webnovel

4. Hidayah

Elnara masih berbaring di ranjang. Tubuhnya lemas tak bertenaga. Rasa sakit menjalar di seluruh tubuhnya, suhu tubuhnya panas dan mengigil. Kepalanya pusing, untuk bangun dari posisi berbaring saja dia kesulitan. Elnara haus ingin minum tapi dia tidak bisa bangun. Asisten rumah tangganya sedang pulang kampung, Elnara hanya sendirian di apartemennya.

"Aku haus, ingin minum."

Elnara menatap air minum di atas meja dekat ranjangnya. Rasa haus yang memuncak membuatnya berusaha bangun dan turun dari ranjang. Baru satu langkah berjalan Elnara terjatuh ke lantai. Tiba-tiba dia berada di suatu tempat, dia melihat jenazah tertutup kain kafan. Tak ada satupun pelayat yang datang dan jenazah itu mengeluarkan bau busuk yang menyengat. Elnara memberanikan diri mendekati jenazah itu, membuka kain kafannya.

"Tidak, itu aku. Aku sudah mati."

Elnara tak percaya melihat jenazah di depannya adalah dirinya sendiri. Dadanya mulai sesak teramat sangat. Elnara duduk di samping jenazah sambil memegang dadanya yang terasa sesak sambil menangis kesakitan.

"Sakit ..., sakit ...," ucap Elnara.

Tak ada seorang pun datang menolongnya. Dia hanya berdua dengan jenazah yang mengeluarkan bau busuk itu.

"Sakit ... tolong ... sakit ...tolong ...," ucap Elnara yang kesakitan.

Tak lama Elnara terbangun dari tidurnya. Dia melihat ke sekeliling. Dia baru ingat kalau tadi dia terjatuh pingsan saat hendak mengambil air minum. Elnara menangis teringat mimpi yang menakutkan itu. Dadanya juga masih terasa sedikit sesak dan sakit seperti tertarik. Seketika Elnara teringat akan kematian. Nasibnya tak akan jauh berbeda dari mimpinya. Dia hanya akan menjadi jenazah kesepian dan sendirian tanpa pelayat ataupun keluarga yang datang. Siapa yang akan menguburkannya apalagi mendoakannya.

"Aku berlumur dosa, apa semua ini teguran?"

Elnara bangun mengambil tas miliknya lalu ke luar dari apartemennya. Dia mengendarai mobilnya menuju ke tepi jalan, tempat di mana saat dia bertemu Alif. Elnara memarkirkan mobilnya begitu saja di tepi jalan. Dia berjalan dengan perlahan menuju tempat Alif biasanya berjualan tapi dia tidak menemukan Alif.

"Dimana Alif?"

Elnara bertanya pada pedagang di tepi jalan yang tak jauh dari tempat Alif biasanya berdagang.

"Bu, anak kecil buta penjual kerupuk yang biasa duduk di sana, kemana ya ?" Elnara bertanya sambil menunjuk ke arah tempat biasanya Alif berdagang.

"Oh Alif, dia sudah dua hari ini tidak jualan."

"Ibu tau di mana rumahnya?"

"Di tepi sungai besar itu." Ibu pedagang memujuk ke arah sungai besar yang tak jauh dari tepi jalan itu.

"Perumahan kumuh itu?"

"Iya, di sanalah Alif tinggal."

"Makasih Bu."

"Sama-sama."

Elnara berjalan menuju perumahan kumuh di tepi sungai. Dia bertanya pada beberapa orang letak rumah Alif, kemudian Elnara berjalan menuju gang sempit menuju rumah Alif yang terhimpit rumah-rumah lainnya. Rumah gubuk yang terlihat kumuh dan lapuk. Elnara tak percaya Alif tinggal di rumah yang tak layak huni itu. Tangannya mengetuk pintu perlahan.

Tok tok tok!

Pintu terbuka, dua anak kecil melihat ke arah Elnara.

"Kakak ada perlu apa?"

"Aku ingin bertemu Alif."

"Kak Alif sakit."

Elnara terkejut mendengar Alif sakit. Dia masuk ke dalam rumah begitu saja. Alif sedang berbaring di kasur sudah yang usang. Elnara melihat ke sekeliling. Keadaan rumah yang tak layak huni. Bilik bambu yang sudah bolong di beberapa bagian, atap yang bocor, tak ada barang berharga satupun hanya tumpukan kardus berisi baju dan kasur usang serta perabot rumah tangga seadanya. Elnara duduk di samping Alif. Dia memegang tangan kecilnya.

"Alif kau sakit?"

"Iya kak." Suara Alif terdengar pelan.

"Mereka ini adikmu?" tanya Elnara sambil melihat tiga anak kecil berada di ruangan itu.

"Iya kak, itu Annisa adik perempuanku usianya 7 tahun, itu Yusuf adik lelakiku berusia 5 tahun dan si bungsu bernama Delisa berusia 3 tahun."

Elnara kembali berurai air mata, melihat Alif dan adik-adiknya yang masih kecil jadi yatim piatu.

"Jadi selama ini kau jualan kerupuk untuk membiayai kehidupanmu bersama adik-adikmu?"

Alif mengangguk. Elnara tak kuasa menahan air matanya lagi. Dia menangis, menjerit. Seorang anak kecil berusia 9 tahun harus menghidupi adik-adiknya yang masih kecil-kecil, apalagi mereka semua yatim piatu. Dia sendiri yang hanya untuk membiayai kebutuhannya rela menjual dirinya hanya demi kesenangan duniawi.

"Kakak kenapa menangis?"

"Aku malu, aku malu padamu Alif hik ...hik ... hik ...," ucap Elnara sambil menangis.

Elnara menyesali semua perbuatannya yang sudah menjual dirinya hanya demi uang sedangkan Alif tetap menjaga harkat dan martabatnya meskipun dia hidup dalam kesusahaan. Derajat bukan karena dia kaya atau miskin tapi bagaimana dia mempertahan harga dirinya agar tetap berharga di mata manusia ataupun Allah SWT.

Elnara menuju dapur ingin memasak untuk Alif dan ketiga adiknya tapi tak ada bahan makanan yang bisa di masaknya. Kedua adik Alif memberi singkong pada Elnara.

"Ini untuk apa?"

"Di rebus."

Elnara memeluk kedua adik Alif. Mereka bisa tegar menghadapi kehidupan yang begitu sulit, yang mungkin orang lain tak sanggup bila berada di posisi mereka.

Selesai merebus singkong, Elnara makan singkong bersama Alif dan adik-adiknya. Rasanya nikmat meskipun hanya makan singkong rebus tapi bersama dengan orang-orang yang menyayangi itu yang terpenting. Satu hal yang tak pernah dirasakan Elnara selama ini. Gemerlap harta membuatnya sangat kesepian dan sendiriaan tanpa adanya orang-orang menyayanginya.

Setelah makan Elnara melihat Alif dan adik-adiknya sholat dan mengaji. Mereka terlihat damai dan bahagia saat sholat dan mengaji. Suatu keadaan yang tak pernah dilihatnya di manapun.

"Sudah lama sekali aku meninggalkan Allah, hidup di dalam dunia yang penuh keserakahan."

Elnara begitu senang mendengar suara anak-anak itu mengaji. Rasanya hatinya penuh kedamaian dan ketenangan. Alif menghampiri Elnara dan memberinya sebuah hijab dan mukena.

"Ini untuk apa?"

"Nanti kalau kakak sudah yakin, pakailah dan gunakan," ucap Alif.

"Itu milik ibu kami, maukah kakak menerimanya?" tanya Annisa.

"Iya, makasih."

Elnara senang mendapat hadiah dari anak-anak itu, meskipun itu hijab dan mukena yang sudah lama tapi mengandung arti yang begitu mendalam.

***

Elnara kembali ke apartemen. Di pintu apartemennya dua orang anak buah Mamy Desi sudah menunggunya. Mereka melotot ke arah Elnara yang baru datang.

"Untuk apa kalian di sini?"

"Menjemputmu, ada klien besar yang memesanmu."

"Aku sedang sakit, aku ingin istirahat."

"Mamy Desi sudah menerima uang dari klien, jadi kau harus melayaninya."

Elnara hanya diam, membuka pintu apartemennya tapi kedua anak buah Mamy Desi memegang kedua lengannya.

"Elnara jangan bertingkah kalau kau ingin selamat."

"Aku bilang aku sakit, aku butuh istirahat."

"Beristirahatlah setelah kau melayani klien."

"Tidak. Aku tidak ingin melayani klien untuk saat ini."

Kedua anak buah Mamy Desi menarik lengan Elnara membawanya keluar dari apartemen. Dia memasukkan Elnara di kursi belakang. Satu dari mereka duduk di samping Elnara, yang satunya duduk di depan.

"Elnara berdandanlah dan ganti pakaianmu!"

"Disini?"

"Iya, lakukan cepat. Kita tak punya banyak waktu."

Elnara tak bisa membantah atau menolak, kedua lelaki kekar itu bisa saja memukulnya atau menyiksanya sampai mati kalau tidak mengikuti peraturan yang sudah ditentukan Mamy Desi. Terpaksa dia merias wajahnya dengan make up yang sudah disediakan anak buah Mamy Desi dan berganti dress di dalam mobil, tak peduli di samping ada anak buah Mamy Desi.

Sampai di sebuah hotel, Elnara di antar kedua anak buah Mamy Desi sampai ke depan pintu kamar yang sudah dibooking klien.

"Masuklah! kami akan menunggu di bawah sampai kau selesai."

Elnara tak menjawab. Dia masuk ke dalam. Dia terkejut saat melihat lelaki yang duduk di sofa melihat ke arahnya.

Next chapter