webnovel

Jalaluddin Rumi: Puncak Gunung Paling Tinggi Puisi Sufi

Dia penyair sufi terbesar Persia. Dia salah seorang penyair terkemuka dunia. Dikenal dan berpengaruh di Barat dan Timur hingga kini, namanya terpahat kuat di hati dunia yang mencintai dunia tasawuf, spiritualitas, ketuhanan, cinta, dan puisi. Dia menarik perhatian dunia terutama karena wawasan tasawufnya yang begitu dalam, universal, dan tetap relevan, sebagaimana tercermin dalam perjalanan hidup dan karya-karyanya. Karya-karyanya diterjemahkan ke dalam berbagai bahasa Barat dan Timur, termasuk Indonesia. Dia mengilhami kebudayaan dunia. Dia duta cinta sepanjang masa.

Jalaluddin Rumi adalah sosok pencari jalan spiritual yang tak pernah berhenti. Nama Rumi dinisbahkan kepada sufi agung ini karena dia menghabiskan sebagian besar hidupnya di Anatolia, Turki, yang ketika itu merupakan pusat pemerintahan Romawi Timur. Di sinilah dia mengukuhkan dirinya sebagai guru spiritual yang sangat berpengaruh. Dia dipanggil Maulana Jalaluddin Rumi, Yang Mulia atau Tuan Guru Jalaluddin Rumi. Di sini pula dia meletakkan dasar-dasar baru jalan spiritual, yaitu melalui tari dan musik, yang kemudian dikenal dengan jalan Maulawiyah –jalan sang Maulana Rumi.

Lahir di Balkh, Khurasan, Afghanistan sekarang, 30 September 1207 (6 Rabi'ul Awwal 604 H), Jalaluddin Rumi tumbuh dari keluarga terpandang. Ayahnya, Muhammad ibnu Hussain al-Khatibi alias Bahauddin Walad, adalah seorang ulama terkemuka di Balkh, sedangkan ibunya, Mu'min Khatun, berasal dari keluarga Dinasti Khawarizmi, dinasti yang berkuasa dengan ibukota Bukhara saat itu. Adapun Balkh, adalah salah satu kota penting, pusat intelektual dan kebudayaan Persia pada Dinasti Khawarizmi.

Keluarga Rumi adalah pengembara. Ketika Rumi baru 7 tahun, keluarganya hijrah ke Khurasan, dan tak lama kemudian hijrah ke Nisyapur. Ketika Rumi 12 tahun, mereka hijrah ke Baghdad. Setelah beberapa lama tinggal di kota Seribu Satu Malam itu, mereka hijrah lagi ke Makkah, kemudian Damaskus, sebelum akhirnya menetap di Konya, Turki sekarang, yang ketika itu merupakan ibukota Kesultanan Saljuk.

Menjelang keluarga Rumi hijrah ke Baghdad, Balkh dan kota-kota Persia lainnya bukanlah kota yang tenang. Di seberang Dinasti Khawarizmi, Dinasti Mongol sedang giat-giatnya melancarkan serangan ke mana-mana secara membabibuta guna meluaskan wilayah kekuasaanya. Setelah sebelumnya menaklukkan Cina, kini Dinasti Mongol yang begitu perkasa mengincar Dinasti Khawarizmi. Tersiar luas kabar bahwa Persia akan segera dicaplok dengan cara bengis sebagaimana dilakukan pasukan Mongol terhadap Cina dan daerah-daerah lain. Dan benar. Tak lama kemudian pasukan Mongol menyerang dan membumihanguskan Balkh. Juga kota-kota Persia terkenal lainnya, seperti Bukhara dan Samarkand.

Tetapi Rumi dilahirkan memang tidak untuk merebut kembali kota kelahirannya dan membangunnya kembali dari kehancuran. Dia meninggalkan kota kelahirannya dengan membawa biru apinya yang terus menyala-nyala dalam hatinya. Biru api khazanah kebudayaan Persia yang kelak akan menyalakan dunia batinnya ketika disulut api Cinta Ilahi, hingga demikian bercahaya di tempat lain, Konya, tempat yang jauh dari Balkh, Samarkand, Bukhara, bahkan dari Persia itu sendiri. Dalam sebuah puisinya, Rumi berdendang dengan haru-biru:

Mari ke rumahku, Kekasih –sebentar saja!

Gelorakan jiwa kita, Kekasih –sebentar saja!

Dari Konya pancarkan cahaya Cinta

Ke Samarkand dan Bukhara –sebentar saja!

Puisi ini pastilah merefleksikan kecintaan sekaligus kerinduan Rumi akan kampung halamannya, yang telah lama ditinggalkan. Ia tahu kampung halamannya sudah luluh-lantak dan jadi bumi-hangus di tangan-bengis gerombolan orang-orang Mongol. Dan sejarah tak mungkin lagi ditarik mundur. Maka dia memanggil orang-orang berkumpul di rumahnya, baik dalam pengertian harfiah maupun metaforis, dan dari sana bersama-sama memancarkan cahaya cinta ke kampung halaman yang telah luluh-lantak itu, sebentar saja. Tapi dalam konteks puisi-puisi Rumi, yang dia ajak untuk bersama-sama memancarkan cinta ke Samarkand dan Bukhara adalah Tuhan. Dengan demikian, puisi tersebut merupakan ungkapan cinta dan rindu yang sangat dalam terhadap kampung halamannya nun jauh di masa silam yang hancur.

Sebagai pengembara, Rumi mereguk berbagai disiplin ilmu dari beberapa guru terkemuka di kota-kota tempatnya pernah tinggal. Tinggal beberapa lama di kawan Arab, terutama Makkah dan Damaskus, dia belajar sastra Arab hingga mahir menulis puisi dalam bahasa itu. Sudah tentu dia juga belajar ilmu-ilmu Islam. Apalagi ayahnya sendiri, Bahauddin Walad, adalah juga seorang ulama terpandang. Tak pelak lagi, ketika tiba di Konya, Sultan Konya yang cinta ilmu dan seni menyambut kedatangan keluarga Rumi dengan baik. Bahauddin Walad dipercaya sebagai ahli fiqih, mubalig, dan mengajar di madrasah kesultanan, hingga dia wafat di tahun 1230.

Jalaluddin Rumi segera menggantikan posisi ayahnya. Ketika itu, dia telah menikah dan dikaruniai 2 anak. Anak pertamanya diberi nama Sultan Walad, yang kelak juga menjadi seorang sufi dan memperkenal