Di malam hari, di ruang keluarga, Narendra duduk di sofa bersama Ralin sambil mengerjakan beberapa pekerjaan yang belum selesai. Narendra tidak fokus mengerjakan pekerjaan itu, ia sangat gelisah mengingat malam ini Nastya dan ayahnya pergi berdua ke luar kota untuk menginap.
"Sayang, bagaimana rencanamu selanjutnya? Apa kita akan tetap mengambil proyek ini?" tanya Ralin sambil membuka lembar demi lembar proposal yang ia bawa dari kantor.
"Hemh?" Narendra tersadar dari lamunannya. Ia menoleh, menatap Ralin yang duduk di sampingnya.
"Bagaimana rencanamu selanjutnya? Apa punya ide lain?" tanya Ralin lagi pada Narendra.
"Oh, itu!" Narendra mengulurkan tangan, mengelus rambut Ralin dengan lembut. "Nanti aku pikirkan lagi! Sekarang, sebaiknya kau pulang dulu, aku lelah, mau istirahat."
Narendra bangkit berdiri. Ia bersiap untuk pergi ke kamarnya.
"Tunggu!" tiba-tiba Ralin menarik tangan Narendra, mencegah pria itu pergi. "Bukankah ayah dan ibu tirimu sudah pergi? Sekarang, di rumah ini tinggal kita berdua. Kita bebas melakukan apapun di sini. Iya, kan?" ucap Ralin penuh godaan.
Ia bangkit dari duduknya, berdiri di samping Narendra. "Sayang, sudah lama kita tidak duduk berdua," ucapnya dengan manja.
Ralin memeluk Narendra, bersandar di dada pria itu. "Akhir-akhir ini, kau terus menghindariku. Apa gara-gara Nastya, kau jadi menjaga jarak denganku?"
"Eh!" Narendra terdiam mematung di tempat.
Dirinya memang ingin menjaga jarak dengan wanita ini. Tapi ... jika Narendra tidak dekat dengan wanita manapun, ia khawatir akan menimbulkan isu yang tidak enak jika orang lain melihat kedekatannya dengan Nastya. Untuk saat ini, lebih baik seperti ini dulu. Mempertahankan Ralin, demi menutupi kedekatannya dengan sang ibu tiri.
"Tentu saja tidak!" bela Narendra dengan lembut. Ia balas memeluk Ralin. "Aku sama sekali tidak menjaga jarak. Hanya saja, akhir-akhir ini aku sibuk, dan sedikit lelah. Jadi, tidak ada waktu berduaan denganmu!"
"Benarkah?" Ralin mendongak, menatap Narendra dengan bahagia.
"Hem, tentu saja!" Narendra menunduk, tersenyum manis pada gadis itu.
Tiba-tiba Ralin merangkul leher Narendra dengan kedua tangan, menarik pria itu agar mendekat. Detik berikutnya Ralin mencium bibir yang tersenyum itu.
Narendra cukup terkejut dengan tindakannya. Walau ini bukan yang pertama mereka berciuman, tapi ... sekarang, pria itu sudah berjanji pada Nastya akan menjauhi Ralin. Narendra tidak boleh bermesraan dengan wanita ini lagi.
"Ral ... Ralin, emmmh ...."
Ketika Narendra bermaksud untuk menghindar dan mendorong tubuh Ralin, wanita itu malah mendorong Narendra terlebih dulu, sehingga Narendra mundur ke belakang dan duduk di sofa, diikuti Ralin yang segera duduk di atas pangkuannya.
Ralin duduk di atas pangkuan Narendra dengan membuka kedua kakinya, sehingga rok kerjanya ikut terangkat ke atas, menampakan kaki putih dan halus. Tangannya masih diletakkan di leher Narendra, dan bibirnya masih bermain lincah di dalam mulut pria itu.
"Emmmh, Ral—" Narendra tidak ada celah untuk menghindar. Ia dicium oleh wanita itu dengan penuh privokasi. Bahkan, dengan posisinya seperti ini, membuat Narendra tidak bisa terus menahan.
Ralin menuntun tangan Narendra agar menyentuh kakinya. Membiarkan pria itu meraba pahanya yang sudah terbuka.
"Ayo, Sayang! Lakukan apapun yang kau mau! Aku tidak akan menolak," bisik Ralin di telinga Narendra, membuat tubuh pria itu semakin bergetar.
Setelah berbicara itu, Ralin menciumi leher Narendra, terus membangkitkan keinginan pria itu dengan tindakannya yang berani.
"Aahh, Ralin!" Narendra menggeliat, merasakan seluruh tubuhnya tersengat alur listrik yang sangat kuat.
Ralin semakin bersemangat melihat reaksi pria di depannya. Ia semakin menuntun tangan Narendra agar masuk ke dalam roknya.
Pria mana yang akan menolak jika terjebak di dalam situasi panas seperti ini, Narendra pun terhanyut dan semakin terbuai dalam permainan Ralin. Hingga tanpa sadar, mereka sudah berada di dalam kamar dan di atas tempat tidur.
Keduanya sudah tidak berpakaian, bersiap untuk melanjutkan permainan mereka ke tingkat yang lebih tinggi.
Tapi, ketika Narendra menunduk dan menelusuri leher Ralin dengan mulutnya, yang terbayang di otaknya hanya wajah Nastya. Ketika tangannya menelusuri setiap jengkal tubuh Ralin, yang ia rasakan hanya kemesraannya dengan Nastya, sama sekali tidak terbayang wajah Ralin di otaknya.
"Ahhhh," desah Narendra dengan susah payah. Ia menyingkir dari tubuh Ralin, segera bangkit dan turun dari tempat tidur. Tidak berniat melanjutkan permainan panas mereka.
Ya, walau saat ini juniornya sudah berdiri tegak, namun Narendra berusaha untuk menahannya. Ia mengendalikan diri agar tetap tenang.
"Sebaiknya kau pulang!" ucap Narendra tiba-tiba. Ia memunggungi Ralin, memungut semua pakaian yang berserakan di lantai, lalu memakainya kembali.
"Narendra, ada apa denganmu?" Ralin terkejut dengan sikap Narendra yang tiba-tiba menghentikan aktivitas mereka. Padahal sedikit lagi mereka akan bercinta. Namun ... pria itu malah berhenti di tengah jalan. Ralin cukup kesal dengan hal itu.
Ia pun segera bangkit dan duduk di tempat tidur. Menarik selimut untuk menutupi tubuh polosnya. Ia menatap Narendra dari ujung kaki hingga ujung kepala.
"Apa yang salah dengan tubuhku hingga kau tidak ingin menyentuhku?" tanya Rapin dengan tatapan tajam. "Apakah kau lebih menyukai tubuh Nastya? Apa tubuh Nasya lebih bagus daripada tubuhku, hingga kau tidak ingin menyentuhku, hah?"
"Ralin!" teriak Narendra dengan kesal. Ia kesal karena Rain membawa-bawa nama Nastya.
"Ini tidak ada hubungannya dengan dia!" lanjut Narendra, masih dengan kesal. "Aku berhenti, karena kita memang tidak seharusnya melakukan hal ini. Aku tidak yakin, kita akan selamanya bersama!"
"Lebih baik, kita bercinta dengan orang yang benar-benar kita cintai. Agar kedepannya, kita bisa selamanya bersama. Bukan hanya bercinta sekali lalu berpisah!"
Ya, Narendra memang tidak berniat selamanya bersama Ralin. Sekarang, mereka bersama karena waktu itu Narendra patah hati diputuskan oleh Nastya secara tiba-tiba. Ia melampiaskan rasa kecewanya dengan menjalin hubungan dengan teman baik Nastya, agar wanita itu menyesal.
Jadi sekarang, Narendra tidak ingin tidur dengan Ralin, dan tidak ingin bersama dengan dia selamanya.
"Narendra!" sergah Ralin tidak terima. "Siapa yang bercinta sesaat? Kita bisa selamanya bersama, bukan hari ini saja! Kenapa ragu dengan hal itu?"
Ralin turun dari tempat tidur. Ia berjalan menghampiri Narendra tanpa berpakaian, lalu memeluk pria itu.
"Kita akan selamanya bersama, Sayang! Kau jangan ragu tentang hal itu. Kita bukan bercinta sesaat, tapi bisa setiap hari melakukannya, dan kita akan selalu bersama selamanya," ucap Ralin lagi dengan serius. Ia mencoba meyakinkan Narendra dengan semua ucapan manisnya.
"Sekarang, lepaskan lagi pakaianmu!" Ralin mendongak, menyentuh kancing kemeja Narendra dan bersiap membukanya.
"Tidak!" sergah Narendra sambil menepis tangan wanita itu. "Sebaiknya kau pulang! Ayah dan ibumu pasti mencemaskanmu!"
Setelah berkata seperti itu, Narendra segera menjauh, pergi meninggalkan Ralin tanpa menoleh sedikitpun. Ia berjalan menuju pintu keluar sambil membawa kunci mobil. Menghiraukan setiap teriakan Ralin dari dalam kamar.
Sampai di luar rumah, Narendra segera masuk ke dalam mobil. Ia menyalakan mesin mobil, lalu menginjak pedal gas dengan kuat. Ia mengendarai mobilnya dengan kecepatan tinggi menuju jalan raya yang tidak terlalu padat.
*
Hari sudah semakin larut, udara di tempat wisata itu terasa sangat dingin. Nastya duduk di tanah sambil melihat api unggun yang dibuat oleh Hindra dan teman-temannya.
Mereka tertawa sambil berbincang di depan api unggun. Niat awal ingin menyewa sebuah penginapan untuk mereka menginap, tapi malah menyewa beberapa tenda. Ini sungguh di luar rencana, mamun lebih menyenangkan.
"Apa kau kedinginan?" tanya Hindra yang baru datang menghampiri Nastya. Ia pun segera duduk di sampinya sambil membawa selimut kecil, lalu menyelimuti punggung wanita itu agar tidak kedinginan.
"Eh, terima kasih!" Nastya merasakan punggungnya terasa hangat, ia segera menariknya agar menutupi bagian depan juga.
Ia pun bertanya, "Bagaimana? Apa pekerjaanmu sudah selesai?"
Hindra mengangguk. "Sudah selesai dari tadi! Aku dan Gandi hanya berbincang membahas beberapa hal, termasuk masalah pernikahan kita. Karena, selain kita berdua, yang mengetahui tentang pernikahan kita adalah Gandi."
"Oh!" Nastya mengangguk.
Ia tidak pernah lupa, Gandi adalah pria yang bersama Hindra di restoran ketika dirinya menawarkan diri menjadi istri Hindra. Bahkan, Gandi pulalah yang membantu Hindra membuat surat perjanjian mereka.
"Lalu, apa katanya? Apa dia bisa dipercaya untuk terus merahasiakan ini?" Nastya merasa cemas dengan hal itu. Ia takut, Gandi akan membocorkan rahasia pernikahan mereka dan membuat kekacauan buat Hindra. Nastya tidak ingin itu terjadi.
"Tidak masalah!" Hindra mencoba menenangkan wanita di sampingnya. "Gandi adalah sahabat baikku. Dia tidak mungkin membuka rahasia ini tanpa izin dariku!"
Nastya mengangguk. Ketika ia akan berbicara lagi, terdengar seseorang berkata pada Hindra, "Bukankah itu putramu?"
Pria itu menunjuk seseorang yang berjalan mendekat. Nastya pun melihat arah yang ditunjuk oleh pria itu.
'Narendra??? Untuk apa dia datang kemari?'