webnovel

Bab 22

[2 tahun kemudian]

Hap!

Dengan tepat Belle menangkap bola yang William lempar ke arahnya, kini mereka tengah bermain di taman. Dua tahun sudah berlalu. Keduanya masih hidup mandiri tanpa peranan lelaki hebat dalam rumah tangga. Di sini meski Belle bergantung kepada Liam, dokter itu tak meminta timbal balik. Sosoknya sangat dermawan.

Terkadang hati kecil Belle mengaku malu. Ingin pergi jauh dari kehidupan Liam, tetapi William membutuhkan kasih sayang ayah. Mengingat mereka sudah cukup dekat bahkan lebih. Itu membuat Belle berat meninggalkan. Walau tidak terikat dengan dirinya, Liam menyayangi William sungguh tulus seperti anak kandung.

Bukan sebuah keberuntungan, tetapi keajaiban dari Tuhan yang menatap seluruh kejadian menyakitkan dulu. Tuhan mengirim Liam sebagai antar perantara untuk kedamaian William. Belle harap akan tetap seperti ini. Dia bahagia sekalipun terluka oleh masa. 2 tahun bukan waktu yang sebentar. Rasa sakit itu terus menganga lebar. Tiada henti.

"Aduh!" Belle mengaduh kencang saat bola menghantam wajahnya, dokter Liam yang melihat itu menghampiri.

"Kau tak apa?" tanya Liam perhatian, seraya membantu Belle membuang noda di pipinya, lalu meniup pelan.

"Terima kasih." Sesaat menepis Liam, Belle berlari mendekati William yang menangis hebat.

Rupanya anak itu sadar telah berbuat satu kesalahan. Seperti anak kecil pada umumnya, senjata paling ampuh agar dimaafkan menangis. Padahal sekalipun tidak meminta maaf, Belle tak akan memarahi William. Cekrek! Di depan mereka Liam telah berhasil mengambil potret Belle dan William.

"Dokter, berikan kameranya?!" jerit Belle sambil mengejar Liam, entah bagaimana dia tahu jika itu aib.

Tidak ingin ketinggalan, William ikut mengejar di belakang, tawanya pecah melihat kedua manusia dewasa lari-larian layakan anak kecil. Ketakutan William berubah menjadi keceriaan. "Mommy, tunggu William."

Menoleh ke belakang, mau tak mau Belle melupakan Liam, lantas berlari pada William. Mengangkat tubuhnya, dan mereka tertawa lepas bersama. Sejak kehadiran si kecil hidup Belle jauh lebih baik dari sebelumnya. Hati berkata sakit, namun bibir masih bisa tersenyum lebar. Ajaib bukan?

"Bell, apa kau tidak bosan hidup bersembunyi?" tanya Liam tiba-tiba, setelah sekian lama tak mengungkit.

Kini mereka tengah mengobrol ringan di halaman belakang selama William tidur siang. Rumah antik yang Liam belikan untuknya jauh dari kota.

"Kurasa tidak."

"Apa kau tak takut jika Marlon tahu?" Lagi Liam menekan Belle, terkesan menggencet dirinya.

"Berhentilah membahas ini, paman tidak akan pernah tahu kecuali kau yang memberitahu keberadaanku."

Membuang muka Belle mati-matian menahan diri agar tidak menangis. Perjuangannya untuk bersikap wajar sejauh ini patut diberikan apresiasi. Yakni Belle harus menunjukkan pada Marlon suatu saat nanti bila mereka bisa berbahagia tanpa hartanya. Jika itu yang dia pikirkan dulu. Hanya saja Belle tidak tahu entah kapan? Ketika melihat William pasti beliau meminta hak, sebagai seorang ibu dia tak rela.

"Kau masih mencintainya Bell, kau tak bisa berbohong." Sekali lagi Liam berargumentasi, membuat Belle kian panas hingga meledak.

"Baiklah! Jika kau keberatan dengan ini semua aku akan pergi. Aku juga tahu diri, tidak bisa terus menerus bergantung padamu. Terima kasih atas seluruh bantuanmu, Dokter. Untuk sekarang aku tak punya apa-apa, jadi belum bisa membayarnya karena kuanggap hutang." Dengan nada emosi Belle berkata, lalu bangkit mengambil William di kamar.

"Bell ..."

"Selamat tinggal." Final! Belle telanjur sakit hati dengan perkataan Liam.

Secara tidak langsung Liam memaksa Belle agar bersedia menerimanya, dia pikir segampang itu?

***

Di dekat jendela Marlon menghirup udara kotor sambil mengisap rokok secara bertahap, mengharapkan ajal segera menjemputnya tanpa toleran. Dulu Marlon tak pernah sekacau ini, sejak kepergian Belle semua berubah. Emosinya tak bisa dikontrol bahkan sering memukul orang yang berbuat sedikit kesalahan. Suka bermain judi. Mabuk-mabukkan. Taruhan. Segala jenis permainan yang mengancam kebangkrutan hingga jatuh miskin.

Marlon tidak peduli lagi dengan harta. Berliannya hanya Belle.

Tapi sekarang gadis itu telah pergi.

"Marlon, aku butuh uang. Ada iklan menarik yang menjanjikan." Wajah Candice mendadak muncul, tatapan matanya memelas. Menggelanyut manja.

"Uang kemarin sudah habis?"

"Sudah, kau tentu tahu perawatanku mahal bahkan masih kurang."

Tanpa berpikir Marlon memberikan cek kosong pada Candice, lalu bangkit. "Tulis berapa pun yang kau ingin."

Seakan-akan menang undian Candice melompat kegirangan, memeluk lelaki di depannya dengan kebanggaan. Tak ingin dipeluk, Marlon menyingkirkan Candice secara paksa. Demi Tuhan! Di antara banyak gadis yang pernah ada di sisi ranjang Marlon, tidak seburuk dirinya.

Mengambil kunci mobil di atas meja, seketika pikiran Marlon tertuju pada keluarga sederhana Belle. Tidak ada salahnya dia datang berkunjung. Tiga bulan terakhir Marlon sempat datang bersama Rose, namun keponakannya itu sekarang berbeda. Membeli buah tangan tidak lupa dia juga membawa buku bacaan untuk adik iparnya, dan memberikan beberapa potong kain.

Damon dan Ernest menyambut sangat baik, seperti biasa. Mereka mengobrol membicarakan banyak hal. Termasuk merundingkan cara mencari Belle. Di mana rasanya sudah lelah. Keinginan bertemu masih kuat mengasa rindu. Marlon menyesap teh hangat jamuan Ernest, meredakan tenggorokan dari pahitnya kenyataan meski tak ampuh. Apakah dia telah berbahagia sehingga enggan berpulang? Oh, tidak pernah.

Kebahagiaan gadis itu hanya ada pada dirinya seorang, bukan yang lain.

"Paman, apa kakak tertua kami telah kau temukan?" tanya salah satu adik Belle, tatapannya penuh harap. Bukan memberi jawaban Marlon malah lari dari pertanyaan dengan mengalihkan.

"Lihat! Paman membawakan oleh-oleh untuk kalian. Semoga suka ya." Mengangkat tinggi bingkisan, sontak keempat adik Belle berseru senang.

Saat berhasil melupakan mereka dari Belle, itu menjadi suatu kebanggaan bagi Marlon. Apalagi sampai memberikan kebahagiaan, rasa puasnya berlipat. "Suka?"

"Suka, Paman, ini bagus sekali."

Di balik pintu gubuk tanpa diketahui Marlon ada sepasang bola mata yang mengintip.

Orang itu adalah Belle. Dalam diam mengamati keluarganya begitu dekat dengan paman Marlon. Kenapa baru sekarang? Batin Belle meringis ngilu. Menyayangkan jika dirinya tidak bisa ikut bergabung.

Enggan merusak kebersamaan yang telah tercipta, Belle balik badan. Kini semua kebutuhan keluarganya tercukupi berkat paman Marlon. Ini bukan waktu yang tepat untuk pulang. Belle tidak ingin kepulangan dirinya menjadi pengacau. Si ular Candice membolehkan paman Marlon datang juga karena tidak ada Belle di gubuk.

Biarlah paman untuk Candice, tetapi tidak dengan William. Sosoknya bisa saja digantikan namun kebahagiaan? Belle mendekap erat anaknya ke dada, mengecup ringan, tanpa sadar air matanya menetes mengenai bibir. Tatkala mengakibatkan si buah hati William merengek hingga membuat orang yang berada di gubuk ke luar.

Spontan Belle kalang kabut. Belum sempat melarikan diri Ernest dapat mengenalinya, dan berseru haru. "Belle, anakku!"

"Belle?" Marlon angkat suara, tidak membiarkan orang itu pergi. Dia berlari ke depannya dengan kilat.

Tatapan mereka bertemu.

Untuk seperkian detik dunia seakan berhenti berputar, Belle membuang muka sesaat paman Marlon merosot, berlutut di bawahnya. Tangis William meledak. Dikagetkan oleh situasi yang mendramatisir.

"Maafkan aku." Tanpa bisa dicegah sejumput air mata keluar, Marlon memeluk kedua kaki Belle sebagai bentuk permohonan.

Tolong jangan pergi, rintihnya dalam.