webnovel

Pertemuan tak Diduga

"Mereka berdua adalah orang yang telah menolong adik Yi dari penculikan," jawab Rou Yi.

Seno mengangguk-angguk dan terlihat berfikir. Ingatannya langsung muncul pada apa yang pernah diceritakan oleh Suro.

Rou Yi pernah diculik dan nyaris diperkosa jika saja tidak muncul dua orang pendekar tangguh dan membunuh si penculik Rou Yi. Mengenai sosok itu, Seno hanya bisa membayangkan dua sosok pendekar penolong seperti siluet.

Kini, dua orang pendekar yang telah menolong Rou Yi ada dihadapannya. Wajahnya langsung berubah kikuk dan merasa bersalah karena sebelumnya telah salah sangka terhadap mereka berdua.

"Kalau begitu, kalian ini adalah pendekar Pedang Api dan Angin itu, ya?" katanya sambil tersenyum dan menggaruk-garuk kepalanya.

Tien Lie dan Tien Jie hanya tersenyum begitu lelaki muda dihadapannya menyebut gelar mereka. Namun, mereka berdua akhirnya mengangguk.

"Maafkan saya, karena sebelumnya telah salah sangka. Saya fikir anda berdua adalah dua orang utusan dari pemerintah kerajaan yang dikirim untuk menangkap Suro.. Ha.ha.ha."

Dua pendekar itu pun ikut tertawa maklum. Wajar bagi orang yang baru dikenal tiba-tiba menanyakan tentang Suro kalau tidak menganggap mereka akan berbuat jahat.

"Tuan-tuan, perkenalkan...." Rou Yi berkata dengan bahasa yang tidak dimengerti oleh Seno sambil memberi isyarat dengan tangannya ke arah Seno, "Ini adalah kakak kami, kakak seperguruan kakak Luo."

"Adik Yi," Seno menyela, "Mereka bisa berbahasa Jawa, alangkah lebih baik jika adik Yi berbicara dengan bahasa yang kumengerti. Karena kakak fikir, sambil memperlancar dialek mereka."

Rou Yi langsung tersenyum, lalu mengulangi kalimatnya.

Tien Lie dan Tien Jie lalu membungkuk memberi hormat dan menangkupkan kedua tangannya.

"Salam hormat! Saya Tien Jie dan ini Tien Lie. Kami adalah kembar," Tien Jie memperkenalkan dirinya dan adiknya.

"Sebelumnya, saya minta maaf dan berterima kasih sudah menyelamatkan Rou Yi dan Suro," ucap Seno. Ia merasa perlu mengatakannya sebelum ia lupa.

Tak butuh waktu lama, Seno mempersilahkan tamunya untuk masuk ke dalam, dan duduk bersila diruang yang biasa untuk menyambut tamu sambil menunggu Suro menyelesaikan shalatnya.

"Nona Rou Yi dan nona Li Yun terlihat nampak sehat. Kami harap, nona berdua dalam keadaan aman dan damai di sini," Tien Lie mengatakannya sambil menyungging senyum.

"Mereka berdua sudah menikah," Seno menyela, matanya melirik ke arah dua orang gadis di sampingnya dengan bibir menyungging senyuman.

Raut wajah dua orang pendekar itu langsung berubah, senyuman mereka mengembang seperti turut merasakan bahagia mendengar informasi Seno.

"Oh," Tien Lie dan Tien Jie langsung mengangkat tangannya dan mengayunkannya berulang-ulang, "Selamat nyonya Luo, selamat untuk kalian berdua. Kami turut berbahagia mendengarnya!"

Rou Yi dan Li Yun hanya bisa menyungging senyum disertai anggukkan kepala.

"Bukankah kalian ini pendekar api dan angin?" tiba-tiba Suro muncul dari balik tirai dengan pertanyaan konfirmasi begitu melihat siapa yang berada di ruang tamu. Ia terlihat begitu terkejut dan merasa tak percaya.

Mendapati itu, Tien Lie dan Tien Jie seperti dikomando sontak berdiri dan melakukan penghormatan yang terlihat berlebihan dikarenakan gembira di mata Suro. Sampai-sampai Suro mengacungkan tangannya sebagai isyarat agar mereka berdua tidak melakukannya.

Seno yang memperhatikan situasi itu hanya bisa terpana. Sekali lagi ia dibuat kagum dengan pemandangan dihadapannya. Suro yang ia kenal begitu sangat dihormati dan disegani orang di negeri yang jauh. Tanpa sadar, lidahnya berdecak beberapa kali dengan diikuti gelengan kepala.

"Salam hormat pendekar Luo!" ucap mereka bersamaan sambil tersenyum lebar. Mereka merasa pertemuannya dengan Suro seperti mimpi dan membuat mereka merasakan kerinduan mereka sudah terbayarkan.

"Wah, kalian bisa bahasa Jawa!" kali ini Suro berdecak. "Silahkan duduk, dan jangan sungkan!"

Setelah berkata demikian, ia pun mengambil duduk disebelah Seno.

"Dimas," Seno menepuk pundak Suro beberapa kali, bibirnya tak henti-hentinya tersenyum "Kau jadi orang besar disana, ya?"

Kalimat Seno bagi Suro seperti bahasa bercanda, dan ia pun hanya tersenyum mendengarnya.

***

Suro dan orang yang berada disekitarnya dengan seksama menyimak apa yang disampaikan oleh Tien Jie maupun Tien Lie bergantian.

Kematian Perwira Chou sungguh menghebohkan dan membuat gempar kerajaan, hingga Kaisar memerintahkan para Jenderal Besar yang berilmu tinggi untuk melakukan pengejaran terhadap orang-orang yang terlibat.

Salah satu bentuk amarah itu adalah mereka menghancurkan biara Shao Lin disamping dendam lama mereka terhadap biara itu setelah keruntuhan Dinasti Ming.

Tien Lie maupun Tien Jie sudah ditetapkan sebagai buronan, termasuk Yutaka Shisido. Mau tidak mau, mereka harus menyelamatkan diri. Dirasa tidak memungkinkan, mereka memutuskan untuk meninggalkan negeri China.

Yutaka Shisido dan keluarganya kembali ke tanah kelahirannya, sementara Tien Jie dan Tien Lie memutuskan untuk menyeberang ke tanah Jawa.

"Secara singkat demikian," Tien Jie menutup kisahnya.

"Bukannya kami takut menghadapi pasukan kerajaan, tetapi selama masih bisa dihindari, maka kami memutuskan untuk mencari tempat yang aman untuk berlindung dari kejaran pasukan pemerintah," sambung Tien Lie.

Mereka yang mendengar penuturan dua pendekar itu sama mengangguk.

"Barangkali, kalian bisa selamat dari kejaran pasukan kerajaan, sementara di sini barangkali juga tuan-tuan akan terlibat masalah baru," Seno berkata sambil tersenyum.

Apa yang disampaikan Seno membuat Tien Lie dan Tien Jie saling pandang. Mereka belum tahu apa yang terjadi, dan tentu saja membuat mereka saling bertanya-tanya lewat pandangan mata.

"Masalah baru?" keduanya bertanya bersamaan.

Seno melirik Suro yang tengah menarik nafas panjang sambil menyungging senyum tipis. Ia tahu, adik seperguruannya itu akan bercerita tentang masalah baru itu kepada Tien Lie dan Tien Jie.

***

Beberapa hari sebelumnya....

Dalam perjalanan menuju Padepokan Cempaka Putih, Wiro bersama lima orang murid Macan Hitam beristirahat sejenak di sebuah warung makan.

Si pemilik warung makan yang mengenal siapa mereka langsung menunjukkan wajah pucat. Dua orang dibelakangnya pun langsung buru-buru masuk ke dalam rumah agar tidak terlihat, seorang wanita yang merupakan isterinya dan seorang anak perempuan yang beranjak gadis.

Demi tidak membuat rombongan baru itu marah, buru-buru lelaki pemilik warung mendatangi dan menyambut kehadiran mereka dengan tergopoh-gopoh. Sementara, tamu yang lain sama buru-buru menyingkir dan pergi begitu saja.

Tetapi, tidak semua pengunjung yang kabur melarikan diri. Di sudut lain di dalam warung makan itu, ada dua orang asing dengan raut wajah mirip satu sama lain tampak melirik kehadiran rombongan Wiro, lalu tak lama kembali asyik menikmati makanan dihadapan mereka.

Wiro menyadari kehadiran dua orang lelaki asing itu, tetapi nampaknya ia malas membuat ulah lebih jauh.

Dengan gaya berkuasa, ia berlaku seolah-olah tempat yang mereka masuki adalah miliknya. Sang pemilik sendiri tak mampu berbuat apa-apa ketika berdiri dihadapan Wiro dengan wajah ketakutan dan tubuh gemetaran.

Wiro bisa saja menghancurkan apa yang menjadi usahanya itu. Makanya, ia cuma diam menunggu permintaan dari Wiro dan anggotanya.

"Layani kami dengan sajian terbaikmu!" perintah Wiro pada pemilik warung, "Jangan lama-lama! Kami sudah lapar!"

Mendengar perintah itu, lelaki si pemilik warung buru-buru berbalik dan meminta isteri dan anaknya agar menyiapkan hidangan.

Suara tawa riuh dan candaan kasar langsung menggema di antara mereka. Mereka tak perduli pada dua orang asing didalam warung.

"Hei, bapak!" salah satu dari anak buah Wiro berseru pada si pemilik warung yang langsung mendatanginya, "Siapa anak gadis itu?"

Si lelaki nampak terkesiap. Hatinya mulai khawatir, seperti akan datang firasat buruk yang bakal menimpanya.

"Tuan barang kali salah lihat," jawabnya dengan suara gemetar, "Tak ada anak gadis di sini. Aku tinggal berdua dengan isteriku."

Plak!

Satu tamparan keras membuat kepala lelaki pemilik warung itu terpaling, bibirnya langsung pecah dan mengeluarkan darah. Ia cuma meringis sambil mengusap bekas tamparan tangan lelaki yang menjadi tamunya itu.

"Kamu ini!" orang yang tadi menampar membentak, suaranya yang keras membuat yang lain menoleh ke arahnya, "Apa kamu pikir mataku ini buta?! Aku cuma bertanya, 'siapa' dan kamu malah berkata lain!"

"Ada apa?" tiba-tiba Wiro bertanya dari bangkunya tanpa berdiri pada anak buah yang membuatnya menoleh.

Sebelum menjawab pertanyaan Wiro, lelaki si penampar mendengus.

"Dia tidak mengaku kalau disini ada anak gadis. Padahal jelas-jelas aku melihatnya dengan mataku sendiri!"

Wiro langsung mengarahkan pandangannya pada si pemilik rumah makan yang masih meringis kesakitan, "Betul?"

Si pemilik rumah makan kembali gelagapan, sikapnya itu menunjukkan kalau ia menyembunyikan sesuatu yang membuat Wiro membenarkan ucapan anak buahnya. Ia tak mampu menjawab dan terlihat bingung. Sekali lagi ia berbohong, orang-orang yang ada di dalam tempat itu bakal membunuhnya tanpa kasihan.

"Salah satu dari kalian, periksalah kedalam. Jika memang benar ada anak gadis di dalam rumah ini, seret keluar!" perintahnya pada anak buahnya.

Satu orang berdiri, lalu masuk ke dalam rumah, sementara lelaki pemilik rumah makan tak bisa berkutik. Barangkali meskipun ia cukup ahli dalam bela diri, menghadapi orang-orang dari aliran Macan Hitam yang sudah terkenal keganasannya tak akan bisa ia melawan. Salah-salah ia bisa mati lebih cepat.

Tak lama terdengar jeritan suara perempuan, disusul dengan kemunculan anak buah Wiro sedang menyeret anak gadis yang berusaha ditahan oleh ibunya.

Bukannya kasihan, Wiro dan yang lainnya cuma tertawa menyeringai mellihat salah satu orang dari Macan Hitam itu menyeret paksa dan kasar korbannya.

"Tuan, tolong jangan sakiti anakku, tuan... kasihanilah kami...." lelaki pemilik warung itu berbicara memelas sambil menjatuhkan tubuhnya memohon agar Wiro mau mengasihaninya.

Wiro tertawa keras hingga tubuhnya berguncang-guncang, disusul suara tawa dari lima anggotanya. Mereka nampak puas dengan kondisi yang dialami si pemilik rumah makan.

"Cantik sekali..." Lidah Wiro bergerak mengusap membasahi bibirnya. Matanya seperti seekor Srigala yang kelaparan melihat mangsanya tak berkutik. Matanya langsung menunjukkan kesan kalau birahinya langsung memuncak.

Si anak gadis langsung dihempaskan dihadapan Wiro sambil menangis dan menjerit. Wajahnya yang basah dengan air mata masih menunjukkan kecantikannya.

Orang tangan kanan Wulung itu memandangi tubuh si anak gadis dengan senyuman penuh nafsu. Ia langsung berdiri dari tempat duduknya, lalu kembali duduk berjongkok dihadapan gadis itu. Lalu tangannya mengusap bahu dan rambut gadis dihadapannya dengan lembut, tetapi nafsu didadanya seperti gunung berapi yang siap meletus.

Slap!

Tangan kanannya langsung menarik tangan gadis itu, lalu menyeretnya ke arah dalam membuat kedua orang tuanya berseru dan menahan tubuh Wiro.

Sekali sentak, tubuh keduanya terpental membentur meja dan beberapa orang anak buah Wiro yang ada di belakangnya.

"Kalau masih mau hidup, biarkan aku bersenang-senang dengan anak gadismu. Aku akan memberimu keamanan dan kekayaan!" kata wiro sambil tertawa menyeringai.

Ia menulikan telinganya dari suara jerit tangis dan penolakan gadis yang dicengkeramnya, lalu kembali meneruskan niatnya untuk menarik gadis itu.

Tiba-tiba saja langkahnya terhenti begitu salah satu dari dua orang asing yang sedari tadi sudah ada di dalam rumah makan tahu-tahu sudah berdiri dihadapannya. Kontan, seringai wajah Wiro berubah marah. Telunjuk tangannya langsung menuding-nuding.

"Aku tidak mengganggu kalian, makanya sedari tadi aku tidak mengusikmu!. Sekarang, kalian malah mau berurusan dengan kami?!" Wiro membentak.

Lelaki itu tak mengeluarkan suara, ia hanya menggerakkan tangannya sebagai isyarat agar Wiro mau melepaskan gadis yang ia cengkeram.

Wiro faham apa yang dimaksud oleh lelaki dihadapannya. Ia cuma membalasnya dengan senyum menyeringai.

Kakinya bergerak cepat seperti pegas ke arah perut salah satu lelaki asing itu. Lelaki asing itu memiringkan tubuhnya hingga jejakan kaki Wiro menemui tempat kosong.

"Oh, bisa beladiri juga rupanya!" Wiro berkata sambil mengangguk-anggukkan kepalanya beberapa kali.

Tangan kanannya yang tadi menggenggam pergelangan tangan gadis itu langsung ia hempaskan, lalu melakukan sebuah pukulan melingkar menyasar kepala dengan gerakan yang sangat cepat.

Yang diserang cuma memundurkan kepalanya sedikit, lalu kaki kanannya meluncur ke arah ulu hati Wiro.

Dengan gerakan sigap, Wiro mengayunkan tangannya lalu menjepit kaki si penyerang, kaki kanannya berayun menyepak lelaki asing yang saat itu hanya berdiri dengan satu kaki.

Buk!

Buk!

Tubuh si lelaki asing terbanting disusul sebuah pukulan telak menghantam dadanya. Nampak pukulan Wiro membuat lelaki asing itu sesak nafas.

Disaat Wiro hendak melancarkan serangan berikutnya, lelaki lainnya yang sejak tadi diam langsung bereaksi dengan menendang tubuh Wiro.

Kali ini, tubuh Wiro terlempar beberapa meter dan menghantam meja yang ada didekatnya.

"Kurang ajar!" Wiro mengumpat, lalu meraih goloknya yang terletak di atas meja. "Cari mati!"

Selesai mengumpat, ia langsung melompat sambil mengayunkan goloknya. Sementara untuk menghindari serangan golok Wiro, lelaki asing yang menendang Wiro juga mengeluarkan pedangnya.

Tring!

Benturan dua buah logam membuat dentingan dan percikan api.

Wut!!!

Satu suara ayunan pedang lelaki asing yang barusan dibanting oleh Wiro berayun membelah tubuh Wiro. Sontak Wiro pun terkejut. Namun pengalaman bertarung membuat gerak refleksnya mampu membuatnya selamat dengan cara melompat mundur.

Namun, satu kernyit kesakitan langsung tergambar dari sunggingan bibir Wiro sambil memegangi dadanya yang terasa seperti teriris.

Padahal, sabetan pedang itu berjarak cukup jauh dari tubuhnya, namun angin yang keluar dari ayunan pedang itu sangat terasa menyakitkan seperti membelah dadanya.

"Kalian ini datang dari mana?! Berani membuat ribut di negeri orang!" bentak Wiro, ia berusaha menyembunyikan rasa perihnya dengan bersuara nyaring.

Dua lelaki itu adalah kembar, masing-masing mengacungkan pedangnya ke arah Wiro.

"Tak perlu anda tahu asal-usul kami. Sebenarnya, kami adalah orang yang tahu adat, mana berani kami membuat kekacauan tanpa alasan, apalagi di negeri yang jauh dari tempat kami. Namun, jika ada orang yang berbuat kerusakan, dimanapun kami temui, maka kami tak akan sungkan untuk turut campur!" salah satunya menjawab dengan logat yang masih kaku, namun bahasanya tenang dan datar.

Wiro terdiam. Ia tahu kalau dua orang lelaki asing dihadapannya itu bukanlah pendekar sembarangan. Dari sabetan pedangnya saja, ia sudah bisa mengukur kalau mereka tidak mudah untuk dikalahkan.

Dengan dengusan keras, Wiro langsung memberi isyarat pada anak buahnya agar segera pergi meninggalkan tempat itu.

"Kita pergi!" perintahnya kemudian sambil membalikkan badan dan melangkah buru-buru diikuti oleh kelima anak buahnya.

Setelah Wiro dan kawan-kawannya hilang dari pandangan, salah satu dari lelaki itu berpaling pada saudaranya dan berkata dalam bahasa China, "Tien Jie, kau tak apa-apa?"

Next chapter