webnovel

Pendekar Lembah Damai

Suro terdiam dibalik tubuh kaku Ki Ronggo, satu-satunya jalan supaya nyawanya bisa bertahan lebih lama adalah dengan diam tidak bergerak. Padahal ia berharap bisa mellihat wajah dan mengingat para penyerangnya, hingga kelak jika ia masih hidup dan berumur panjang, akan menuntut balas atas semua yang terjadi malam itu. “Kang Wulung!” seru satu suara lainnya, “Apa tindakan selanjutnya?” Sejenak tak ada suara, hanya langkah-langkah kaki yang berderap kesana kemari. “Anak-anak! Bakar tempat ini!!!” perintah dari orang yang dipanggil dengan sebutan Kang Wulung, yang disahut dengan suara gemuruh banyak orang. Tak lama, suasana malam menjadi terang benderang dengan cahaya merah, Suro terdiam dibalik tubuh kaku Ki Ronggo, satu-satunya jalan supaya nyawanya bisa bertahan lebih lama adalah dengan diam tidak bergerak. Padahal ia berharap bisa mellihat wajah dan mengingat para penyerangnya, hingga kelak jika ia masih hidup dan berumur panjang, akan menuntut balas atas semua yang terjadi malam itu. Perjalanan seorang remaja, hingga dewasa di negeri yang jauh dari tempat kelahirannya. Takdir memaksanya menjalani hidup dalam biara Shaolin. Suatu saat ketika ia akan pulang ke kampung halamannya, ia harus bisa mengalahkan gurunya sendiri dalam sebuah pertarungan.

Deddy_Eko_Wahyudi · Action
Not enough ratings
112 Chs

Pertarungan Tak Seimbang

"Bagaimanapun juga, kita mungkin tak akan bisa mengalahkan mereka," Cheng Yu menoleh pada Ching So Yun dan Zhu Lie Xian, "Strateginya adalah, membuat mereka sibuk dan merebut Li Yun. Lalu secepatnya melarikan diri. Tapi entah bagaimana caranya nanti, mudahan dalam pertarungan akan ada jalannya."

Mereka berdua mengangguk.

Kini mereka semua sama-sama turun dari kuda dan saling berhadapan, 10 orang melawan 3 orang. Jumlah yang tidak seimbang.

Ching So Yun mengeluarkan sebuah benda bertali, dimana pada ujung tali terkait dengan sebuah bola kecil sebesar lebih kurang bola mata, dan unjung tali lainnya terikat di pergelangan tangan kanannya. Senjata itu disebut dengan Bandul Bintang Jatuh!

"Dengar, barangkali disini aku yang paling bisa menghadapi mereka. Jadi aku akan memecah pertahanan mereka, kalian berdua berusahalah menembus masuk ke arah kuda Nona muda Yang. Setelah itu, bawalah mereka pergi secepatnya. Aku akan menyusul kalian!" Ching So Yun mengatakan rencananya pada Cheng Yu dan Zhu Lie Xian dalam bahasa China yang tentu saja tak dimengerti oleh para rombongan penculik.

Mereka berdua mengangguk faham.

"Kami percaya padamu. Berusahalah agar tidak mati ditangan mereka," ujar Cheng Yu.

"Sini maju!" salah satu dari rombongan penculik itu berseru menantang.

Dengan gerakan cepat dan tiba-tiba, Ching So Yung menggerakkan bandulnya ke arah salah satu rombongan penculik itu untuk memulai serangan.

Buk!

Senjata itu tidak disadari oleh lawannya hingga tak bisa dihindari dan tepat mengenai kepala hingga bocor. Darah langsung mengalir membuat lawannya terjatuh sambil berteriak kesakitan.

Pertarungan cukup seru dimulai. Cheng Yu dan Zhu Lie Xian mengibas dan menusukkan pedangnya mencari sasaran sambil berusaha mendekati tempat dimana Li Yun tergantung di atas punggung kuda.

Cukup sulit bagi mereka, karena serangan keroyokan yang dilakukan oleh lawan-lawannya. Namun, kepiawaian Ching So Yun memainkan senjata Bandul Bintang Jatuh terkadang mampu menghalangi serangan yang diarahkan kepada mereka berdua, meskipun beberapa kali pukulan dan tendangan sempat mereka berdua terima dan rasakan.

Buk!

Buk!

Sret!

Dua tendangan tepat mengenai tubuh Cheng Yu, dan satu tebasan pedang yang terlambat ditepis mampir membuat luka goresan di bahu Zhu Lie Xian. Ching So Yun nampak bekerja keras melindungi keduanya dari serangan yang lebih parah lagi.

Padahal, disela-sela ia menghadapi serangan dari lawannya sendiri, Biksu muda pelatih senior itu masih sempat melirik dan sesekali menyelamatkan nyawa Cheng Yu dan Zhu Lie Xian dari lawan-lawan yang mendekatinya.

Suatu ketika, salah satu dari lawan berhasil menembus serangan jarak jauh dari Ching So Yun dan mengadakan kontak fisik secara langsung. Biksu itu buru-buru menarik senjatanya hingga tergulung dilengannya kembali.

Lawan melakukan serangan golok berupa tebasan dari sisi kiri dan kanan membuatnya harus berkelit seperti ikan disela-sela karang. Belum lagi terbebas, dua lawan kembali menusuk bersamaan menyasar perut, memaksanya melompat tinggi sambil melakukan tendangan kanan dan kiri di udara sekaligus.

Lawan Ching So Yun cukup tangguh, mereka langsung beringsut menarik kepala dan tubuhnya ke belakang dan membuat serangan biksu muda itu lolos. Begitu kakinya turun ke tanah, ia melakukan gerakan sapuan bawah.

Lawan yang dihadapi oleh Ching So Yun merupakan petarung pilihan tingkat lima aliran Macan Hitam, yang kepandaian beladirinya barangkali masih di bawah Ching So Yun. Tetapi yang membuat serangan-serangan dari biksu itu gagal adalah karena mereka menyerang secara bergantian dan terorganisir yang memaksanya beberapa kali menarik serangan kembali.

Jika bukan dirinya yang bertarung, pasti dalam hitungan menit orang itu sudah terkapar dengan luka yang sangat parah, bahkan mati di tempat. Sejak pertarungan dimulai pun, tak ada satu serangan pun bersarang di tubuh para pengeroyoknya, kecuali satu orang pada saat-saat awal memulai pertarunvan dengan kepala bocor.

Di saat menghadapi pengeroyokan, biksu itu melirik ke arah Cheng Yu dan Zhu Lie Xian yang nampak keteteran dan tubuh luka di sana-sini. Jika tidak dibantu, pastilah mereka akan menemui kematian ditangan pengeroyoknya.

Setelah berhasil membuat jarak dengan beberapa orang pengeroyoknya, Biksu itu menggerakkan tangannya membuka belitan tali Bandul Bintang Jatuh, lalu melempar dan menarik Bandul Bintang Jatuh berulang-ulang ke arah para penyerang yang berusasha mendekati Cheng Yu dan Zhu Lie Xian, sementara ia sendiri pun sambil menjaga jarak serangan dengan lawan yang langsung ia hadapi.

Berhasil!

Posisi Cheng Yu kini sudah berada disisi kuda dimana tubuh Li Yun tergantung. Zhu Lie Xian bergerak kesana kemari mengamankan posisi Cheng Yu dengan pedangnya agar Cheng Yu bisa menaiki kuda yang dipakai untuk membawa Li Yun.

Zhu Lie Xian dan Ching So yun menampakkan wajah lega begitu Cheng Yu berhasil naik di atas punggung kuda lalu lelaki itu menggebrak perut kuda agar segera melompat. Sekuat tenaga, Cheng Yu memegang pelana kuda dan tubuh Li Yun agar tidak terjatuh.

Kuda pun terkejut dan membuat gerakan seperti mengamuk dan membuat rombongan penculik membuka ruang gerakan, takut jika kaki-kaki kuda bakal menyepak tubuh mereka. Dengan mahir, Cheng Yu bisa langsung menenangkan dan membuatnya berlari sangat kencang.

Kesempatan itu juga dimanfaatkan oleh Zhu Lie Xian. Ia berlari disisi kuda yang dinaiki Cheng Yu secepat ia mampu mengiringi dan membawanya ke tempat kudanya berada.

"Kejar mereka! Jangan sampai lolos!" salah satu penculik berteriak.

Sontak, semuanya bergerak menuju kuda masing-masing. Mereka meninggalkan Ching So Yun dan lebih memfokuskan pengejaran pada kuda Cheng Yu yang membawa Li Yun.

Suatu kesempatan bagi biksu itu untuk menyerang dengan gerakan bebas karena kelengahan lawan-lawannya dengan langkah mundur mendekati kuda terdekat.

Buk!

Buk!

Buk!

Beberapa serangan bandul bersarang tanpa hambatan ditubuh beberapa orang sasaran yang dituju dan cukup membuat mereka yang berusaha mendekati kuda mereka tertahan untuk beberapa saat.

Karena perhatian mereka tertuju hanya untuk mendapatkan Li Yun yang berhasil dilarikan oleh Cheng Yu, Ching So Yun mengambil kesempatan itu dengan buru-buru menuju kuda terdekat dan segera melompat menaikinya lalu memacunya secepat mungkin meninggalkan rombongan para penculik.

Biksu itu masih bisa melihat Cheng Yu dan Zhu Lie Xian yang berada didepannya, hingga mereka tiba di tempat anak buah Cheng Yu berkumpul. Sambil terus memacu kudanya, ia memberi isyarat dengan tangannya agar mereka segera mengikutinya.

Sepanjang jalan yang mereka lewati, rumah-rumah banyak memiliki halaman yang cukup luas dengan kebun buah dan sayur di halaman belakang.

Hal itu dimanfaatkan oleh Cheng Yu dengan sengaja melambatkan laju kudanya untuk mengurangi debu yang berterbangan. Setelah itu ia masuk ke salah satu rumah yang memiliki halaman luas dengan tanaman berupa kebun buah dan menyelinap bersembunyi di belakang rumah itu.

Cukup lama mereka berdiam bersembunyi sambil mengamati dari sudut rumah ke arah jalanan. Yang mereka khawatirkan adalah jejak debu yang ditinggalkan oleh tapak kaki kuda mereka akan memberi petunjuk kepada rombongan penculik mengenai keberadaan mereka.

Dari jauh, derap kaki kuda perlahan terdengar semakin jelas, menandakan para penculik itu juga sudah semakin mendekati areal rumah tempat persembunyian mereka. Dengan hati cemas mereka menunggu apa yang akan terjadi selanjutnya. Apakah para penculik itu menyadari kalau mereka sebenarnya bersembunyi atau malah terus melakukan pengejarannya.

Para penculik lewat begitu saja tanpa henti menyusuri jalan dengan kudanya yang dipacu kencang.

Hingga mereka menghilang dari pandangan, mereka sama menarik nafas lega. Artinya, para penculik tidak menyadari kalau mereka sudah melewati tempat persembunyian Cheng Yu dan kawan-kawan.

Tiba-tiba saja, pintu yang letaknya di belakang rumah terbuka, dan seorang lelaki tua muncul dengan ekpsresi wajah terkejut melihat beberapa orang asing sudah berdiri dihadapannya.

Cheng Yu dan beberapa orang anggota yang bersamanya mencoba tersenyum ramah.

"S-siapa kalian semua?" tanya lelaki tua itu, usianya sekitar 60 tahunan.

Sekali lagi, Cheng Yu tersenyum sebagai bahasa ia meminta maaf.

"Maafkan kami, bapak," Cheng Yu mengatakannya dengan tubuh dan kepala sedikit membungkuk, "Kami mau minta bantuan, tetapi kami tidak tahu bagaimana caranya."

Lelaki tua itu menatapnya heran, seperti tak menyangka ada orang asing yang bisa berbahasa sepertinya.

Tak langsung menjawab, ia sekali lagi memandangi orang-orang dihadapannya satu persatu. Pandangannya terhenti ketika melihat tubuh Li Yun tergeletak di atas tanah beralas kain. Tangannya langsung menunjuk ke arah tubuh Li Yun yang pingsan.

"Itu..." katanya, tetapi wajahnya terlihat masih bingung hingga tak bisa lagi berucap, "Kenapa?"

Cheng Yu melihat ke arah Li Yun yang tergeletak sebentar, kemudian memandang lagi ke arah lelaki itu.

"Ini adik saya. Dan kami mau minta tolong agar bisa beristirahat sebentar di tempat ini," Cheng Yu menerangkan.

Lelaki itu langsung mengibas-ngibaskan tangannya beberapa kali disertai gelengan kepala.

"Jangan di sini!" katanya, lalu mengayunkan tangannya ke arah pintu yang terbuka, "Bawa masuk saja!"

Cheng Yu mengangkat tangannya, "Tidak perlu, pak. Di sini juga tidak apa-apa."

"Ayolah, tidak apa-apa. Bawa masuk kedalam. Di situ kotor. Apalagi kalian ini terluka. Tak mungkin'kan harus diobati di luar? " lelaki itu memaksa.

Cheng Yu memandang bergantian ke arah Zhu Lie Xian dan Ching So Yun, "Bapak ini menyuruh kita membawa Li Yun ke dalam rumah."

Barangkali merasa sungkan, Ching So Yun dan Zhu Lie Xian tak langsung menjawab. Tetapi kemudian mereka mengangguk.

Di dalam rumah, Li Yun langsung dibaringkan di atas pembaringan yang terbuat dari anyaman bambu tanpa alas.

Seorang wanita yang hampir seumuran dengan lelaki yang punya rumah muncul dengan wajah panik, dia adalah isteri dari lelaki pemilik rumah.

Namun buru-buru lelaki itu membawa isterinya ke belakang. Hingga beberapa saat kemudian, lelaki itu muncul dan bergabung dengan Cheng Yu dan lainnya.

Setelah membersihkan diri dan mengobati luka-luka di tubuh Cheng Yu maupun Zue Lie Xian, si wanita muncul kembali dari dapur dengan membawa gelas-gelas bambu berisi minuman.

"Kalau tidak salah ingat, anak gadis ini yang tadi dibawa oleh rombongan orang berkuda yang tadi pagi lewat," katanya.

Cheng Yu mengangguk.

"Benar," Cheng Yu menanggapi, "Ini adik saya. Saya tak tahu kenapa adik saya ini sampai dibawa oleh mereka. Barangkali bapak pernah mendengar ada masalah dengan adik saya ini? Atau orang-orang yang tadi menculiknya?"

Si Lelaki tadi terdiam sejenak. Dengan suara agak pelan seperti takut ada yang mendengar, dia berkata, "Kalau aku tidak salah, orang-orang itu adalah murid dari perguruan Macan Hitam. Tetapi aku tidak tahu, apa sebab adikmu ini dibawa oleh mereka."

Mendengar apa yang disampaikan oleh lelaki pemilik rumah, Cheng Yu dan yang lainnya saling berpandangan. Macan Hitam? Mengapa Li Yun bisa terlibat dengan mereka?

Karena yang lainnya tidak bisa berbahasa lokal, hanya Cheng Yu yang mengadakan dialog.

"Tapi, syukurlah adikmu bisa diselamatkan. Perguruan Macan Hitam itu adalah perguruan beladiri yang berkuasa di tanah Jawa ini. Semua perguruan-perguruan yang dulu bertebaran dibumi sudah hanguskan oleh mereka tanpa sisa. Jika saja adikmu sampai berada disana, pastilah ..... " Lelaki itu melanjutkan kalimatnya dengan desahan panjang sambil menggeleng-gelengkan kepalanya beberapa kali.

Cheng Yu pun menarik nafas dalam sambil sedikit menundukkan kepala memikirkan kejadian yang barusan mereka alami. Ia takut membayangkan musibah yang akan dialami oleh Li Yun jika saja mereka tidak berhasil menyelamatkannya.

"Sungguh, kami juga terkejut begitu melihat adik saya ini dibawa oleh mereka. Nyaris saja kami terlewat menyelamatkannya," katanya.

"Memangnya, kalian ini mau kemana?" tanya lelaki itu.

Cheng Yu mengangkat kepalanya agak terkejut, "Oh... Kami hendak ke Lembah Damai. Kami datang kemari karena ingin mengunjungi adik saya ini."

Lelaki itu mengernyitkan keningnya, "Lembah Damai?"

Cheng Yu mengangguk, "Ya. Kami sudah lama tidak bertemu dengan adikku suami isteri. Menurut informasi sewaktu kami berpisah, mereka akan membangun tempat tinggal di Lembah Damai."

Wajah si lelaki tua itu tiba-tiba bersinar, sepertinya ia mengingat sesuatu terkait dengan apa yang diceritakan Cheng Yu.

"Aku tahu!" serunya bersemangat, "Gadis ini adalah tabib di Padepokan Cempaka Putih. Pemimpinnya adalah anak muda Suro Bawu!"

Kali ini, tak hanya wajah Cheng Yu yang berbinar, semua anggotanya juga menampakkan wajah yang sama dengan Cheng Yu.

"Alhamdulillah!" Cheng Yu langsung berucap syukur.

Si lelaki terperanjat mendengar sebutan Cheng Yu, "Lho? Sampeyan muslim?"

Cheng Yu langsung mengangguk dan anggukannya membuat lelaki tua itu tersenyum kagum sambil geleng-geleng kepala.

"Kalian semua, beristirahatlah di sini sampai adikmu sembuh!" ia nampaknya merasa senang, dan itu membuat Cheng Yu dan yang lainnya merasa tidak enak merasa sudah merepotkan.

"Kakak.... kakak..." tiba-tiba Li Yun sadar, suaranya terdengar pelan.

Buru-buru, mereka semua bangun dan memperhatikan kondisi Li Yun.

"Adik Li," Cheng Yu berkata, "Kau sudah sadar?"

Li Yun menyipitkan pandangannya, apa yang ia lihat terasa masih kabur efek dari obat yang diberikan padanya saat ia dilumpuhkan di Padepokan Cempaka Putih. Tetapi, ia merasa cukup mengenal suara Cheng Yu.

"Kakak Cheng?" ucapannya terdengar ragu.