pujangga Kramat.
Kuat dan erat sekait lilitan kain selendang itu.
Pujangga Kramat mengerahkan tenaganya untuk
menarik selendang tersebut, sementara Selendang
Kubur pun berusaha menarik selendangnya kuat-
kuat. Keduanya saling beradu kerahkan tenaga.
Keduanya sama-sama berkuda-kuda rendah dengan
tangan gemetaran.
Selendang Kubur membatin, "Besar juga kekuatan
orang ini. Biasanya tangan yang terlilit selendangku
akan patah dalam satu hentakan. Tapi agaknya
tangan orang ini cukup kokoh. Aku harus lebih
mengerahkan tenaga lagi!"
Maka memekiklah Selendang Kubur dengan
suaranya yang nyaring. "Hiaaat....!"
la sentakkan tenaga lebih kuat lagi, dan tubuh
Pujangga Kramat pun terlempar maju bagaikan
terbang ke arah Selendang Kubur. Perempuan itu
segera menyongsongnya dengan satu lompatan
bertenaga.
"Heaaah...!"
Plak, plak...!
"Huggh.,.!"
Dua pukulan ganda dari tangan Selendang Kubur
tepat telak di dada Pujangga Kramat. Lelaki yang
mengenakan baju komprang tanpa dikancingkan
bagian depannya itu tersentak mundur akibat
pukulan telapak tangan Selendang Kubur. la jatuh
berdebam ke tanah dan berguling-guling, seperti
nangka busuk jatuh dari pohon.
Bluuugh...!
Lelaki berikat kepala kulit rusa itu menyeringai
kesakitan. Namun seringainya hanya sebentar,
karena ia telah menarik napas dalam-dalam
menahannya beberapa saat. Rasa nyeri segera
teratasi. Tetapi ia terkesiap ketika melihat di dadanya
membekas dua telapak tangan merah memar, la
segera membatin.
"Hebat juga jurus perempuan itu! Kalau aku tidak
mengerahkan tenaga perisaiku, pasti dada ini sudah
jebol sampai ke belakang."
Selendang Kubur sendiri berkata kepada Dewi
Murka saat berdiri di sampingnya.
"Dia punya pelapis di dalam dadanya. Pasti dia
melapisi dengan suatu gelombang berkekuatan baja.
Mestinya dia punya dada sudah hangus dan terbakar,
tapi nyatanya hanya membekas merah saja!"
"Apakah kau sudah menyerah?" tanya Dewi Murka
berkesan mengejek. "Kalau kau sudah kewalahan
menghadapi dia, biarlah aku yang maju!"
"Selendang Kubur tak pernah mengenal kata
menyerah!" geram Selendang Kubur yang mempunyai
nama asli Larasati.
"Kalau begitu, silakan kau lanjutkan
pertarunganmu. Aku akan menjadi penonton yang
baik."
Dewi Murka tersenyum sinis, meremehkan
kemampuan Selendang Kubur. Tetapi sikapnya itu
tidak dihiraukan oleh Selendang Kubur. Perempuan
itu segera bergerak maju dengan selendang putih
dikalungkan di lehernya.
"Pujangga Kramat, satu kali lagi kau menentang
kemauanku bertemu dengan si Gila Tuak,
kupatahkan batang lehermu memakai selendang
kuburku ini!"
Pujangga Kramat tertawa sedikit keras. la bertolak
pinggang, seakan memamerkan dadanya yang tidak
bisa dijebol oleh kekuatan pukulan lawannya. Lalu,
Pujangga Kramat pun berkata,
"Hebatnya apa selendang itumu?! Tak hebat
adanya sama sekali!"
"Apakah kau tak melihat bekas telapak tanganku
di dadamu?"
"Tak lihat kau pula bekas di tangan
pergelanganmu?"
Selendang Kubur sedikit bingung mengartikan
kata-kata itu, lalu ia berpaling kepada Dewi Murka
dan bertanya, "Apa arti kata-katanya?"
"Lihat pergelangan tanganmu!" kata Dewi Murka.
"Oh...?!" Selendang Kubur terpekik dalam hatinya,
la melihat noda hitam menghangus di pergelangan
tangan kirinya. Ternyata pada waktu terjadi bentrokan
di udara tadi, Pujangga Kramat berhasil menotokkan
jarinya ke pergelangan tangan Selendang Kubur.
Tetapi totokan itu tidak mengenai jalan darah,
sehingga tidak mengakibatkan apa-apa kecuali bekas
hangus, biru kehitam-hitaman pada kulit yang kuning
langsat itu.
"Keparat!" geram hati Selendang Kubur. "Hampir
saja jalan darahku terkena totokannya. Jelas totokan
itu bertenaga dalam cukup besar, sampai membuat
bekas seperti ini di kulit pergelangan tanganku.
Rupanya ia punya gerakan jari yang cukup cepat dan
membahayakan jika tidak diperhatikan!"
"He, he, he... diam mengapa, Selendang Kubur?
Anggap jangan enteng diriku. Bisa aku membuat jebol
kepalamu, kau inginkan saja kapan. Jadi, pergilah
sebaiknya sekarang kau juga, sebelum kujebol pusar
dan lainnya pusarmu."
Geram hati Selendang Kubur bertambah
mengganas. Maka, ia pun segera menarik
selendangnya ke belakang dan melecutkannya
dengan kaki menghentak ke tanah satu kali.
Wusss...!
Dueaarr...!
Ujung selendang memercikkan api. Suara
menggelegar tersentak keluar dari kibasan angin
selendang. Tubuh lelaki bergelang akar bahar
terpental terbang, dan jatuh hampir mencapai tepian
tebing sungai. Pukulan yang bernama 'Selendang
Petir' itu telah dilancarkan. Pujangga Kramat tidak
menduga akan mendapat serangan sehebat itu.
Sekujur tubuhnya bagai dihantam angin topan
berkekuatan besar.
Untung saja sikunya menghantam gugusan batu di
tepi tebing sungai. Jika tidak, ia pasti telah terjun ke
tebing sungai itu. Napasnya sendiri terasa bagaikan
hilang dalam beberapa jurus. Ketika ia temukan lagi
napasnya, ia terengah-engah dengan mata
berkunang-kunang. Sejenak ia kibas-kibaskan
kepalanya untuk membuang kunang-kunang dalam
penglihatannya itu.
"Samber gledek!" makinya dalam hati. "Untung
ujung selendang itu tidak mengenai kepalaku. Kalau
saja tepat mengenai kepalaku, pasti kepalaku hancur
disambar ekor petir yang keluar dari ujung selendang
keparat itu! Uuff...! Pusing juga kepalaku jadinya! Aku
harus memberi balasan kepadanya. Biar tahu
perempuan itu bagaimana rasanya orang disambar
angin petir."
Pujangga Kramat segera bangkit, tidak
menampakkan kepusingannya. Namun ketika ia maju
satu langkah, tubuhnya terasa gontai. Agar tak
kentara gontainya, ia berhenti dan tetap berdiri
dengan kaki tegak menghadap Selendang Kubur.
Sementara itu, Selendang Kubur pun mempunyai
kecamuk batin.
"Orang ini manusia apa banteng?! Mestinya ia
terluka dalam dan tak sadarkan diri. Setidaknya
rambutnya terbakar atau pakaiannya terbakar oleh
percikan api dari pukulan 'Selendang Petir'-ku tadi.
Tapi, kenyataannya ia dalam keadaan utuh! Berarti ia
cukup mampu melapisi dirinya dengan kekuatan
tenaga dalamnya yang cukup tinggi juga rupanya."
Dari arah belakang terdengar Dewi Murka berkata
merendahkan ilmu yang digunakan Selendang Kubur.
"Kau ini mau bertarung apa menari? Sejak tadi tak
ada hasilnya sama sekali. Buang-buang waktu saja!"
"Diamlah kau!" sentak Selendang Kubur, tanpa
memandangi Dewi Murka.
"Minggirlah. Biar aku yang maju! Kau belajar dari
jurus-jurusku dalam merubuhkan lawan seperti dia!"
Selendang Kubur tidak mau mundur, la tidak
mempedulikan kata-kata Dewi Murka. la bahkan maju
dua langkah dengan memutar-mutarkan kain
selendangnya di atas kepala.
Pujangga Kramat meletakkan kedua tangannya
kebelakang kepala. Dari sana kedua tangannya
mengeras, dan hanya dua jari di masing-masing
tangannya yang mengembang lurus, lalu kedua
tangan itu segera berkelebat ke depan dalam satu
sentakan kedua jari dari masing-masing tangannya.
Wuugh...!
Sebuah tenaga begitu besar melesat keluar dari
keempat jari yang tertuding kaku itu. Tenaga besar itu
tidak menghantam, melainkan mendorong tubuh
Selendang Kubur. Tubuh tersebut pada mulanya
terdorong mundur mendekati Dewi Murka. Setelah
itu, tubuh tersebut berputar di atas tumitnya.
Putarannya semakin kencang. Tubuh itu terangkat
sedikit dari tanah. Bahkan tubuh Dewi Murka pun ikut
terangkat dan berputar dengan kuat. Wusss...
wuuss... wuusss...!
Kedua perempuan itu tidak bisa mengendalikan
diri. Mereka berdua sama-sama berusaha melawan
kekuatan yang memutarkan tubuh. Namun semakin
dilawan terasa semakin cepat saja putaran tersebut.
Mereka bagai hanyut di dalam pusaran angin lesus
yang cukup besar.
"Jangan dilawan! Pecah peredaran darahmu jika
dilawan!" seru Selendang Kubur kepada Dewi Murka
yang tampak mau melawannya dengan kekuatan
tenaga dalamnya. Namun begitu mendengar kata-
kata Selendang Kubur, hatinya membenarkan kata-
kata itu. Maka ia tak jadi melawan kekuatan dahsyat
yang telah membuatnya seperti baling-baling. Bahkan
kini mereka bergerak terlempar bersama-sama ketika
tangan Pujangga Kramat menghentak ke samping,
bagai melemparkan sebuah benda dari jarak jauh.
Buuk... buukkk...! Kedua tubuh perempuan itu
berjatuhan saling tindih. Dewi Murka terkulai tak
mampu bergerak untuk sesaat. la ditertawakan oleh
Pujangga Kramat. Dan tawa itu tiba-tiba berhenti
melihat Selendang Kubur telah berdiri tegak dalam
sekejap.
"Edan! Perempuan itu tidak merasakan pusing
sedikit pun?! Dia masih bisa berjalan dengan lurus!"
Pujangga Kramat terkesiap melihat Selendang
Kubur tidak terbujur lemas seperti Dewi Murka.
Bahkan kini Selendang Kubur menyabetkan kain
selendangnya ke bagian kaki. Wuusss...! Sreett...!
Terperangkap sudah kedua kaki Pujangga Kramat,
bagai terikat kuat dengan selendang putih itu.
Brukkk...! Tubuh Pujangga Kramat jatuh karena
selendang disentakkan oleh pemiliknya. Lelaki
bergeleng akar hitam itu sempat menggeragap
sebentar. Tubuhnya terasa mulai terseret tanpa
mendapat pegangan apa pun. Lalu, ia juga
merasakan tubuhnya mulai melayang.
Selendang Kubur telah berhasil menarik tubuh itu
dan kini sedang melayangkan tubuh tersebut dengan
cara memutarkan selendangnya. Tubuh pria berusia
antara empat puluh tahunan itu dipakai mainan,
diputar-putar di udara dengan ringannya. Semakin
lama semakin cepat putarannya. Membentur pohon
sedikit, pecah kepala Pujangga Kramat itu.
Seandainya ikatan pada kakinya terlepas dari
selendang, maka tubuh itu akan meluncur cepat,
terbuang entah ke mana dan jika membentur benda
keras, sedikitnya akan ada tulang yang patah.
Bayangan itu yang membuat Pujangga Kramat
menjadi panik. la memekik dengan suara mirip gaung
sejuta kumbang.
"Waooow...!"
Saat itu Dewi Murka mulai sadar dari rasa pusing
yang memabukkan. la mulai bisa melihat dengan
jelas apa yang dilakukan Selendang Kubur. Maka
dengan cepat ia menghunus trisulanya. Gerakan
tubuh Pujangga Kramat akan disongsong dengan
pucuk trisula. Jelas gerakan putar itu akan berhenti
dan tubuh Pujangga Kramat akan tertusuk ujung
trisula.
Tetapi, ketika trisula itu dihunus dan hendak
dihadangkan ke garis putaran tubuh Pujangga
Kramat, tiba-tiba ada angin baru yang berkelebat
membuat trisula itu lenyap dari tangan Gewi Murka.
Perempuan itu sempat terbengong melompong
melihat tangannya kosong.
Mata Dewi Murka kian terbelalak ketika melihat
sesuatu yang berkelebat cepat sekali itu telah
membuat tubuh Pujangga Kramat lenyap. Tinggal
selendang tanpa bandul apa pun yang dibawa
berputar-putar oleh perempuan yang berjuluk
Selendang Kubur itu. Dewi Murka menahan tawa
keheranan melihat Selendang Kubur berputar-putar
bersama selendangnya yang sudah tanpa tubuh
Pujangga Kramat itu.
"Selendang Kubur! Berhentilah! Mangsamu telah
lenyap!" seru Dewi Murka. Dan seruan itu didengar
oleh Selendang Kubur.
"Hah...?!" Selendang Kubur terkejut melihat ujung
selendangnya telah kosong. Matanya terbelalak
memandang sekeliling, kemudian sepasang matanya
itu menangkap sesosok tubuh yang berdiri dalam
jarak antara tujuh langkah dari tempatnya. Sosok
yang ditangkap matanya itu berpakaian coklat tua
dengan celana putih. Rambutnya panjang sebatas
punggung, lurus rapi, lembut gemulai.
Bersamaan dengan itu, mata Dewi Murka pun
menangkap kehadiran seorang pemuda berpakaian
coklat dengan sebuah bumbung dari bambu yang ada
di bagian punggungnya, melintang miring bagaikan
sebilah pedang pusaka kebanggaan para pendekar.
Kedua perempuan itu memandang dengan mata
tak berkedip. Apalagi ketika pemuda itu sunggingkan
senyum di bibirnya, hati kedua perempuan tersebut
menjadi berdesir, berdebar-debar penuh bunga-bunga
indah bermekaran membuai jiwa.
Dewi Murka berbisik kepada Selendang Kubur,
"Tak salah lagi, pasti dialah murid si Gila Tuak yang
disebut-sebut Murbawati dengan nama Suto Sinting
itu!"
"Ya. Memang benar. Pasti dia. Ketampanannya
sesuai dengan pujian yang selalu meluncur dari mulut
Murbawati," balas Selendang Kubur berbisik lirih
sekali.
"Paman Sugiri," kata Suto kepada Pujangga
Kramat, "Sebaiknya Paman kembali ke tempat dan
biarlah urusan ini saya yang selesaikan."
"Baiklah, Suto," jawab Pujangga Kramat dengan
suara gemetar. la pun melangkah, sambil sesekali
berusaha menjaga keseimbangan tubuh yang mau
rubuh. Gerakannya itu menimbulkan perasaan geli di
hati Suto, juga di hati kedua perempuan itu.
"Pasti dia pusing akibat kau putar-putarkan!" bisik
Dewi Murka, tapi hanya dijawab dengan gumaman
pendek oleh Selendang Kubur, karena perhatian
Selendang Kubur telah kembali tertuju pada pemuda
tampan itu.
Senyum Suto semakin mekar ketika ia sadar
dipandangi penuh kagum oleh kedua perempuan
berwajah cantik-cantik itu. Bahkan sekarang ia
melangkah mendekati mereka dan berhenti dalam
jarak tiga langkah di depan mereka.
"Kaukah yang tadi mau membunuh Paman Sugiri,
alias Pujangga Kramat itu?" katanya kepada Dewi
Murka.
"Hmmm... maksudku... maksudku...."
Belum selesai Dewi Murka bicara, tiba-tiba Suto
yang masih menggenggam trisula itu bergerak cepat
menerjang tubuh Dewi Murka. Perempuan itu sempat
terpelanting nyaris jatuh ketika tangan kirinya
berusaha menangkis pukulan tangan kiri Suto.
Sreppp...!
Jliiggg...!
Suto telah berdiri tegak membelakangi kedua
perempuan itu. Kepalanya berpaling menoleh ke
belakang, senyumnya kembali mekar indah
mengguncang hati kedua perempuan yang nyaris tak
sempat berkedip melihat gerakan Suto yang begitu
cepat. Bahkan Dewi Murka terbelalak kaget melihat
trisulanya sudah terselip di pinggangnya dengan rapi,
persis pada tempat semula.
"Edan gerakannya! Melebihi angin menurutku.
Sampai tak terasa ia telah mengembalikan trisulaku
pada tempatnya. Luar biasa!" gumam hati Dewi
Murka sambil mundur mendekati Selendang Kubur.
Suto berbalik arah. Kini ia berhadapan dengan
kedua perempuan itu. Matanya yang memancar indah
dengan sedikit sayu akibat pengaruh tuak yang
diminumnya di dalam gua, telah membuat daya pikat
tersendiri di hati kedua perempuan itu.
"Siapa kalian berdua, dan ada urusan apa dengan
Paman Sugiri sehingga kalian saling bertempur
melawannya?" tanya Suto sambil meraih bumbung
tuaknya untuk dilepas dari punggung.
"Kami orang-orang Perguruan Merpati Wingit,"
jawab Selendang Kubur. "Kami... kami... kami..,,"
ucapannya tak mampu dilanjutkan karena sepasang
mata Suto menatap dengan kelembutan yang
meneduhkan hati. Namun agaknya Selendang Kubur
merasa malu jika tak bisa melanjutkan ucapannya
karena tatapan mata Suto, maka ia segera
mengalihkan pandangannya ke arah lain dan berkata
lagi.
"Kami ingin bertemu dengan si Gila Tuak, untuk
menyampaikan permohonan maaf dari guru kami,
Nyai Guru Betari Ayu, atas salah sangka tempo hari,
yang membuat teman kami menderita sakit akibat
pukulan tenaga dalam dari Pujangga Kramat."
"Apakah temanmu itu juga seorang perempuan
muda berkuda hitam?"
"Benar!" jawab Selendang Kubur.
"O, dia yang mencuri dengar percakapanku dengan
guruku itu?"
"Buk... bukan... buk... bukan...,'' Dewi Murka ingin
ikut bicara tapi menjadi gagap karena hatinya
berdebar-debar menikmati ketampanan seraut wajah
lelaki yang belum pernah ia jumpai di mana pun juga.
Jantungnya gemetar, sehingga ia tak bisa
melontarkan kata-kata dengan baik.
Tetapi, Selendang Kubur yang sengaja tak
memperhatikan Suto segera menjelaskan maksud
temannya,
"Temanku itu bukan menyadap percakapanmu
dengan si Gila Tuak. Hanya secara kebetulan saja ia
mendengar Pusaka Tuak Setan sedang kalian
bicarakan. Tapi sebenarnya temanku itu hanya...
hanya merasa tertarik padamu dan ingin melihat lebih
jelas ketampananmu."
Suto selesai meneguk tuak, lalu tertawa terkekeh
mirip orang tua, sambil berkata,
"Jadi dia hanya ingin mengintip ketampananku?
Apa benar begitu? Apa benar pula saat ini kalian juga
ingin mengintip ketampananku? Apakah kalian tidak
bermaksud mencuri dengar pembicaraanku dengan
Guru?"
"Tidak," jawab Selendang Kubur. "Kalau toh kami
mendengar tentang Telaga Manik Intan, itu suatu hal
yang kebetulan saja. Tapi tujuan utama kami datang
ke sini untuk meluruskan salah duga antara pihak
perguruanku dengan pihak si Gila Tuak."
Mata jeli Suto Sinting itu melirik ke pepohonan
sebelah kanannya. Ada sesuatu yang ia curigai di
sana. Tetapi sesuatu itu telah pergi dengan melesat
cepat tak bisa ditangkap penglihatan bentuk dan
wujudnya. Suto membiarkan hal itu berlalu, karena ia
merasa masih perlu bicara dengan kedua perempuan
tersebut.
"Siapa namamu?" tanyanya kepada Selendang
Kubur. Yang ditanya menatap, dan bola matanya
segera blingsatan karena hatinya makin berdebar
pada saat beradu pandang. la tak berani terlalu lama
beradu pandang dengan Suto, karena ia tak akan
bisa bicara jika dalam keadaan beradu pandang.
"Namaku Selendang Kubur," jawab Selendang
Kubur dengan mata menatap ke arah Dewi Murka.
Sambungnya lagi, "Dan ini saudara seperguruanku
yang bergelar Dewi Murka."
"Bagus sekali. Nama kalian tak ada hubungannya
dengan rupa ayu kalian. Tapi aku tidak peduli. Yang
perlu kujelaskan, aku mewakili pribadi guruku, si Gila
Tuak, telah menerima penjelasan dari pihak Merpati
Wingit. Aku menyatakan tidak ada urusan apa-apa
lagi di antara kita."
"Kami memohon maaf jika sikap teman kami ini
tidak berkenan di hati pihakmu," kata Selendang
Kubur dengan mata sengaja memandang ke arah
gugusan batu di tanah lereng.
"Permintaan maaf kuterima," jawab Suto. "Tapi
sikapmu bicara padaku masih kurang sopan."
"Harus bagaimana aku bicara padamu?"
"Pandanglah orang yang kau ajak bicara. Itu sikap
yang sopan."
"Aku belum sanggup."
"Tapi temanmu yang bernama Dewi Murka ini,
sejak tadi sanggup menatapku."
"Tapi ia tidak sanggup bicara apa-apa padamu."
Suto tertawa panjang. Tuaknya kembali ditenggak
sedikit. Setelah itu ia berkata lagi kepada Selendang
Kubur.
"Persoalan sudah selesai. Kalian boleh pulang."
"Tid... tidak... tidakkah... kam... kami...," Dewi
Murka tak pernah mampu menyelesaikan kata-
katanya, membuat Suto semakin tertawa geli.
"Apa maksudmu?"
"Kam... kam... kam...."
'Kambing?" sahut Suto menerka.
Dewi Murka menggeleng. Wajahnya makin pucat.
Napasnya tampak tidak teratur lagi. Badannya tidak
bergerak, matanya masih menatap Suto tak berkedip
sejak tadi.
"Ak... ak... aku... aku...."
"Sudahlah, jangan bicara," potong Suto. "Napasku
bisa putus mendengar bicaramu! Sekarang,
sebaiknya kalian lekas pergi dari sini, karena aku pun
akan segera pergi."'
Selendang Kubur menatap sebentar, lalu
memalingkan pandangan ke arah lain, sambil
melontarkan pertanyaan.
"Ke mana kau akan pergi? Ke Telaga Manik
Intan?"
"Kau tak perlu tahu."
"Ak... aku...," Dewi Murka mencoba bicara lagi.
"Ak... aku... aku dal... dal... dalam... ke... keadaan...
bah... bah...." . El
"Bahagia?" sahut Suto.
"Bah... bah... bahaya...."
Serentak wajah Selendang Kubur berpaling
menatap Dewi Murka. "Apa maksudmu, Dewi?"
Wajah Dewi Murka makin pucat walau mata tetap
memandang Suto. la berkata gagap lagi, "Tol...
tolong... ak... aku.... Di punggung...."
Suto berkerut dahi melihat perubahan wajah kian
memucat. la segera membalikkan tubuh Dewi Murka.
Ternyata punggung perempuan itu telah berdarah
karena ditembus oleh sepucuk jarum besi sepanjang
kelingkingnya.
"Dewi...?!" sentak Selendang Kubur dengan sangat
terkejut.
Dewi Murka rubuh ke dada Suto. Wajahnya kian
memucat. la telah menjadi salah sasaran dari
seseorang yang ingin menyerang Suto dengan
menggunakan jarum beracun.
*
* *