webnovel

Mata Shiwa

Melihat situasi di depannya, Nicolas pun keluar dari kereta kencana yang dia tunggangi. Mengikutinya di belakang adalah Shiwa, Jeanne dan asisten pribadinya.

Kehadiran Nicolas membuat para pengunjung kembali riuh, mereka ingin melihat drama yang akan ditunjukan oleh sang bangsawan. Namun sayang, pihak militer langsung bergerak cepat.

Mereka bergerak dengan sigap, membuat jalan bagi Viscount Amary, dan menyuruh para pengunjung untuk mundur dan pergi. Para pengunjung tentu merasa jengkel dengan perlakuan para penjaga, mereka berani datang di bawah lingkaran sihir karena menantikan sesuatu yang menarik untuk disaksikan, namun sekarang mereka malah disingkirkan.

Beberapa dari pengunjung berniat untuk memberontak, namun niatan itu seketika sirna ketika atmosfer di sekitar sana berubah drastis. Udara terasa tertekan dengan hawa yang mencekam.

Mereka yang ada di sekitar sana, termasuk Cien dan rombongan Amary, menoleh ke seorang lelaki yang tiba-tiba muncul di belakang rombongan Viscount Amary.

Seorang lelaki muda dengan rambut panjang pirang menyala, dengan mata hijau yang menawan. Kulit lelaki itu putih dan lembut bagai salju, namun hawa yang terasa di sekitarnya terasa mengerikan bagai badai yang mengancam nyawa.

Lelaki itu adalah seorang Champion atau orang terkuat yang ada di Kerajaan Huntara, Signa Wayde.

Signa datang kemari setelah melihat lingkaran sihir besar di ibukota. Merasakan bahaya akan warga di kotanya dia segera datang untuk mencari tahu, namun ketika sampai dan mendengar inti permasalahan dari para penjaga, dia memilih diam dan menyaksikan hingga Viscount Amary datang.

Masalah kali ini Signa rasa akan cepat selesai, bila kedua pihak menyelesaikan transaksi jual beli mereka, yaitu penjual dan keluarga Amary. Namun, hadangan dan kerakusan keluarga lain akan menjadi pengganjal transaksi ini cepat beres.

Oleh karenanya, Signa meminjamkan keberadaannya untuk mengancam mereka yang ingin mengacaukan transaksi tersebut dan membahayakan banyak nyawa warga Huntara.

Signa tidak gentar akan lingkaran sihir di langit, namun itu bukan berarti dia bisa seratus persen menghentikan serangan sebesar itu dari mencabut nyawa orang-orang yang ada di sini.

Viscount Amary, yang terbilang cukup intelijen langsung mengerti kedatangan Signa. Dia seraya membungkuk dan berterima kasih. Signa hanya tersenyum tipis, lalu mempersilahkan Nicolas untuk segera menyelesaikan urusannya, agar lingkaran sihir itu hilang dari kota. langit

Di lain pihak, Cien yang bisa dibilang orang lemah, berusaha keras untuk menunjukan dirinya tetap tenang seperti biasa. Walaupun dia tidak bisa membohongi hatinya, kalau saat ini dia cukup ketakutan merasa hawa mencekam yang dikeluarkan Signa.

Beberapa bulir keringat mengalir di tengkuknya, dia bahkan menelan ludah beberapa kali. Merasa tenggorokannya selalu kering ketika gugup. Cien sungguh berharap bisa mendapatkan uangnya dan pergi dari tempat itu sesegera mungkin.

Dia tidak menyangka kalau sarung tangan buatannya akan menarik sosok mengerikan seperti lelaki pirang tersebut.

"Jadi, siapa itu? Jendral? Champion?" Tanya Cien kepada Veronica, yang saat ini terlihat mata gadis kecil itu tampak berkaca-kaca.

"Paman tidak tahu? Dia Signa! Champion Huntara!"

"Bagaimana aku tahu? Aku bukan dari Huntara…"

"Bagaimana Paman bisa tidak tahu?! Signa itu Champion, semua orang di Kastia tahu nama para Champion! Mau itu dari Huntara ataupun bukan!"

"...anggap saja aku tidak termasuk semua orang itu. Aku bahkan tidak tahu siapa Champion di Kerajaanku sendiri, itupun kalau aku masih dianggap warga sana."

Veronica menganga tidak mengerti apa yang dikatakan oleh Cien.

"Paman… apa kamu hidup di bawah batu?"

"...Tidak, tapi bisa dibilang sama seperti itu. Mungkin, sigh… aku benar-benar tidak tahu akan dunia luar lagi…"

Cien merasa tertekan dengan perubahan yang saat ini tidak dia ketahui di Kastia. Veronica yang melihat raut murung Cien, merasa bersimpati, tapi dia tidak bisa menghiburnya, karena gadis kecil itu tidak tahu kehidupan yang dialami Cien.

Tidak butuh waktu lama sebelum akhirnya rombongan keluarga Viscount Amary tiba di depan meja Cien.

"Apa anda pen-"

"Tidak perlu berbasa-basi. Bila kau membawa uangnya, maka masalah ini selesai. Fire Glove dan gadis kecil ini kembali ke sisimu. Dan aku dapat uang, lalu keluar dari keramaian ini."

"..."

Nicolas tidak menyangka dirinya tiba-tiba dipotong. Dia, seorang bangsawan, Viscount! Omongannya dipotong oleh seorang pedagang dari antah berantah. Sungguh dia kesal, namun mengingat lingkaran sihir di atas dan Signa di belakang, membuatnya harus menahan diri.

Sayangnya, asisten pribadinya tidak menerima ketidaksopanan Cien.

"Apa kau ingin mati, pedagang kecil?! Mana tata kramamu?! Siapa yang memperbolehkanmu berbicara seenaknya di hadapan Viscount Amary?"

Asisten itu naik pitam, pedang pun dikeluarkan dari sarung di pinggangnya. Dia mengancam Cien dengan menempatkan ujung pedang di depan hidungnya. Tapi, dia tidak melihat pedagang itu takut, malah dia melihat senyum kecil dari si pedagang, yang serta merta menunjuk ke arah langit.

"Siapa yang memperbolehkan? Aku tidak perlu izin untuk berbicara. Kalau kau ingin membunuhku, silahkan. Tapi ketahuilah konsekuensinya."

Cien menjawab dengan tatapan serius. Dia melihat langsung ke Nicolas dan Signa yang berada di barisan paling belakang rombongan sang Viscount. Cien sama sekali tidak menganggap keberadaan asisten yang sedang marah itu.

"Kau-"

"Hentikan."

Nicolas menarik bahu asistennya, menyuruhnya kembali ke belakang. Dia lalu melangkah maju, berdiri berhadapan langsung dengan Cien.

Harus diakui, tinggi Nicolas sekitar sepuluh senti lebih tinggi daripada Cien. Membuat sang pemilik toko harus menengadah melihat tatapan yang seolah merendahkannya.

Cien menyeringai lebar, "Apa kau benar-benar mau melakukan ini?"

Wajah Nicolas agak merengut, "Anda penjual yang cukup menarik. Ini pertama kalinya, saya melihat pedagang yang sembrono seperti anda. Bahkan para saudagar yang telah punya nama pun, harus mengawasi tata krama yang dimiliki mereka ketika berhadapan dengan seorang bangsawan."

"Hahaha, sayang sekali. Aku bukan salah satu dari mereka."

"Tidakkah anda takut tidak bisa keluar dari kota ini tanpa luka?" Nicolas, lalu mendekati bibirnya ke telinga Cien kemudian berbisik, "Jangan pikir Signa akan melindungimu setelah transaksi ini selesai."

Usai mengucapkan itu, Nicolas mundur sambil memberi isyarat kepada asistennya untuk mengeluarkan uang yang diinginkan Cien, namun pada saat ini dia melihat penjual itu malah tertawa lebar.

"Apa ada sesuatu yang lucu?"

Cien menggeleng, "Tidak ada. Hanya saja, kalau kalian benar-benar bisa menangkapku sehingga terkurung di kota ini. Aku sangat berharap itu bisa kalian lakukan. Tapi, aku rasa itu tidak mungkin. Seorang Champion pun tidak mungkin bisa menghalangiku keluar dari sini ketika waktunya habis."

Nicolas, dan mereka yang berada di sana kebingungan akan apa yang dibicarakan oleh sang penjual.

"Apa yang Paman bicarakan?"

"Hanya berbicara pada diri sendiri, tak perlu kau pikirkan," Cien lalu melihat asisten dari sang bangsawan telah membawa lima kantong uang. Cien tersenyum melihat itu.

"Keponakan saya bilang harganya lima puluh ribu Tia. Saya harap anda tidak mengambil keuntungan dengan situasi putri saya."

"Hahaha, sepertinya anda mempunyai banyak teman penjual yang kotor. Tenang saja, aku tidak seperti mereka. Aku penjual yang murah hati dan selalu adil. Lima puluh ribu, memang itulah harganya."

Nicolas mengangguk, mengisyaratkan asistennya untuk menyimpan uang di atas meja Cien.

"Mau dihitung dulu?" Tanya Nicolas.

"Nah, terlalu lama dan repot. Kalaupun kurang, itu artinya anda adalah bangsawan yang tidak ada bedanya dengan teman saudagar anda yang kotor. Dan aku akan melarang kreasiku di masa depan untuk dijual ke anda. Simpel, kan?"

"..."

Nicolas tidak tahu harus berkata apa. Asistennya kembali geram. Veronica dan Jeanne membuka mata mereka lebar-lebar, tidak mengerti darimana sang penjual memiliki keberanian berkata demikian kepada seorang Viscount.

Sedangkan dua orang lainnya, Shiwa dan Signa. Sang Champion tidak terlalu memikirkan pertemuan antar kedua kubu. Dia hanya ingin ancaman di langit segera hilang sehingga dia bisa kembali ke markas untuk mempersiapkan perang.

Sedangkan Shiwa, sejak awal dia tiba di depan meja Cien. Matanya tidak bisa lepas dari beberapa barang yang ada di atas meja tersebut.

Shiwa merupakan seorang putri dari seorang Baron yang juga memiliki sebuah perusahaan dagang yang cukup besar di Huntara. Oleh karena itu, matanya telah terlatih dalam melihat kualitas setiap barang yang beredar di dunia.

Namun, untuk pertama kalinya. Mata Shiwa yang telah lama melihat berbagai jenis senjata dan material, untuk kali ini dia tidak bisa menebak kualitasnya. Dia melihat beberapa tombak kayu biasa, namun matanya tidak bisa menebak material yang digunakan.

Selain itu, tombak dengan warna biru tua pucat yang terlihat jelek itu pun, membuatnya ragu akan kemampuannya menebak kualitas barang.

Dilihat dari bentuknya saja, Shiwa kurang yakin kalau tombak itu adalah senjata yang bagus. Namun entah mengapa, hatinya seperti berkata lain. Bahkan jantungnya terus berdetak tak beraturan, memperingatkannya untuk segera membeli barang-barang tersebut.

'Ada sesuatu yang tidak biasa dengan barang-barang ini!'