webnovel

Menyakitkan

"Narendra! Apa kau sudah gila? Lepaskan! Aku adalah ibu tirimu. Tidak seharusnya kau berbuat seperti ini terhadapku!" Nastya meronta, berusaha melepaskan diri dari dekapan pria itu.

"Yang sudah gila itu adalah kau!" sergah Narendra dengan keras. Ia mencengkram wajah kecil wanita itu. "Mengapa kau menikahi ayahku, hah? Apa karena patah hati, belum bisa move-on, dan tidak ada pria yang mau denganmu, jadi kau menikahi ayahku?"

"Apa pria di dunia ini sudah habis, hah?" teriaknya lagi, masih belum puas.

"Lepaskan aku brengsek!" Nastya menepis tangan Narendra, berusaha menghindari cengkraman pria itu.

"Aku tidak akan melepaskanmu sebelum kau berjanji satu hal." Narendra menatapnya dengan marah. "Berjanjilah untuk segera bercerai dari ayahku."

"Aku tidak bisa!" Nasyta masih memberontak. Ia menyingkirkan tangan besar yang mulai menyelinap masuk ke dalam pakiannya.

Ia memang tidak bisa bercerai dari Hindra, karena ... mereka tidak menikah sungguhan. Hanya sebatas menikah di atas kertas putih yang Hindra buat.

"Hah, kau tidak bisa?" Narendra dengan tajam bertanya. "Jika kau tidak bisa, jangan salahkan aku jika sekarang aku yang mewakili Ayah untuk menikmati malam pertama kalian."

"Tidak, jangan lakukan itu, Naren. Aku mohon!" lirih Nastya, ketakutan. Tangannya semakin nakal. "Kita bisa bicara sambil duduk. Jangan seperti ini."

"Ini penawaran terakhir! Jika kau bersedia bercerai dari Ayah, sekarang aku akan melepaskanmu!" ucap Narendra. Tangan nakalnya kini berhenti, namun tangan satunya masih mencengkram rahang wanita itu. Menatapnya penuh permusuhan.

"Ti-tidak bisa! Aku ... aku tidak bisa bercerai dari ayahmu!" jawab Nastya dengan berat. Pasalnya, mereka berdua sudah sepakat untuk berpura-pura menikah. Tidak mungkin dibatalkan begitu saja.

"Baik, jika itu maumu! Jangan salahkan aku ...."

"Ah ... jangan! Aaaa, kau brengsek!"

Malam ini malam yang sangat menyakitkan bagi Nastya. Pria itu benar-benar menghukumnya tanpa ampun.

*

Di pagi hari, cahaya terang masuk melalui celah tirai jendela. Dua orang pria dan wanita masih berbaring tanpa busana di atas tempat tidur yang sangat besar. Samar, terdengar suara mobil berhenti di halaman rumah, membuat wanita itu tersadar dari tidurnya.

Nastya membuka mata perlahan. Ia menatap sekeliling ruangan yang nampak redup dengan perasaan bingung.

Cuplikan adegan semalam masih terekam jelas di ingatannya, bagaimana Narendra melemparnya ke atas tempat tidur dan merobek pakaian pengantinnya hingga menjadi keping-kepingan kecil. Dan pria itu ... sungguh melampiaskan amarahnya dengan sangat kejam.

"Masih ingin tetap tinggal di kamarku?" terdengar suara Narendra memecah keheningan pagi. "Tuh, suamimu sudah pulang!"

"Apa kau ingin ... dia mengetahui perbuatan kita semalam, hah?" ucapnya lagi, penuh godaan. Ia menarik tubuh polos Nastya, membiarkan wanita itu berada di atas tubuhnya. "Bagaimana kalau kita melakukannya lagi sekarang, dan suamimu melihat keintiman kita dengan mata dan kepalanya sendiri!"

"Brengsek!" maki Nastya dengan mengeratkan gigi. Tangannya gatal ingin menampar wajah tampan itu.

"Aku tahu, kau sengaja melakukan hal ini, ingin membuatku malu dan terhina!"

Jika "Tidak", mana mungkin Narendra mewakili ayahnya untuk mengambil malam pertama mereka.

'Sungguh sial!' maki Nastya dalam hati. Niat hati ingin membalas dendam, malah terjerumus ke dalam lubang yang sudah ia gali sendiri.

Narendra hanya menyeringai, menatap wajah penuh amarah itu dengan hati riang.

Nastya segera merangkak, turun dari tempat tidur sambil menarik selimut yang menutupi tubuh polos Narendra. Ia membungkus tubuhnya sendiri dengan selimut, lalu keluar dari dalam kamar.

Bruk!

Wanita itu membanting pintu dengan keras. Bisa terlihat seberapa besar rasa kesalnya dari cara dia menutup pintu.

Narendra berbaring sambil melipat kedua tangan di kepala. Tubuh polosnya terpampang jelas tanpa ada bagian yang tertutup. Rasa marah dan kesalnya pada wanita itu, sudah sirna karena permainan gila mereka tadi malam.

*

Di dalam kamar tidur milik Hindra, Nastya segera melempar selimut berwarna abu itu ke dalam tong sampah yang ada di sana. Setelah beberapa kali menendang tong sampah, ia segera masuk ke kamar mandi dan mengguyur seluruh tubuhnya dengan air.

Rasa pegal di seluruh tubuhnya karena pergulatan mereka semalam, perlahan hilang setelah ia mencoba untuk berendam air hangat di dalam bak mandi.

Ketika Nastya sedang memejamkan mata untuk merilekskan tubuh dan pikiran, terdengar suara ketukan pintu diiringi suara seorang pria.

"Nastya, apa kau masih di dalam?"

Itu adalah suara Hindra!

Nastya segera membuka mata. "Iya, aku belum selesai."

Padahal, dirinya sudah satu jam berada di dalam kamar mandi. Tapi, masih belum selesai juga.

"Baiklah! Aku berangkat ke kantor sekarang, ya!" pamit Hindra dari balik pintu kamar mandi.

"Iya! Pergilah!"

Setelah beberapa saat, Nastya sudah tidak mendengar suara apapun lagi dari balik pintu. Sepertinya, suaminya sudah pergi. Ia merasa lega.

Nastya segera bangkit berdiri, keluar dari dalam bak mandi, lalu memakai jubah mandi berwarna putih yang sudah tersedia di sana. Ia segera keluar dari kamar mandi.

Ketika di dalam kamar, Nastya menatap kiri dan kanan untuk memastikan keberadaan suaminya—Hindra. Setelah yakin pria itu sudah tidak ada ada lagi, barulah Nastya merasa lega.

Di atas tempat tidur, sudah ada satu set pakaian wanita, lengkap dengan pakaian dalamnya juga. Di atas lipatan pakaian, ada kartu bank berwarna hitam, dan sebuah ponsel.

"Bukankah ini punyaku?" gumamnya sambil mengulurkan tangan untuk mengambil ponsel dari atas lipatan pakaian. Ia mulai membuka kunci pada layar, melihat belasan panggilan tak terjawab dan beberapa pesan singkat.

Dari semalam, ponsel ini ada di kamar Narendra. Nastya tidak menyadari, ada belasan panggilan dari Hindra karena sibuk dengan kegiatan mereka semalam. Dan tadi pagi, ketika Nastya keluar dari kamar itu, ia lupa untuk membawanya.

"Sekarang, ponsel ini sudah ada di sini. Apa Narendra yang menyimpannya?"

Takut jika pria itu akan datang lagi ke kamar ini, Nastya segera berlari menuju pintu. Ia mengunci pintu kamar dengan tangan bergetar. Setelah itu, ia bersandar di pintu sambil mengeratkan tangannya pada jubah mandi yang ia kenakan.

Ketika masih nyaman bersandar, tiba-tiba ponsel dalam genggamannya berdering. Suara dering yang cukup nyaring itu membuatnya terkejut.

"Rastya!" gumamnya ketika melihat nama sang kakak ada di layar ponsel. Tanpa membuang waktunya lagi, ia segera menekan tombol hijau.

Terdengar suara panik dari seberang telepon, "Nastya .... Kau di mana? Cepat kemari! Kondisi Ibu memburuk. Sekarang sedang ditangani oleh para dokter!"

"Hah, Ibu? Apa yang terjadi pada Ibu? Bukankah kemarin kondisinya mulai membaik?"

"Kata dokter, ada penggumpalan di otak! Jadi harus segera melakukan operasi," jelas kakaknya, masih dengan panik.

"Apa uang tabungan keluarga kita masih ada?" tata Rastya tiba-tiba. Dari panik, kini mulai berbicara santai. "Jika masih ada, coba transfer ke rekeningku sekarang,aku butuh buat uang muka operasi Ibu."

"Transfer ke rekeningmu? Mengapa harus ke rekeningmu? tanya Nastya, bingung.

'Mengapa tidak langsung saja ke nomor rekening pihak rumah sakit?'

"Aishhh, kau ini, sama kakak sendiri juga tidak percaya. Cepat, transfer dua puluh juta, sekarang!" ucap Rastya, tidak sabar. "Jika tidak ... kau yang harus disalahkan jika sampai terjadi sesuatu pada ibu."

Mendengar ancaman dari kakaknya, Nastya tidak punya pilihan lain. "Baiklah! Sekarang, aku transfer ke rekeningmu!"

"Nah gitu, dong! Dua puluh lima juta, ya. Awas, jangan sampai salah."

"Hah, bukannya tadi kau bilang dua puluh juta saja?" Mengapa sekarang jadi berubah. Nastya tidak mengerti.

"Dua puluh lima juta," eja Rastya dengan sangat lantang. "Aku tunggu sekarang."

Klik!

Sambungan ditutup dari seberang.

Nastya hanya bisa mengeratkan gigi, menahan kekesalan pada kakaknya.

Ini bukan kali pertama Rastya meminta uang dengan alasan biaya ibunya di rumah sakit. Biasanya, setelah dikirim uang oleh Nastya, kakaknya selalu menghilang entah ke mana. Dan biaya pengobatan ibunya ... masih Nastya yang harus membayarnya.

*

Dua jam kemudian, Nastya sudah sampai di rumah sakit. Ia berjalan ke lantai empat—tempat ibunya dirawat. Di luar kamar, ada kakaknya sedang duduk di bangku sambil menunduk, terlihat bahwa dia sangat sedih.

"Rastya, bagaimana kondisi Ibu?" Nastya mempercepat langkah kakinya. menghampiri kakaknya dengan khawatir.

Rastya mendongak, menatap adiknya dengan penuh penyesalan. "Ibu masih kritis. Dokter bilang, karena Ibu belum sadar, jadi, belum bisa dilakukan tindakan operasi."

"Hah .... Lalu, uang yang tadi aku kirim?" Jangan bilang jika Rastya tidak membayar biaya pengobatan ibu.

"Kau tenang saja, nanti, pasti aku bayarkan!" Rastya berdiri, memegang kedua bahu adiknya. "Sekarang, kau yang jaga Ibu. Aku pergi keluar dulu sebentar, ya?"

Tanpa menunggu persetujuan dari adiknya, Rastya segera pergi, meninggalkan Nastya yang masih kebingungan di sana.

Next chapter