“Airin, Kamu?!” teriak bu Marni.
Semua yang berada di ruangan terkejut, Andika yang hendak membuka pintu berbalik, diam terpaku menatap adiknya yang sedang berjalan ke arahnya.
“Ba— gai— ma— na, bagaimana kamu bisa jalan, Dek?!” tanya Andika terbata.
Tangannya meraih tangan Airin yang sudah berada tepat di hadapannya.
Airin tak menggubris Andika, dia terus berjalan, membuka pintu, lalu tersenyum.
“Sudah lama menunggu, Kek?” tanyanya.
Dia bergeser ke samping lalu kembali berkata. “Silahkan masuk, bisa sebentar lagi. Suami saya belum datang.”
Airin berbicara sambil berjalan, sperti dia lagi bercakap-cakap dengan seseorang.
Sayangnya, baik Andika, Mira, bu Marni dan Intan tak bisa melihat sosok tersebut.
Intan menggeleng, tak mau larut dengan hal yang menurutnya tak masuk akal.
Di dekatinya Airin. “Rin, kamu masih sakit. Sebaiknya kamu di tempat tidur saja dulu, sambil tunggu Danu,” ucap Intan.
“Igh, Intan tidak sopan, ada tamu masa saya di suruh istirahat. Memangnya kamu mau temani tamu kita?” tanya Airin.
Matanya mendelik tidak suka kepada Intan.
“Kek, maafin temen saya. Dia tidak kenal sama kakek,” ucap Airin. Tangannya dia letakkan di atas dada, seolah sedang meminta maaf.
Andika yang menyadari hal itu segera maju dan memegang pundak Airin.
“Kek, minta maaf. Adik saya lagi sakit jadi butuh istirahat, kalau kakek mau bicara sama Airin, biar bicaranya sambil adek saya tidur.” Andika memberi usul.
Tangannya, mendorong paksa Airin untuk melangkah ke dalam kembali ke tempat tidurnya.
Airin tak menolak, dia bahkan seperti sedang serius mendengarkan.
Airin di dudukkan di teri tempat tidur, lalu di baringkan.
Pelan Andika mengelus lembut kepala adiknya itu.
“Maaf, Kek! Silahkan menunggu. Sebentar lagi suami saya pulang,” ucap Airin.
Setelah mengatakan kalimat tersebut, Airin memejamkan mata. Tak lama, dengkuran halus terdengar dari arah Airin.
“Bu, kak Airin kenapa?” tanya Mira kepada ibunya, tadi dia hanya bisa terpaku menatap kakak iparnya.
“Nggak apa-apa, dia cuma berhalusinasi. Efek obat barangkali,” Intan menenangkan semua yang ada di situ.
“Tapi, liat sendiri kan! Kak Airin tadi bisa jalan,” seru Mira dengan antusias.
“Iya, bisa saja setelah koma syarafnya bisa pulih kembali,” seru Andika.
“Setahu saya tidak mungkin, tapi apa sih yang tidak bisa,” jelas Intan.
Bu Marni yang sedari tadi hanya terdiam, ikut berkata. “Sebaiknya, besok ajak Airin periksa lagi, sekalian konsultasi sama dokter syaraf.”
“Iya, Bu!” ucap Andika.
Bu Marni dan Mira, pamit untuk istirahat di kamar mereka masing-masing.
Sedangkan, Andika dan Intan masih memilih untuk menemani Airin.
*****
“Mir, telpon kakak kamu, kok jam segini belum pulang,” suruh bu Marni kepada Mira.
“Males, Bu. Entar juga pulang,” tolak Mira.
Dia masih sakit hati, kakaknya lebih membela Maya daripada dirinya.
“Nggak boleh begitu, jangan sampai kakakmu kena musibah,” tegur bu Marni.
“Biarin,” jawab Mira. Dia lalu berjalan meninggalkan ibunya yang menggeleng-geleng.
Mira malas menghubungi kakaknya. “Paling juga dia lagi di rumah pelakor itu,” batinnya.
Karena Mira tak ingin menelpon, terpaksa bu Marni yang menghubungi nomor anaknya, telponnya tersambing tapi tak di angkat.
Sudah sampai panggilan ke sepuluh tak juga di angkat.
“Bu, makan dulu.” Intan menghampiri bu Marni dan mengajaknya makan malam.
Tak terasa sudah jam delapan malam, dari tadi sudah beberapa kali Airin mengigau, memanggil nama suaminya.
Sehingga Andika dan Intan bergantian untuk menjaganya.
Belum lagi mereka merasa was-was soal apa yang Airin katakan tentang sosok kakek yang sudah sejak tadi ingin mengajaknya pulang.
Bu Marni, mengangguk dan melangkah bersama Intan ke meja makan.
“Mana yang lain?” tanya bu Marni.
Mira katanya mau makaan bakso, dia sudah pesan online. Andika belum lapar,” jawab Intan.
Setelah itu, bu Marni tak lagi bertanya. Mereka sibuk dengan makanan masing-masing.
Tiba-tiba Intan teringat sesuatu dan bertanya. “Bu, katanya kalau orang sakit terus di datangi sesuatu yang tak kasat mata, artinya orang tersebut sebentar lagi akan meninggal. Betul nggak?”
Sendok yang di pegang bu Marni terjatuh, dia menatap Intan.
“Hush... jangan asal bicara, perkataan itu doa loh!” tegus bu Marni.
“Tapi bener kan Bu?” Intan meminta penjelasan.
“Sudah, makan saja,” ucap bu Marni dingin.
Bukannya dia tak tau mitos tersebut, tapi dia membuang jauh-jauh fikiran negatif itu.
Mereka akhirnya makan dalam diam, tak ada lagi percakapan.
“Tan, Intan! Tolong,” teriak Andika.
Intan segera bangkit, dia meninggalkan piringnya yang masih berisi banyak makanan. Dia berlari ke kamar Airin, tempat datangnya suara.
Bu Marni ikut pulang berlari ke kamar Airin, mereka sama-sama terkejut, ketika melihat Andika telah memegang badan Airin yang tengah kejang-kejang.
“Tan! Bu! Tolong pegang Airin, saya mau siapkan mobil, kita bawa dia ke rumah sakit,” pinta Andika.
Intan sigap memegang Airin, begitu pun dengan bu Marni, dia berdiri di sisi lain Airin.
Terdengar suara. “Grok... grok.” Dari mulut Airin.
“Nak, istighfar.” Bu Marni menuntun Airin.
“Dik, sebaiknya jangan tinggalkan Airin,” cegah Intan.
Andika terdiam, dia yang berusaha melepaskan pegangan adiknya itu, kembali memegang erat tangan adiknya.
Air matanya mulai menetes.
Bu Marni meninggal mereka, dia berlari ke kamar Mira.
“Mir, telpon kakakmu, suruh pulang sekarang!” titah bu Marni.
Mira yang mendengar suara ibunya, bangun dari tidur, meraih hale dan menghubungi nomor Danu.
Sudah berkali-kali, dia hubungi tapi tetap tak di angkat.
“Bu, tak di angkat,” jawab Mira.
“Ayo, kita ke rumah wanita ibl*s itu.” Ajak bu Marni.
Mira mengangguk, lalu bergegas mereka keluar dari kamar.
“Intan, Dika, Ibu cari Danu dulu, kalian jagain Airin dulu,” teriak bu Marni dari depan kamar Airin.
Tak menunggu jawaban, bu Marni lekas berlari menyusul Mira yang sejak tadi sudah menunggu di atas motor.
Sepanjang jalan, tak putus-putusnya bu Marni berdoa untuk keselamatan menantunya.
Mira mengemudikan motor dengan kecepatan tinggi, sampai mereka hampir saja menabrak sebuah mobil yang melintas karena mereka melanggar lampu merah.
Hampir tiga puluh menit, akhirnya mereka sampai di rumah Maya, terlihat rumah itu gelap gulita, pagar rumah tampak roboh, kaca jendela terlihat pecah.
Bu Marni dan Maya saling bertatapan, untung saja tetangga rumah Maya keluar rumah.
“Permisi, Bu. Maaf, yang punya rumah kemana yah?” Mira bertanya.
Ibu tersebut menatap Mira, dia meneliti penampilannua dari mulai ujung kepala sampai ujung kaki, lalu beralih menatao bu Marni.
“Kamu, apanya si tukang zi*a?” tanya perempuan gemuk tersebut.
Mira ternganga, mendengar pertanyaan itu.
“Sa— ya, temannya,” jawab Mira.
“Ogh, sesama tukang Zi*a!” serunya lagi.
“Maaf, Bu! Saya tanya baik-baik, kok Ibu malah ngatain saya? Mau saya laporin polisi!” ancam Mira.
Ibu tersebut membuang muka, tapi terlihat dia sedikit gugup.
“Tukang Zi*a di bawa ke kantor polisi tadi siang, ketahuan lagi berduaan sama laki-laki,” jawab ibu tersebut.
“Apa?”