1 001.Pendekar Mabuk - Bocah Tanpa Pusar Eps1

Episode 1

PARA penduduk mulai cemas mendengar suara

gemuruh di kejauhan. Mereka segera keluar dari rumah

masing-masing dan memandang puncak gunung. Jauh di

sana bertengger puncak gunung tinggi yang dinamakan

mereka Gunung Cadas Geni. Warnanya putih keabu-

abuan.

Biasanya puncak gunung itu tampak jelas dari Desa

Kilangan. Sekarang tampak buram. Ada kabut hitam

menutupinya dan langit di atas puncak berwarna gelap.

Ada api menyembur dari dalam puncak, dan suara

gemuruh terdengar lagi.

"Celaka! Kita akan dilanda musibah," ujar lelaki

setengah umur.

"Kita harus cepat mengungsi. Sebentar lagi desa

kita akan disapu lahar panas. Gunung Cadas Geni mau

meletus! Cepat!" teriak tetangganya.

"Apa?! Gunung meletus? Siapa suruh?" tanya

istrinya.

"Mana aku tahu?! Aku tidak pernah menyuruhnya!

Cepat kemasi barang. Jangan banyak tanya!"

"ly... iya.... Baik. Baik...!" sang istri gugup. Barang

dikemasi. Apa yang bisa dibawa, dibawanya. Yang tidak

bisa dibawa berusaha dibawanya pula.

"Kumpulkan anak kita!"

"Ada berapa ya?" gumam sang istri dengan linglung.

Mungkin karena panik. Sebab di luar rumah orang-orang

juga panik. Mereka saling teriak.

"Cepat mengungsi! Cepat pindah...! Gunung itu

akan meletus! Cepat cari tempat yang aman! Hoi,

hoi..., jangan bengong saja kamu! Cepat pergi dari

sini!"

Ada juga suara lain yang berseru, "Baju hitamku ke

mana, Mak?!"

"Jangan urusi baju hitam, Tong! Cepat bantu Emak

kemasi barang!"

"Barangku ada di mana, Mak?!"

"Husy! Jangan pikir barangmu sendiri. Urus juga

barangnya Emak itu, Tong!"

"Barang Emak kan sudah diurus Bapak!"

Suara kentongan berbunyi. Waktu itu, bunyi

gemuruh terdengar yang ketiga kalinya. Tanah

berguncang makin jelas. Gayung di cantelan sempat

jatuh. Daun pohon rontok sebagian. Genteng di pojokan

rumah melorot tiga. Jatuh. Mengenai kepala anak kecil.

Anak itu menangis keras-keras. Bapaknya keluar dengan

berang melihat kepala anaknya bocor dan berdarah.

"Kurang ajar! Siapa yang melempar kepala anakku

sampai bocor begini, hah?! Mau mengungsi malah bikin

perkara saja!"

Para penduduk menghambur keluar dari rumah.

Barang-barang dirakit. Siap dibawa pergi. Gulungan

tikar, kendil, anak kambing, diikat dijadikan satu.

Gayung sumur, ember timbaan, nasi jagung, singkong

rebus, dibungkus dijadikan satu. Kepanikan demi

kepanikan berlangsung. Mereka bersimpang siur. Ada

yang saling tabrak dan saling caci sendiri.

Ada yang berteriak-teriak memanggil istrinya, takut

ketinggalan. Ada yang berteriak-teriak mencari

anaknya, takut hilang. Ada yang berteriak-teriak

menarik anjingnya, takut disembelih orang. Ada yang

berteriak-teriak memanggil neneknya, takut tertukar

kambing bandot.

Gaduh dan riuh desa itu. Tapi toh masih ada yang

tidak menghiraukan suasana. Seorang bocah duduk di

atas punggung kuda. Ia sedang belajar menunggang

kuda. Bocah itu tertawa-tawa. Seorang lelaki gemuk

yang dipanggilnya Paman Dubang berlari-lari di samping

kuda merah kecoklatan.

"Jangan kencang-kencang menarik talinya, Suto!"

seru Paman Dubang kepada anak di atas kuda. Ia

tampak cemas. Takut jadi terbalik, kuda di atas anak

itu.

"Paman...! Bagaimana cara menghentikannya!"

"Kencangkan talinya!" sambil si paman masih

berlari-lari di samping kuda. "Lekas kencangkan

talinya!"

"Baik, baik...! Baik, Paman!" Anak itu agak cemas,

Ia buru-buru mengencangkan tali celananya. Paman

Dubang membentak, "Bukan tali celanamu, Suto! Tapi

tali kekang kuda. Tarik ke belakang supaya berhenti!"

"O, baik. Baik...!" . Tali kekang kuda ditarik. Kuda

meringkik. Kaki depannya naik. Bukan karena tarikan

tali kekang, tapi karena suara gemuruh dan guncangan

tanah tadi. Rupanya kuda juga takut dengan tanda-

tanda gunung akan meletus.

"Paman! Bagaimana ini?!"

"Kendorkan talinya!"

"Sudah."

"Tarik lagi jangan disentak."

Tali ditarik lagi. Tidak disentak. Tapi kuda

meringkik. Kakinya naik lagi. Tinggi. Sampai bocah yang

bernama Suto itu tersentak ke belakang. Bluukk...! Ia

jatuh.

"Aaauuuh...!" teriaknya kesakitan. Paman Dubang

segera menolongnya sambil menggerutu.

"Tadi sudah Paman pesan, jangan sampai jatuh.

Kepalamu bisa bonyok kalau begini caranya. Ayo,

bangun! Lekas bangun."

"Baik, Paman!"

"Kamu harus bisa menunggang kuda. Jangan sampai

kuda yang menunggang kamu!"

"Kudanya nakal, Paman! Cari kuda betina saja."

"Husy! Kamu masih kecil. Tidak boleh menunggang

kuda betina. Belum akil balik kok sudah mau cari kuda

betina?! Kuda jantan saja! Ayo, lekas... naik lagi ke

punggung kuda."

Suto terpacu semangatnya, ia bergegas naik ke

punggung kuda lagi. Paman Dubang berteriak, "Hoii...!

Jangan lewat ekornya! Lewat samping!"

"Bantu aku naik, Paman!"

Paman Dubang membantu Suto. Pantat Suto

didorong naik. Kaki anak itu melangkahi pelana. Pada

saat itu, gemuruh dan guncangan tanah yang kedua

terdengar oleh sang kuda. Rupanya sang kuda menjadi

takut, ia kembali mengangkat kaki depannya sambil

meringkik. Suto nyaris jatuh lagi.

"Paman, Paman...! Awas...!"

"Pegang tali kekangnya!" sentak Paman Dubang

dengan jengkel.

Suto memegang tali kekang dengan kaki belum

sempurna melangkah. Sang kuda semakin kaget dan

berlari dalam sentakan awal.

"Hati-hati, Paman!" Suto segera berseru.

"Diamlah! Paman sedang kebingungan!" Rupanya

Paman Dubang ikut terbawa lari. Kaki kirinya terseret-

seret, ia menjadi panik dan gugup. Pelana dipakai

gelantungan. Pundaknya mendorong Suto. Anak itu bisa

duduk di pelana. Tapi tangan Paman Dubang tertindih

pantatnya, "Jangan kau duduki tangan Paman, Suto!"

"Habis aku duduk di mana?"

"Agak maju sedikit, biar tangan Paman bebas.

Aduh, kaki Paman terseret-seret. Bagaimana ini?"

"Ya bagaimana?! Paman kan pawang kuda.

Hentikanlah, Paman!"

"Susah, Tolol!" sentak lelaki gemuk pendek itu.

Kuda tetap berlari dengan liar. Suaranya meringkik-

ringkik bagaikan tawa perawan di malam pengantin.

Paman dan Suto sama-sama tegang. Sama-sama

kebingungan. Akhirnya sama-sama terbawa oleh kuda

ke arah kesibukan para penduduk yang siap-siap

mengungsi. "Lihat, Suto...! Gara-gara kamu tak becus

mengendalikan kuda, para penduduk menjadi panik

begini!" kata Paman Dubang.

"Oh, maaf, Paman," bocah itu matanya jelalatan ke

mana-mana. Memandang tiap orang dengan

kesibukannya masing-masing.

Kuda meringkik lagi semakin keras, semakin

kencang larinya. Bahkan kali ini melompat tinggi.

Seorang nenek yang bingung mencari tusuk kondenya

yang jatuh di tanah, dilompati oleh kuda itu. Sang

nenek terkejut dan terkesima dengan mulut melongo.

"Burung apa itu tadi?!" gumamnya dengan bingung.

Kuda disangka burung. Tapi siapa yang tahu gumaman

sang nenek, kecuali nenek itu sendiri.

Paman Dubang masih terseret-seret. Kuda semakin

beringas. Lari sana lari sini. Akhirnya Paman Dubang

ketakutan dan berteriak keras-keras.

"Tolooong...! Tolooong...! Tolong hentikan kuda

ini...!"

Tentu saja orang-orang tak menghiraukan. Tak ada

yang datang menolong. Semua panik dengan upaya

menyelamatkan diri sendiri-sendiri.

Di saat itulah, tak lama kemudian muncul seorang

lelaki tua. Dia adalah sesepuh kampung tersebut. Dia

hanya sesepuh, bukan kepala desa. Tubuhnya berdiri di

sebuah tempat tinggi dan berseru.

"Tenang! Tenang! Jangan panik, Saudara-saudara!"

Suara sesepuh itu didengar oleh penduduk. Mereka

mulai berhenti berlarian. Mereka berkumpul di depan

sesepuh itu. Pada saat yang sama, kuda yang

ditunggangi Suto dan Paman Dubang menabrak sebuah

kedai yang telah kosong penghuninya. Bruss...!

Braaak...!

Semua mata jadi memandang ke arah kedai

bernasib malang itu. Salah seorang ada yang berseru.

"Hoi, ada sesepuh mau bicara kok malah main kuda-

kudaan!"

Suto meringis menahan sakit. Tubuhnya tersangkut

di tiang atas kedai. Paman Dubang merintih kesakitan.

Tubuhnya jatuh di atas meja bertindih patahan tiang

atap. Ia berusaha bangkit begitu melihat kaki Suto

bergelantungan di atas. Kemudian ia bergegas

menolong bocah itu untuk turun dari atap. Tapi Suto

menolak, kakinya menjejak-jejak.

"Biar. Biar, Paman. Aku bisa turun sendiri."

Suto pun melompat turun. Huuhp...!

Braak...! ,

"Aaauh...!" teriak Paman Dubang. Suto jatuh di

meja, mejanya patah dan menjatuhi kaki Paman

Dubang. Tentu saja Paman Dubang menjerit. Seseorang

kembali menyentak.

"Hooi...! Disuruh diam dan tenang kok malah

terbahak-bahak!"

"Terbahak-bahak apanya?! Kakiku sakit!" bantah

Paman Dubang. Suto hanya cekikikan geli.

Mereka segera bergabung dengan kerumunan orang

di depan sesepuh. Kemudian terdengar suara sesepuh

berkata, "Saudara-saudara, warga Desa Kilangan,

kuharap kalian tidak menjadi panik dan jangan salah

langkah. Gunung Cadas Geni itu tidak akan meletus.

Jadi kalian tidak perlu panik dan mencari tempat untuk

mengungsi. Kembalilah ke rumah kalian masing-masing.

Gunung itu tidak akan meletus!"

"Tapi kok mengeluarkan semburan api?"

"Dan juga bergemuruh, Pak Tua!"

"Betul. Sudah tiga kali kami mendengar

gemuruhnya."

"Itu sebuah pertanda akan ada bahaya di desa kita

ini. Akan ada bencana, tapi bukan bencana alam,"

jawab sesepuh desa berusaha menenangkan rakyatnya.

"Masa begitu?"

"Betul. Dari zaman buyutku hidup di tanah Desa

Kilangan ini, gunung itu tidak pernah meletus. Tapi jika

desa ini akan terserang wabah, misalnya, maka gunung

itu memberikan tanda. Menyemburkan api dan asap

hitam tiga kali, mengeluarkan bunyi gemuruh yang

mengguncangkan bumi, tiga kali."

"Ooo... jadi bukan mau meletus, ya Pak Sepuh?"

tanya seseorang.

"Tidak. Jangan takut. Cuma kalian harus waspada.

Jaga diri kalian baik-baik. Jaga keluarga kalian baik-

baik. Tetaplah bersatu dan gotong-royong jika terjadi

sesuatu secara tiba-tiba!"

Kepala mereka manggut-manggut. Mulut mereka

melongo mengeluarkan gumam. Kemudian terdengar

kasak-kusuk seperti serombongan lebah bergaung.

Mereka mulai melangkah menuju rumah mereka

masing-masing. Sedangkan Suto mendesak Paman

Dubang untuk melangkah mencari kudanya. Toh

gemuruh gunung tersebut memang berhenti. Tidak

menyemburkan asap dan api lagi. Tidak terasa ada

guncangan tanah kembali. Gunung itu tenang, hati

masyarakat desa pun jadi lapang.

Tapi beberapa saat kemudian, suara gemuruh itu

datang lagi. Orang-orang yang telah tenang menjadi

tegang kembali. Mereka keluar dari rumah saling

pandang dalam keheranan. Suara gemuruh itu disimak

baik-baik. Mata mereka menatap ke puncak gunung.

Salah seorang berseru, "Bukan suara gunung!"

"Ya, sepertinya suara gemuruh kaki kuda."

"Betul. Makin lama semakin dekat suaranya."

Seorang lelaki tua terbatuk-batuk. Lengannya

ditepuk oleh istrinya, "Jangan berisiklah...! Kita sedang

menyimak suara gemuruh itu. Kamu kok malah

bergemuruh sendiri!"

"Batuk. Aku batuk," kata suaminya yang tua.

"Iya. Batuk ya batuk. Tapi nanti saja, kalau kita

sudah yakin suara apa yang bergemuruh itu!"

Lelaki tua itu bergegas masuk ke rumah sambil

menggerutu, "Orang mau batuk kok disuruh

menunda...!"

Gemuruh itu memang kian mendekat. Kemudian

mata mereka memandang ke arah batas desa. Tampak

samar-samar sesuatu yang bergerombol bergerak maju.

Kian lama kian jelas. Mereka kian paham bahwa ada

serombongan orang berkuda mendatangi desa mereka.

Bertambah dekat bertambah jelas. Orang-orang

penunggang kuda itu memiliki wajah garang, buas,

menyeramkan dan tampak keji-keji. Jumlah mereka

ada tiga belas orang. Semua menunggang kuda. Semua

bersenjata. Sepertinya siap tempur.

Salah seorang yang menjadi ketua mereka

mengangkat tangan mengepal. Kuda-kuda itu berhenti.

Tapi kudanya sendiri keterusan. Akhirnya berhenti agak

jauh dari rombongan anak buahnya. Mata orang itu

menatap liar di sekelilingnya. Kudanya bergerak pelan

mendekati rombongan. Sambil begitu, orang tersebut

berseru kepada penduduk yang melongok dari pintu

rumah, atau yang tersembunyi mengintip dari celah

dinding papan, atau yang bersembunyi di balik batang

pohon, termasuk kepada anak kecil yang bersembunyi

di balik sarung bapaknya.

"Mana Ronggo Wiseso...?!" teriak orang berbadan

kekar dengan dada bidang berbulu. Kumisnya tebal

melintang dan kelopak matanya berbelok bagai burung

hantu.

"Tunjukkan, mana rumah Ronggo Wiseso!" seru

orang yang berpakaian serba hitam itu. Ia menyandang

pedang di punggungnya. Pedang besar, sebanding

dengan ukuran lengannya yang besar pula.

Karena tak ada penduduk yang berani buka mulut,

selain buka baju karena kegerahan, maka orang

tersebut segera turun dari kudanya. Berjalan dengan

mata liar. Menggetarkan hati tiap manusia yang

memandangnya.

Seorang pemuda bertubuh kurus yang bersembunyi

di kolong bangku kedai yang rusak ditabrak kudanya

Suto itu, segera ditarik keluar. Dijambak rambutnya,

ditengadahkan kepalanya. Lalu, pedangnya dihunus,

dan ditempelkan di leher anak muda kurus itu.

"Mana rumah Ronggo Wiseso! Cepat tunjukkan, atau

kugorok batang lehermu! Lekas...!" bentaknya bagai tak

sabar.

"Ad... ada... ada di pojok desa, sebelah barat,

Paman!"

"Biadab! Berani kau memanggil Kombang Hitam

dengan sebutan Paman, hah?! Panggil aku Tuan!"

"Ba... baik.., baik, Tuan!"

"Nah, begitu!" lalu ia menggerutu, "Ketua Begal

Utara kok dipanggil Paman! Memalukan!" Ia kembali

bertanya meyakinkan.

"Jadi benar, rumah Ronggo Wiseso ada di pojok

sana?!"

"Benar, Tuan Kombang Hitam."

"Bagus. Terima kasih," katanya sambil melepas

rambut pemuda kurus itu. Pedang pun kembali

dimasukkan dalam sarungnya. Ia melangkah setelah

bersalaman dengan pemuda kurus itu sambil

mengucapkan kata terima kasih lagi.

"Serang rumah itu!" teriak Kombang Hitam kepada

anak buahnya. "Bantai semua penghuninya! Jangan ada

yang tersisa!"

Kemudian rombongan itu pun menuju ke rumah

pojok desa. Deru kaki kuda bergemuruh, menerbangkan

jutaan debu menyirat ke mana-mana. Kombang Hitam

sendiri memacu kudanya lebih cepat dan selalu berada

di depan rombongan.

'' "Untung kamu selamat, Nang...!" kata seorang

perempuan paro baya kepada pemuda kurus tadi.

Rupanya pemuda itu anak perempuan tersebut.

"Mak... aku... lemas... aku...."

"Lho, lho... Nang? Lho, kenapa wajahmu pucat?

Lho... Nang? Kok wajahmu membiru?! Nang...?

Anakku...?!"

"Mak...!" suaranya pelan sekali. Matanya meredup.

Ia pun terkulai jatuh dalam pelukan emaknya. Emaknya

tak kuat, akhirnya jatuh ke tanah secara bersamaan.

Brukkkk...!

"Anakku! Naang...!" teriak perempuan itu histeris

setelah ia tahu anaknya sudah tidak bernapas lagi.

Pemuda itu mati dalam keadaan sekujur tubuhnya

menjadi biru kehitaman.

"Dia keracunan makanan!" seru seseorang yang

mangerumun.

"Bukan keracunan makanan. Pasti gara-gara

salaman sama Kombang Hitam itu!"

"Benar! Pasti waktu salaman, Ketua Begal Utara itu

menyalurkan tenaga dalamnya yang amat beracun dan

berbahaya!"

"Edan! Jahat sekali orang itu."

"Gawat. Pasti keluarga Ronggo Wiseso tak mampu

melawannya!"

"Apa benar begitu? Ronggo Wiseso kan pejabat

kadipaten?!"

*

* *

avataravatar
Next chapter