webnovel

PERTANYAAN SEPTIA

Septia sudah sejak siang tadi berada di rumah Rania, meskipun Rania tidak ada di rumahnya. Gadis itu rebahan di kamar tamu rumah Rania. Rania telah menganggap Septia sebagai adik sendiri. Mereka demikian dekat seperti saudara meskipun baru beberapa bulan saling mengenal.

Tadi Septia memberikan kabar pada Rania bahwa dirinya berada di rumah Rania dan Rania pun berkata, tunggu saja sebentar lagi aku pulang.

Itu pesan singkat yang dikirim melalui ponsel dan diterima oleh Septia. Alhasil Septia pun bersedia menunggu.

Sudah dua jam berlalu, yang ditunggu tak kunjung tiba. Septia sepertinya mulai lelah, ia beranjak menuju kaca rias, membersihkan wajahnya dan membenahi letak rambutnya.

Septia ingin pulang.

Belum sampai ia membuka kamar, sebuah mobil nampak berhenti di depan rumah, sorot lampunya sedikit masuk menembus jendela ruang tamu rumah dengan desain minimalis milik Rania.

"Pasti itu Rania," pekiknya.

Septia pun melangkah menuju pintu depan, ia membuka pintunya. Nampak dari pandangannya Rania turun dari sebuah mobil mewah tapi bukan mobilnya. Septia menggerakkan bola matanya untuk mengetahui siapa yang mengantar Rania hari ini.

Semakin ia memincingkan mata ia semakin yakin lelaki itu, sepertinya ia pernah kenal tapi siapa ya ?

Septia memukul-mukul lembut kepalanya pertanda ia sedang berfikir.

"Oh, itu bapak yang kemarin berjumpa di pengadilan agama." Septia mulai sedikit ingat.

"Tidak lain dan tidak bukan itu bapak yang bertemu di Pengadilan Agama hari itu."Septia mengingat sesuatu.

Ia merasa bahwa ingatannya benar, ia tidak salah lagi.

Rania masuk ke rumahnya sendiri, tanpa Bapak itu. Bapak tersebut langsung pulang setelah Rania turun di rumahnya, mobil Rania pun tidak nampak di rumahnya.

"Hmmmm lagi jalan-jalan pantesan lama gak datang." Septia berwajah sewot di depan sahabatnya.

Rania hanya tersenyum tipis, ia masuk kamar pribadinya, membasuh kakinya, kemudian mengganti pakaiannya sebelum ia berbincang dengan Septia. Selalu begitu, itu kebiasaan Rania sejak kecil. Berganti baju dan mencuci kaki setelah keluar dari rumah.

"Maaf ya kalau lama nunggunya."Rania mencolek bahu Septia.

Septia manyun dengan bibir di monyongkan membuat Rania merasa geli.

"Kalau begitu gayanya, asli mirip Laela."

Septia langsung merubah gayanya saat mendengar nama Laela.

"Amit-amit.. amit-amit.."

Rania pun terkekeh melihat tingkah sahabatnya.

"Emang darimana saja sih, kok bisa dengan bapak itu."

"Pak Wahyu maksudnya ?"

Septia mengangguk.

"Tadi mobil ku bannya bocor sayang, itu sebabnya aku telphon beliau dan minta tolong."

"Kok nggak minta tolong Pak Budiman ? Kak Rania kan pacar nya ?"

UPS, hampir saja Rania lupa dengan perjanjian pacaran bohong-bohongan dengan Pak Budiman.

Andai Septia tahu, hubungannya dengan Pak Budiman hanya sebatas teman, Pak Budiman tidak akan mencintai Rania, tidak akan pernah. Rania bukan tipe wanita yang diidamkan oleh Pak Budiman. Bila hari ini mereka saling mengasihi tidak lebih karena Pak Budiman merasa iba pada apa yang menimpa Rania, tidak lebih.

"Hallo, kok diam ?"

"Kenapa nggak menghubungi Pak Budiman?" Septia memburu Rania dengan pertanyaan yang sama

"Sudah sayang, tapi Pak Budiman sedang sibuk." Hanya itu yang mampu Rania ucapkan tidak ada kalimat yang lain, menambah kalimat pada jawaban atas pertanyaan Septia justru akan mengacaukan segalanya.

Rania menarik nafas panjang, ia lupa bahwa ia masih berlabel istri orang dan sekarang pacar orang meski hanya bohong-bohongan. Pertanyaan dari Septia mengingatkan Rania akan hal itu.

Rania pun memandang jalanan dengan pandangan meremang.

Ia harus mencari jalan keluar dari permasalahannya bukannya menambah masalah baru dalam hidupnya. Ia harus segera menemukan jalan. Harus itu. Harus