Jam sudah menunjukkan pukul 17.00 WIB. Itu tandanya jam kantor sudah selesai. Alhamdulillah.. aku pun sudah 35% menyelesaikan revisi proyekku. In syaa Alloh tidak sampai sepekan, aku akan menyelesaikan seluruh revisi yang dibutuhkan.
Yeeaaay..
Aku menggeliat ringan. Meluruskan tulang-tulang punggungku yang terasa kaku karena seharian bekerja di depan laptop. Kugelengkan leherku ke kanan dan ke kiri. Ada bunyi kreteek..kreeteek.. Ya Alloh.. pegal sekali rasanya.
“Pulang duluan ya Rum. Kamu pulang naik ojol lagi?” Laura menyapaku sambil menjinjing tas laptopnya.
“Oh iya, La. Kayaknya aku akan naik ojol seperti biasa..hehe..”
“Nggak minta dijemput sama suamimu aja, Rum?” Tiara menepuk pundakku dari belakang.
“Yaaah.. masa’ kamu nggak tahu sih!? Tempat kerja suami Rumaisha itu kan beda arah sama kantor kita. Ntar malah muter-muter nggak sampai-sampai deh..hehe” Vindy nyeletuk.
“Oh iya ya.. ya udah yuk, turun bareng, Rum.” Ajak Tiara.
“Iya Rum.. biar barengan turunnya.” Sahut Laura di sisi mejaku.
“Okey sip.. bentar ya, aku cek ponsel dulu ya.”
Saat kubuka ponsel, seketika aku sangat kaget!!! Ada beberapa pesan WA dari bang Rosikh yang semuanya belum kubaca!!! Astagfirullohaladzim!!! Ternyata aku telah mengubah ponselku menjadi silent mode sehingga aku tak sadar kalau ada notifikasi WA.
Kalau sedang bekerja, aku memang harus fokus. Jadi biasanya selain di-silent, ponsel juga kumasukkan ke dalam laci.
“Kenapa Rum?” Tanya Laura yang menyadari perubahan ekspresiku.
“Oohh..ohh..nggak..nggak apa-apa. Kalian duluan aja ya. Ini..aku mau balas WA suamiku dulu.” Aku menjawab tergagap.
“Ooohh..okey kalau begitu. Kami duluan ya..” Tiara, Laura, dan Vindy berjalan beriringan menuju lift.
Setelah teman-temanku pergi, aku langsung cepat-cepat membuka ponsel.
Kubaca WA bang Rosikh satu persatu dari yang terbawah.
“Alhamdulillah kalau kamu sudah sholat. Jangan lupa makan ya..”
Maa syaa Alloh.. sejuk sekali hatiku menbaca pesan itu. Pesan itu dikirimkan pada pukul 13.20, tepat setelah aku selesai sholat Dzuhur.
Kemudian ada pesan lagi di pukul 13.42, berisi,
“Dek..abang sepertinya mau pulang cepat. Agak nggak enak badan. Kamu bisa pulang cepat juga nggak?”
Astagfirulloahadzim.. kepalaku bagai tersambar petir!! Pesan itu sudah terkirim 3 jam yang lalu, dan aku baru membacanya!?
Astagfirullohaladzim.. Astagfirullohaladzim..
Mulutku terus beristighfar..
Masih ada dua WA lagi dari bang Rosikh
WA ketiga dikirim pada pukul 14.27
“Dek..ini abang pulang ya.. kamu ati-ati kalau pulang”
Ya Alloh.. Ya Robb..
Dan WA terakhir langsung aku baca. Terkirim pada pukul 15.15
“Dek..ini abang udah sampai rumah. Kamu nggak usah khawatir. Jangan lupa sholat ya.”
Astagfirullohaladzim.. kenapa.. kenapa.. kenapa aku tak mengecek ponselku dari tadi, Ya Robb!? Biasanya aku membuka ponsel pada waktu selesai sholat. Tapi pada saat selesai sholat Ashar tadi, aku lupa sama sekali dengan ponselku. Setelah makan-makan pesta ulang tahun, aku langsung sholat Ashar dan kemudian bergegas menghadap laptop. Berusaha menyelesaikan deadline secepat mungkin.
Tak terasa air mataku menggenang di pelupuk mata. Tak dapat kutahan lagi. Langsung ketelepon bang Rosikh hanya untuk sekedar menanyakan keadaannya. Keadaan suamiku tercinta..
Ternyata tak diangkat..
Berusaha kutelepon sampai tiga kali, tetap tak ada respon.
Aku tak bisa tinggal diam. Langsung kupesan ojek online. Bergegas kubereskan barang-barangku di meja termasuk kado dari kawan-kawanku. Pikiranku sama sekali tak bisa berjalan normal. Aku hanya berfokus pada bang Rosikh. Setelah itu aku lupa sama sekali dengan apa yang aku kerjakan. Tujuanku saat itu cuma satu, yaitu bagaimana caranya aku sampai di rumah secepat mungkin!
…….…………
Aku sampai di rumah sudah hampir jam 18.00 sore. Sebentar lagi adzan Maghrib berkumandang. Ya Alloh.. bagaimana ini? Bagaimana kondisi bang Rosikh? Dengan secepat mungkin aku langsung menghambur ke dalam rumah. Mencari-cari keberadaan suamiku,
“Bang.. bang Rosikh..” kataku setelah masuk ke ruang tengah. Pikiranku sangat kacau! Ingin segera kumelihat sosok suamiku.
Tidak ada jawaban. Sosok suamiku tak terlihat di ruang tengah. Langsung saja aku masuk ke kamar utama. Rumah kontrakan kami memang hanya terdiri dari dua kamar saja. Walaupun mungil, namun sangat nyaman untuk istana tinggal kami berdua.
Di ruang utama, langsung kudapati bang Rosikh berbaring di ranjang. Berselimut hingga ke batas leher. Di meja sebelah ranjang, ada segelas teh hangat.
Astagfirullohaladzim!!! Langsung kulemparkan barang-barangku. Tak kupedulikan lagi kemana mereka berterbangan. Secepat kilat kudatangi suamiku yang tampak sangat lelah dan pucat. Matanya terpejam. Pantas saja dari tadi kuhubungi ponselnya, tidak ada respon sama sekali. Aku benar-benar panik! Bagaimana ini??? Kusentuhkan punggung tanganku ke dahinya. Panas. Tak terasa air matakupun mulai kembali menggenang di pelupuk.
“Bang..” kataku lirih. Namun langsung kutahan kata-kataku karena aku tak ingin membangunkannya.
Aku duduk di samping ranjang. Air mataku sudah berlinang tak tertahan di pipi. Bagaimana bisa aku begini teledor. Begini ceroboh. Begini lalai. Tak pernah aku merasa se-gagal ini sebagai seorang istri. Tak pernah aku merasa se-takberguna ini sebagai seorang perempuan. Aku tahu bahwa kekuranganku sangatlah banyak, namun aku benar-benar tak menyadari kalau ternyata aku sepayah ini!! Kututup wajahku agar suara tangisku tak membangunkan bang Rosikh. Aku menangis terisak-isak bagaikan anak kecil kehilangan permen. Hatiku sangat nelangsa.
“Dek.. sudah pulang?” Tiba-tiba terdengar suara lembut bang Rosikh.
Aku langsung menoleh, “Bang.. Astagfirulloahladzim..” suaraku tercekat menatap bang Rosikh. Melihatku pulang, bang Rosikh langsung bangkit dari tidurnya.
“Bang.. nggak usah bangun. Abang mau Rum bikinin apa?”
“Nggak apa-apa dek, ini cuma flu biasa. Jangan terlalu khawatir.”
Aku hanya bisa bergeming dalam diam. Seluruh rasa bercampur aduk dalam dadaku. Hatiku bergemuruh tak karuan. Sosoku nampak sangat memalukan di hadapan suamiku. Aku bagai kehilangan muka. Berkali-kali aku gagal! Dan kali ini adalah kegagalanku yang ter-parah. Aku bingung harus bicara apa pada suamiku.
“Bang.. maafkan Rum ya..” langsung kuhamburkan diriku ke dalam pelukan bang Rosikh. Tak ada satupun kata yang sanggup terucap dari bibirku. Hanya air matalah yang mampu menggambarkan bagimana pedihnya hatiku saat itu. Penyesalanku sangat dalam. Aku benar-benar mencintai suamiku. Kalau bisa, biarlah aku saja yang sakit menggantikannya.
“Iya dek.. sudah jangan sedih. Maaf ya kalau sudah buat kamu khawatir..”
“Maaf.. maaf bang.. maaf.. maaf..” cuma kata-kata ‘maaf’ yang sanggup meluncur dari bibir mungilku. Aku masih menangis dalam pelukan bang Rosikh. Istri macam apa sih aku ini? Istri macam apa!? Aku merutuki diriku sendiri tiada habisnya.
“Iya dek.. nggak apa-apa.. Abang maklum kok.” Bang Rosikh menenangkanku sambil membelai lembut punggungku.
Selama beberapa saat, aku hanya bisa menangis sesenggukan di dada bang Rosikh yang bidang. Dan dengan sabar, suamiku itu terus membelai punggungku. Kurasakan kehangatan dan kenyamanan yang luar biasa menjalar dalam relung batinku. Makin lama, makin kudekap erat tubuhnya. Kelembutan serta kesabaran bang Rosikh sungguh telah meleburkan seribu galauku.
Setelah beberapa saat, akhirnya bang Rosikh membuka suara, “Dek, ada makanankah yang bisa kita makan?”
Aku langsung menangkat muka, memandang wajah tampan bang Rosikh yang pucat, “Maaf Bang.. tadi Rum buru-buru pulang, jadi nggak sempat beli apa-apa.” Sekali lagi, aku merasa gagal.
“Ooohh.. ya sudah, tidak apa-apa. Kita pesan via ojol saja ya..”
Aku semakin tak bisa berkata apa-apa lagi. Di sela-sela isak tangisku, aku mencoba menjelaskan,“Bang.. maaf.. tadi Rum telat baca WA dari abang. Rum sangat lalai. Karena keasyikan.. keasyikan.. kerja.. jadi..”
“Sudah.. sudah, dek.. tidak apa-apa, yang berlalu biarkanlah berlalu.” Jawab bang Rosikh sambil menempelkan telunjuknya di bibirku, menandakan aku disuruh diam.
“Sekarang kita pesan makanan dulu ya. Abang sudah lapar. Kamu juga sudah lapar kan?”
Benar-benar.. suamiku ini seorang laki-laki yang sangat lembut hati. Tidak ada sedikitpun raut wajah kesal atau marah yang ditunjukkannya kepadaku. Aku, sebagai perempuan, bahkan merasa tidak pantas untuk mendampinginya.
“Iya, Bang.. segera Rum pesan makanan buat kita. Sebentar ya, Rum ambil ponsel dulu” Aku segera mencari-cari tasku yang tadi kulemparkan entah kemana.
Kutelisik satu persatu barang-barang bawaanku yang semburat di pojok ruangan. Namun, alih-alih tas kerja, aku malah menemukan bungkusan-bungkusan kado ulang tahun dari kawan-kawanku.
Pandangan Bang Rosikh langsung tertuju pada kado-kado tersebut, “Apa itu, Dek? Kado dari siapa?”
Aku gelagapan, “Eehh..ini Bang.. kado dari kawan-kawan tadi. Hari ini kan Rum ulang tahun. Jadi teman-teman tadi di kantor mengadakan pesta kejutan buat Rum.. ini kado-kadonya.”
Bang Rosikh sedikit mengernyit, “Pesta kejutan ulang tahun? Maksudnya bagaimana, Dek?”
“Yaa..itu bang.. pesta ulang tahun seperti biasa. Yang orang-orang bilang ‘surprise’, lalu ada banyak balon. Tiup terompet. Tiup lilin.. yang seperti biasanya itu..” aku menjawab ala kadarnya.
“Astagfirullohaladzim..” bang Rosikh langsung memijit-mijit tulang pangkal hidung di antara kedua matanya.
“Kenapa bang? Abang pusing? Mana yang sakit? Rum ambilkan obat ya!” Aku bergegas ingin ke dapur.
Tapi tiba-tiba bang Rosikh memegang lenganku, “Dek.. kepala abang tidak sakit. Tapi inilah yang sakit!” Bang Rosikh menunjuk ke dadanya.
“Kenapa, Bang? Dada Abang sakit jugakah? Astagfirullohaladzim.. jangan-jangan gejala serangan jantung juga. Aduh bagaimana ini!? Rum panggilkan dokter ya..”
“Rumaisha! Dengarkan Abang!” Bang Rosikh berkata dengan agak tinggi. Dipanggil namaku dengan nada yang sedikit tegas. Mata elangnya langsung menatapku tajam. Nampak keseriusan dalam raut wajahnya.
Aku terkesiap. Jarang sekali bang Rosikh memanggil namaku. Biasanya dia memanggilku dengan sebutan “Dek”. Jadi apabila ia memanggil nama panggilanku, berarti ada sebuah hal serius yang ingin ia bicarakan.
“Aa..aa..ada apa, Bang?”
“Rumaisha.. kamu adalah seorang Muslimah! Tak taukah engkau bahwa dalam Islam tak ada perayaan pesta ulang tahun!? Apalagi dengan meniup terompet dan lilin ulang tahun! Itu adalah kebiasaan orang-orang Yahudi dan Majusi! Apakah dengan akidah yang sangat sepele ini, engkau tidak tahu!? Walaupun nampak remeh, tapi perbuatanmu itu sudah bersangkutan dengan Tauhid dan aqidah Muslim yang sangat konseptual! Apakah kau benar-benar tidak tahu tentang hal ini!?”
Aku tercekat. Selama dua bulan aku menikah, belum pernah aku melihat Bang Rosikh semarah ini.
“Bang..” air mataku kembali berderai. Kado-kado yang kupegang berjatuhan di lantai. Dalam beberapa detik, otakku menjadi beku. Tak mampu berpikir apapun. Aku benar-benar shock. Tak tahu lagi aku harus berkata apa. Dalam sekejap mata, akupun langsung berlari keluar kamar. Masuk ke dalam kamar mandi dan kemudian mengunci pintunya dari dalam.
Di sana aku menumpahkan semua tangisku. Pecah segala kerisauan hatiku. Aku benar-benar gagal. Gagal.. gagal.. tak pernah aku merasa sehancur ini. Mulai dari terlambat membuat kopi, terlambat membaca WA, sampai klimaksnya, aku membuat kesalahan yang sangat fatal! Kesalahan yang sebenarnya sangat sulit ditolerir oleh Bang Rosikh. Kesalahan yang sudah menyangkut pemahaman agama. Kesalahan yang benar-benar murni disebabkan karena ke-jahilian-ku atau kebodohanku sebagai seorang Muslimah. Aku mengaku sebagai Muslimah, mengaku telah ber-hijrah, namun dengan konsep Tauhid seperti itu saja aku tidak paham.
Aku menangis.. menangis..dan menangis terus hingga dadaku sesak, suaraku habis, dan badanku lunglai. Karena sudah hilang akal, aku langsung mengguyur seluruh tubuhku yang masih berpakaian lengkap dengan air.
Byuurrrrrrr.. seiring dengan dinginnya air yang membasahi tubuhku, ragaku sedikit merasakan kesejukan.
Tiba-tiba terdengar gedoran dari pintu kamar mandi, “Dek.. dek.. kamu kenapa? Abang minta maaf, dek. Bukan maksud Abang marah seperti itu. Abang benar-benar tidak bermaksud memarahimu. Tolong keluar, dek.. kamu nggak apa-apa kan di dalam? Kamu ngapain!?”
Suara Bang Rosikh nampak panik.
Aku masih menangis. Tidak dapat berkata apa-apa lagi. Sekalai lagi aku mengguyur badanku dengan air. Aku butuh kesejukan. Jiwa dan ragaku, terutama hatiku, butuh pendinginan.
Byuuuurrrrrr..
“Rumaisha.. Rumaisha!!! Kamu kenapa? Kamu mandi?? Kamu ngapain sih!? Suara Bang Rosikh nampak makin panik.
Gedoran pintu berubah menjadi hentakan keras. Bang Rosikh nampaknya hendak mendobrak pintu kamar mandi.
Aku langsung berteriak, “TINGGALKAN AKU SENDIRI BANG!! AKU INI TIDAK BERGUNA!! AKU INI ISTRI YANG GAGAL!! ISTRI YANG BODOH!! SAMA SEKALI TIDAK TAHU APA-APA!!”
“ASTAGFIRULLOHALADZIM.. Rumaisha!! Kamu bilang apa!? Cepat ayo keluar!! Kita bicarakan baik-baik. Bukan begini caranya!! Kalau abang ada salah, abang minta maaf!! Tapi bukan begini caranya, sayang!! Ayo cepat Rum.. keluar!! Abang mohon!”
Hentakan demi hentakan sudah menggoyahkan pintu. Sedikit lagi pintu kamar mandi itu akan roboh. Aku benar- benar kehilangan akal. Sekali lagi, aku hendak mengguyur tubuhku yang sudah mulai menggigil kedinginan dengan air. Tepat sebelum aku akan mengguyur tubuh, pintu kamar mandi sudah jebol didobrak oleh Bang Rosikh. Langsung saja ia menghamburkan dirinya untuk memelukku.
“Rumaisha.. Rumaisha.. maafkan Abang.. maaf..” bang Rosikh memelukku dengan sangat erat. Erat sekali hingga gayung yang kupegang terlepas dari tanganku.
Tangisku kembali pecah. Terisak.. namun pelukan bang Rosikh ternyata sangat menyejukkan. Jauuuhhh lebih menyejukkan ketimbang air-air yang sudah kuguyurkan ke tubuhku tadi.
“Dek.. ayo keluar. Ganti bajumu. Jangan sampai nanti yang sakit jadi dua orang.” Suara bang Rosikh kembali lembut. Namun pelukannya masih belum terlepas dari tubuhku. Kini tubuhnya juga mulai basah terkena basahnya bajuku.
“Bang..” suaraku habis karena terlalu banyak menangis.
“Sudah.. sudah sayang.. ayo kita segera keluar. Kamar mandi bukanlah tempat yang bagus untuk bicara. Jangan terlalu banyak berkata-kata apabila sedang ada di kamar mandi.”
Akhirnya aku pun mengangguk.
……………………
Aku dan bang Rosikh pun mengganti baju kami yang basah. Kulihat wajah bang Rosikh yang kuyu. Perasaan bersalahku makin menbuncah. Setelah kondisi kami telah kering sempurna, bang Rosikh mengajakku duduk ditepi ranjang. Bang Rosikh menawariku teh panasnya yang mulai mendingin,
“Minum dulu dek. Biar lega..”
Aku menggeleng. Lalu bang Rosikh duduk di sampingku. Merangkul pundakku. Kepalaku hanya menunduk lesu.
“Dek.. Abang minta maaf. Bukan maksud Abang untuk memarahimu. Tadi Abang benar-benar di luar kendali. Seperti yang kamu tahu sendiri kan, bahwa Abang sejak kecil sudah nyantri di pondok pesantren. Abang tidak pernah merayakan ulang tahun karena memang dalam Islam tidak ada perayaan ulang tahun. Rasulullah Shallallahuallaihi wassalam saja tidak pernah merayakan ulang tahun, apalagi dengan dihiasi perayaan-perayaan yang merupakan tradisi kaum Yahudi maupun Majusi. Apakah kamu tidak tahu bahwa meniup terompet adalah kebiasaan orang Yahudi dan meniup lilin adalah bentuk persembahan dari kaum Majusi?”
“Tidak, Bang.. belum.. sama sekali belum tahu..” kataku lirih.
Langsung dipeluknya diriku oleh Bang Rosikh. Pelukan yang sangat hangat. Begitu hangat. Apalagi ditambah dengan suhu badan bang Rosikh yang memang sedang demam. Semakin hangatlah pelukan itu.
“Kalau begitu, sekarang kamu sudah tahu kan, Dek? Jangan diulangi lagi ya. Kamu kan sudah ber-hijrah. Harus dibarengi dengan menuntut ilmu agama agar tidak mengulangi lagi pelanggaran syariat. Contoh mudahnya ya tadi. Tradisi perayaan ulang tahun. Mungkin bagi masyarakat awam sekarang, merayakan ulang tahun adalah hal yang sangat wajar dan lumrah. Apalagi dengan menggunakan topi ultah, terompet, dan kue dengan hiasan lilin. Padahal semua aktivitas itu mengandung makna ke-syirikan. Kamu sudah tahu kan bahwa syirik atau menyekutukan Alloh adalah dosa yang palingggg besar dan tidak akan diampuni kecuali dengan taubat nasuha? Lalu ada hadist Rasulullah yang mengatakan bahwa kita sebagai umat Muslim dilarang untuk meniru-niru perbuatan umat atau kaum lain, karena barangsiapa yang meniru-niru atau tasyabuh perbuatan suatu kaum maka mereka adalah termasuk dalam kaum tersebut.”
Aku mengangguk kecil.
“Alhamdulillah kalau kamu sudah tahu, Dek. Tapi kalau kita pikir-pikir lagi secara logika, umur kita setiap tahun itu kan semakin berkurang, bukan bertambah. Artinya semakin dekat kita dengan kematian. Harusnya perbanyak muhasabah atau introspeksi diri kan? Bukannya malah dirayakan dengan cara yang aneh-aneh. Kamu setuju kan, Dek?” Tanya bang Rosikh.
“Iya bang.. Rum sependapat dengan Abang..”
“Ya sudah kalau kamu sudah paham, Dek. Alhamdulillah, Abang bersyukur. Nah, sekarang kita makan yuk. Abang sudah lapar sekali.” Jawab bang Rosikh sambil mencium ubun-ubunku.
Langsung nyeeeessssss. Segala gundah gulana ku yang tadi meledak tak beraturan sekjap sirna dengan kecupan ringan itu.
“Yuk bang.. Rum pesenin dulu ya lewat ojol.” Kataku mulai bersemangat.
Akhirnya aku mulai mencari-cari ponselku yang entah berada dimana. Lagi-lagi, bukan ponsel yang kudapat, melainkan kado-kado dari kawanku.
“Dek, nanti setelah kita makan, kita buka kadi-kado dari teman-temanmu itu ya. Kok kayaknya lucu-lucu..hehe” kata bang Rosikh.
“Iya bang..”
Akhirnya aku menemukan ponselku dan segera memesan makanan dari rumah makan terdekat. Tak berapa lama, makanan kami datang dan kami berduapun makan dengan nikmat disertai dengan senda gurau ringan. Setelah makan, bang Rosikh berkata,
“Dek..yuk buka kado-kado tadi. Abang jadi penasaran..”
“Tapi Abang sedang sakit kan? Apa tidak sebaiknya Abang istirahat saja..” kataku khawatir. Aku menempelkan punggung tanganku di kening bang Rosikh. Masih terasa panas.
“Tidak apa-apa, Dek. Ini hanya masuk angin ringan. Dibuat tidur sebentar, In syaa Alloh juga sembuh. Abang sudah biasa hidup di pesantren. Masuk angin-masuk angin seperti ini sih kecilll.. Malah Abang lebih khawatir kalau kamu yang masuk angin..hehe.”
“Aaah..abang bisa aja”. Jawabku tersipu.
Akhirnya aku mengambil kado-kado yang ditumpuk di pojok ruangan. Aku mulai membuka dari yang paling mencolok. Kado yang dibungkus dengan kertas warna pink dan dihiasi glitter serta pita warna warni. Aku ingat bahwa kado ini dari kawan-kawan kantorku, Vindy, Laura, Tiara, dan lainnya.
Setelah kubuka bersama dengan bang Rosikh, kami pun langsung tersentak kaget,
“Astagfirullohaladzim.. Maa syaa Alloh..” kata kami hampir bersamaan.
Ternyataaa.. isinya adalah satu set pakaian tidur wanita tak berlengan, berenda, dan berwarna pink cerah; satu set pakaian dalam wanita lengkap dengan lingerie-nya; serta satu set kimono mandi pria dan wanita. Lalu ada pula sebuah botol kaca kecil yang dilapisi dengan bubble wrap. Aku segera membukanya. Daaan, isinya adalah sebotol madu dengan label ‘Madu Kesuburan, Agar Anda dan Pasangan Cepat Memiliki Momongan’.
Subhanallah…
Kami berdua langsung tersipu melihat isi kado usil dari kawan-kawanku itu.
“Dasaaaar Vindyyy..” aku bergumam pelan.
“Lho..kado ini dari Vindy dek?”
“Bukan Bang.. ini hasil patungan dari teman-teman kantorku. Tapi aku tahu, pasti yang punya ide ini adalah Vindy. Siapa lagi yang paling usil di antara kawan-kawanku kalau bukan dia..”
“Lhooo.. masa’ ini dibilang kado usil sih??”
“Maksud Abang?”
“Kado ini malah bagus lhooo.. Abang jadi nggak sabar lihat kamu pakai ini semua..hehehe” kata bang Rosikh menggoda.
“Aaaahh.. Abaaangg ihhh..” cubitku mesra di pinggang bang Rosikh.
“Adduhh.. cubitanmu sakit lho, Dek.”
Kami pun tertawa bersama. Bahagiaaaa sekali rasanya. Setelah melewati rentetan drama, akhirnya kami bisa bersenda gurau lagi seperti ini. Tak tergambarkan, betapa bahagianya hatiku saat itu.
“Sekarang coba buka kado yang berukuran sedang itu, Dek.” Kata bang Rosikh.
Akupun mulai beranjak pada kado kedua. Aku ingat bahwa kado itu dari mbak Ika.
Setelah kubuka, langsung aku terkesima dengan isinya, “ Maa syaa Alloh..” aku berdecak kagum.
Isinya adalah satu set alat gambar lengkap dengan cat air kualitas super serta kuasnya. Maa syaa Alloh.. Mbak Ika tahu betul bahwa aku hobi menggambar. Dan ini adalah hadiah yang sangat sangat istimewa.
“Maa syaa Alloh..bagus ya dek.. kamu pasti bisa menggambar lebih bagus kalau pakai ini.” Kata Bang Rosikh.
“Iya, Bang.. Mbak Ika tahu betul apa yang aku suka.”
Lalu aku pun beranjak pada kado terakhir. Aku juga ingat bahwa kado itu dari mas Aditya. Kadonya adalah yang paling kecil dari ketiga kado yang ada. Dengan cepat kubuka bungkusnya. Daaann isinyaa adalah..
Aku benar-benar terksesima. Sangat terkesima..
“Maa syaa Alloh.. Allahuakbar” kataku lirih ketika melihat isi kado itu.
Isinya adalah jam tangan wanita Alexander Christie yang terkenal mahal. Berwarna kuning emas yang dihiasi dengan kemilau kristal-kristal kecil di sisi-sisinya.
“Ini kado dari siapa, Dek?”
“Anu.. Anu, Bang.. darii..darii atasan Rum di kantor.” Jawabku gelagapan.
“Laki-laki?” Tanya bang Rosikh singkat.
“Eehhh.. iya.. eehh, bukan.. bukan.. eehmm.” Aku menjawab gagap. Keringat dinginku mulai mengucur.
Tiba-tiba tangan bang Rosikh yang tegap mengambil jam tangan itu dariku. Ditutupnya kembali kotaknya. Lalu ia berkata, “Aku tahu, ini pasti dari laki-laki. Biar Abang yang simpan.” Suamiku berkata dengan nada yang dingin dan datar. Aku tahu bahwa dia kecewa sekali. Kemudian kotak jam itu ditaruhnya di atas lemari. Aku hanya bisa terdiam melihatnya. Kepalaku menunduk dalam.
“Bang.. bang.. tidak ada siapapun di hati Rum kecuali Abang..” aku berkata lirih. Kutatap mata elang bang Rosikh lekat-lekat. Bang Rosikh membalas tatapanku penuh makna. Tatapan yang sangat dalam. Selama beberapa detik, kami hanya saling pandang. Lalu tiba-tiba, bang Rosikh memelukku. Erat sekali..
“Dek.. di hati Abang juga ada Rumaisha seorang. Jadi.. wajar kan kalau Abang cemburu?”
Maaak nyesssssssss…. Sekali lagi hatiku bagaikan disiram air yang sangaaaat sejuk. Sesejuk embun pagi yang menetes dari pucuk dedaunan. Suamiku yang satu ini memang pandai sekali untuk mengaduk-aduk emosiku. Di suatu masa aku bisa merasa sebagai seorang istri yang gagal, lalu di masa yang lain terkadang aku menjadi ketakutan, tapi di akhir cerita ia selalu sukses membuatku bahagia setengah mati. Akupun membalas erat pelukan bang Rosikh. Kupejamkan mataku untuk semakin menikmati dekapannya. Nyaman sekali.
“Abang tidak tahu siapa yang memberi jam tangan itu, dan juga tidak mau tahu. Yang Abang ingin tahu hanyalah bagaimana kita bisa membina rumah tangga ini hingga menjadi rumah tangga yang sakinah, mawaddah, dan warohmah, Dek.” Kata suamiku setengah berbisik. Ia mengatakan kalimat itu dengan begitu lembut di dekat telingaku.
Air mata haruku mulai mengambang di pelupuk mata.
“Iya, Bang.. Rum juga ingin seperti itu.” Jawabku sambil tetap mendekap tubuh tegap bang Rosikh.