webnovel

Bab 39

Tidak ada alasan lagi untuk meninggalkan Marlon segera mungkin, akhirnya setelah berdebat panjang kali lebar Belle memilih ikut dengan Liam. Awalnya Marlon memang tidak terima, bahkan sampai mengancam mereka berdua dengan pihak yang berwajib. Akan tetapi semua itu tentu tidak terjadi saat dokter Liam mengungkit jasanya beberapa tahun silam.

Marlon terdiam dan kalah telak.

Lihatlah lelaki tua itu lebih mencintai harta daripada istrinya bukan?

"Ayo, kita pergi." Ajak Belle pada Liam, dan mengambilnya langkah duluan.

Keputusannya untuk berpisah sudah bulat, Belle memang mencintainya, tetapi itu dulu dan perasaannya sekarang patut dipertimbangkan. Apalagi setelah kehadiran dokter Liam yang seakan-akan selalu menjadi penolong di waktu yang tepat.

"Dokter, aku sangat berterima kasih padamu," ujar Belle pada lelaki di sampingnya, yang tengah mengendarai mobil.

"Bukan apa-apa, Bell."

"Kau sudah menolongku dua kali, rasanya aku sangat malu padamu," katanya lagi.

Liam menghela napas, diliriknya Belle sejenak, lalu tersenyum. "Aku tidak merasa keberatan, semuanya kulakukan hanya untuk kebaikanmu, Bell."

Menarik napas panjang perlahan Belle mengembuskannya, terlalu berat ujian yang dihadapinya selama menikah dengan Marlon. Berulang kali Belle menyakinkan dirinya bahwa segala ujian akan segera berakhir, tetapi kenyataannya masalah selalu datang bertubi-tubi.

Kehidupan yang Belle impikan indah tidak pernah terealisasikan, karena Marlon terus membuat hatinya terluka. Suami sekaligus pamannya itu tidak pernah berubah, dan akan selalu menyakitinya tanpa perasaan. Kesempatan yang Belle berikan waktu itu tidak dipergunakan Marlon dengan baik.

"Dokter, bisakah kau mengantarku ke sekolah William?"

"Oh, ya, tentu saja bisa."

Mengingat William hati Belle sedikit sejuk, karena hanya anaknya yang mampu mengobati sedikit kesengsaraannya. William menjadi harta satu-satunya di dunia ini, dan Belle berharap hak asuh jatuh di tangannya.

"Mommy," seru William dari kejauhan, lalu matanya menangkap sosok dokter Liam dan memekik girang. "Ayaaah."

Anak kecil itu berlari antusias ke arah Liam, lalu melompat ke dalam pelukannya. Terakhir kali mereka bertemu saat pemotretan keluarga, wajar saja jika William sangat merindukan dokter Liam.

"Hmm, tumben ada Ayah?" William menaruh telunjuknya di dagu seakan berpikir keras.

William dan Belle hanya tersenyum geli, tanpa berniat menjawabnya.

"Mom, apa Dad tahu kau dengan Ayah?" Seketika mimik wajah William berubah takut, lali dia berkata lagi, "Aku tidak ingin Mom dimarahin Daddy."

"Sayang, kau masih terlalu kecil mengetahui ini, tapi Mommy harus mengatakannya."

"Bell ...." Liam menghentikan perkataan Belle, dan menggenggam tangannya yang dingin. "Jangan sekarang."

"Mom, aku takut." Suara William bergetar, ingatannya terpacu kembali pada kejadian beberapa jam yang lalu.

Kedua orangtuanya berkelahi tepat di depan William.

"Maafkan Mommy, Sayang." Dengan lembut Belle memeluk tubuh mungil William, tanpa terasa air matanya jatuh dan mengalir deras.

Tanpa banyak berbicara dokter Liam pun membawa keduanya pergi dari sekolah, mungkin untuk saat ini Belle hanya membutuhkan sedikit waktu bernapas. Memulihkan kondisi hatinya yang buruk dengan menjauh dari keramaian.

"Dokter, aku ingin bertemu dengan Rose."

"Apa kau yakin?" tanya Liam balik.

"Ya, ada banyak hal yang ingin aku ceritakan padanya." Belle berkata sangat pelan, terlalu lelah menanggung beban itu seorang diri.

Di usia mudanya sudah memiliki anak, dan tengah mengandung lagi.

"Apapun itu asal kau bahagia," jawab Liam, lalu putar arah menuju sebuah Universitas.

Setahun belakangan ini Rose memang sangat sibuk, bahkan jarang sekali pulang ke rumah. Kegiatan belajarnya bertambah banyak, dan tugas yang diembannya terus meningkat. Rose sangat gigih belajar, saking fokusnya mengejar target hubungannya dengan dokter Liam seperti tak pernah ada.

Memarkirkan mobil terlebih dulu, Liam turun dan mencoba menghubungi Rose yang sulit ditemui. Kapan pun Rose butuh dokter Liam, lelaki itu selalu merespons dengan cepat, tetapi sebaliknya ketika Liam menghubungi ponselnya selalu tidak aktif.

"Bagaimana?" tanya Belle mulai tidak sabar.

Lima menit sudah ia menunggu, tetapi Liam belum juga memberikan jawaban.

"Ponselnya tidak bisa dihubungi."

"Oh, ya Tuhan." Dengan lelah Belle mengusap wajahnya, bingung hendak melakukan apa.

"Mom, apa kau baik-baik saja?" William bertanya khawatir.

Meski ragu akhirnya Belle pun mengangguk, tidak lupa dia juga menyimpulkan senyum. Sebuah senyuman yang sangat berat untuk dilukiskan, tetapi Belle harus melakukannya.

Semua itu demi kebaikan William anaknya.

Dengan berat hati Belle meminta Liam masuk kembali ke mobil, dan melanjutkan perjalanan. Sebenarnya Belle tidak tahu hendak pergi ke mana, menemui kedua orangtuanya itu bukanlah ide yang baik, apalagi menerima bantuan dokter Liam. Masalahnya pasti akan bertambah besar jika Marlon tahu Belle bertopang hidup dengan Liam seperti dulu.

"Dokter, turunkan kami di trotoar jalan," pinta Belle sambil menunjuk ke depan, mungkin jalan satu-satunya hanya belajar hidup mandiri.

"Maksudnya kau ingin hidup di jalanan?"

"Tidak, aku pasti akan bekerja."

"Oh, Chambell, kau memiliki anak yang masih kecil bahkan tengah mengandung. Tidakkah kau berpikir itu akan menyakitimu dan anak-anakmu nanti?"

"Aku tidak punya pilihan."

"Baiklah, jika seperti itu maka aku yang akan menentukan pilihannya."

"Tapi ..."

"Kau ikut denganku." Tandas dokter Liam.

Mobil terus berjalan membelah aspal, Belle masih sibuk dengan pikirannya yang sangat kacau, sedangkan William sudah tertidur. Dengan perasaan yang hancur lebur Belle memanjatkan doa terbaik untuk ke depannya tanpa ada salah paham. Seluruh kebaikan Liam tidak lebih hanya untuk menolongnya, jadi Belle ingatkan pada dirinya sebelum terlambat. Liam adalah kekasih sahabatnya.

Urusan Marlon bagaimanapun caranya Belle tetap ingin pisah, dan kecemburuannya tidak perlu dikhawatirkan.

"Kenapa kau melakukan ini semua?" Tiba-tiba Belle bertanya dengan pandangan yang nanar.

Liam menoleh dan tersenyum melihat wajah Belle yang manis. "Kau sudah tahu jawabannya, Bell."

"Dokter, kumohon jangan libatkan ini dengan perasaan."

"Kau tahu aku sangat mencintaimu, Bell."

"Tapi kau kekasihnya Rose, aku tidak mau dia salah paham dan membenciku."

Liam mengangguk paham, perkataan Belle memang benar adanya, tetapi dia tidak peduli. "Aku akan berterus terang padanya, jika aku masih sangat mencintaimu dan kau ingin bersamaku."

"Tidak, aku tidak ingin itu terjadi."

"Kalau begitu biarkan aku terus berada di dekatmu, Bell." Liam berkata dengan penuh perasaan, lalu melanjutkan. "Mungkin, dengan menolongmu adalah caraku supaya bisa mencintaimu dan merasakannya."

Tidak menjawab lagi Belle hanya menghela napas, terlalu bingung menghadapi masalah yang terasa semakin runyam. Rose berniat menolongnya dengan Liam, tetapi di balik itu semua kekasihnya mempunyai niat sendiri. Belle tidak tahu harus mengambil langkah ke mana selain mengikuti permainan yang ada.

Marlon yang bermain-main dengannya, lalu dokter Liam yang juga mengkhianati Rose?

Sejujurnya, Belle tidak ingin itu sampai terjadi, tetapi apa boleh buat karena dirinya juga sangat membutuhkan pertolongan Liam. Belle menyayangi Rose, tetapi jauh di lubuk hatinya ia juga masih menyimpan perasaan pada dokter Liam. Tinggal bersama membuat perasaannya terbawa suasana dan berkhianat.