2 Pernikahan Mendadak

"Jason, apa jadwalku hari ini setelah meeting?" tanya Zen pada sekretarisnya. Tak terasa sudah beberapa hari Maria siuman dan menjalani kehidupan seperti biasa.

"Ada beberapa rapat lagi Tuan dan hari ini Nona Maria akan membuka perban di wajahnya." Tangan Zen yang menulis seketika berhenti saat itu juga. Dia memandang Jason dengan pandangan yang sulit diartikan.

"Batalkan semua jadwalku. Aku akan menemani Maria untuk membuka perbannya. Aku yakin dia pasti akan salah paham dengan apa yang terjadi." Zen lantas bangkit berdiri dan memakai jas kemudian pergi menuju kediamannya. Kediaman Pranaja.

💟💟💟💟

Sesuai dengan perkataan Jason, hari ini Miranda bersawa kawannya yang spesialis operasi plastik bernama Matheo datang ke rumah untuk melihat kondisi Maria. "Baiklah Nona Maria, kami akan membuka perban di wajah anda dan semoga saja anda suka dengan hasil kerja kami."

Matheo lantas membuka secara perlahan perban yang berada di wajah Maria. Agak lama Maria menunggu hingga wanita itu menjadi sedikit cemas. Miranda tersenyum melihat wajah baru Maria dan memberikan kode pada Matheo bahwa operasinya sukses.

"Tuan Zen sangat senang dengan hal ini." ucap Matheo sambil melihat wajah Maria lama sedang wanita yang ditatap itu agak merasa canggung kala dirinya diperhatikan.

"Maaf, apa boleh saya meminjam cerminnya?"

"Tentu." Miranda memberikan cermin kecilnya lalu memberikan cermin itu pada Maria. Mulanya Maria terlihat antusias sekali ingin memandang lukanya sembuh atau tidak tapi sesaat setelahnya dia melebarkan sepasang matanya.

"Si-siapa gadis di cermin ini?" tanya Maria kaku.

"Itu anda Nona." Maria menggeleng.

"Tidak, ini bukan wajahku. Ini orang lain!" teriakan Maria menggema di dalam kamarnya. Dia syok sekali dan menarik kerah Matheo dengan sangat kencang. Tatapan Maria berubah menjadi tajam. Untuk wanita yang terlihat lembut dari tadi, itu sangat menakutkan bagi Matheo.

"Kau membuat kesalahan, ini bukan wajahku!"

"Tapi sekarang wajah itu adalah wajahmu." Sontak Maria menoleh ke asal suara dan menghempaskan Matheo dari cengkeramannya. Zen masuk ke dalam. Tanpa pikir panjang dia menghampiri Maria lalu mengarahkan wajah baru Maria menghadap ke arahnya.

Senyuman tampak di wajah tampan Zen. "Bagus sekali kerja kalian dan sesuai dengan janjiku, aku akan memberikan kalian uang yang kalian butuhkan. Silakan pergi dan terima kasih ya Miranda, kau telah membantuku."

"Sama-sama Zen. Kami pergi dulu." Suara derapan langkah kaki kedua dokter itu tenggelam kala Maria bertanya pada Zen.

"Jadi kau yang melakukannya? Kau membuat aku memiliki wajah lain? Kenapa?"

"Karena kau bilang kau ingin balas dendam." jawaban Zen yang lugas membuat Maria terdiam.

"Coba kau bayangkan jika mereka tahu kalau kau masih hidup, aku yakin mereka akan menjadikanmu sasaran mereka jadi aku hanya membantumu kok. Kau seharusnya berterima kasih padaku."

"Tapi wajahku--"

"Jangan ungkit masalah itu lagi. Kau sekarang bukan Maria tapi Lizzy dan kau adalah istriku." Kening Maria mengerut.

"Istri? Kenapa aku harus menjadi istrimu? Kita ini baru bertemu masa kau langsung mengklaim bahwa kita suami istri."

"Jika kau ingin membalas dendam pada mereka maka ikuti rencanaku."

"Kau berpikiran secara sepihak, bagaimana bisa ini disebut membantu?! Lalu wajah ini ... siapa wanita ini? Apa dia istrimu?" Zen lantas melepas sentuhannya dari wajah Maria.

"Tidak, dia bukan istriku tapi dia ibu angkatku ... Lizzy Cetta."

"Lizzy Cetta? Siapa dia?"

"Ceritanya panjang lain kali saja lebih baik besok siapkan dirimu. Kita akan melangsungkan pernikahan kita." kata Zen seraya berjalan meninggalkan Maria yang termangu.

"Tunggu apa yang kau katakan? Menikah? Ak-aku tidak bisa melakukannya aku sudah menikah!" Sontak pria itu berhenti melangkahkan kakinya dan menoleh ke belakang dengan tatapan dingin.

"Apa menurutmu suamimu akan tetap menganggap hubunganmu dengan dia setelah dia melakukan semua itu terhadapmu?" Lagi-lagi Maria terdiam. Tak tahu harus mengatakan apa karena jika dipikir-pikir apa yang dikatakan oleh Zen ada benarnya.

Mungkin ... tidak bukan mungkin lagi tapi memang sudah terjadi. Suaminya sekarang sudah menikah dengan wanita di selingkuhannya. Bukan tanpa sebab, Maria telah terkurung di gubuk untuk waktu yang cukup lama.

Jika itu benar terjadi maka untuk apa dia mempertahankan rumah tangga yang sejak awal telah rusak akibat pengkhianatan?

💟💟💟💟

Hari berikutnya Maria telah siap dengan gaun pengantin dan dengan polesan natural dia melihat pada cermin. Sungguh, Maria tak mengenal dirinya sendiri. Wajah baru, nama baru kadang-kadang membuat dia sedikit merasa bingung.

Lalu pria gila mana yang menikahi Ibu angkatnya sendiri?! Maria pikir Zen adalah pria baik tapi melihatnya sekarang rasa hormatnya berganti dengan rasa jijik. Kenapa pria itu ingin Maria memakai wajah Ibu angkatnya dan memilih menikah dengannya. Sial!

"Kenapa kau terlihat kesal seperti itu?" Maria melihat pada bayangan Zen yang terpantul di cermin lalu mendengus.

"Aku merasa kau mempermainkanku. Sudah kau berikan aku wajah Ibumu malah menikahiku lagi, otakmu itu kenapa hah?"

"Kan sudah aku bilang kalau kau ingin balas dendam lakukan saja apa yang aku minta."

"Jadi aku akan terus jadi pionmu begitu?"

"Tidak juga ada kalanya aku akan membiarkanmu mengurus masalahmu sendiri. Bangunlah, imamnya sudah siap dan ingat namamu Lizzy sekarang jadi kalau imam mengatakan nama Lizzy kau harus menyahut mengerti?" Maria lagi-lagi mendengus kemudian mengangguk.

Tak ada tamu di acara pernikahan mereka hanya satu orang fotografer dan imam. Acara tukar cincin dilakukan begitu juga mengucapkan janji suci hanya saja nama mempelainya adalah Lizzy bukan Maria. "Sekarang kau bisa cium mempelai pengantin wanitanya,"

Mata Maria membulat saat Zen bergerak mendekat. Dia pun mundur satu langkah lalu menggelengkan kepalanya dengan cepat. "Tidak aku tak mau," bisik Maria saat Zen kembali mendekatinya.

Zen membuang napas lalu menarik tangan Maria hingga jarak mereka sangat tipis. "Anggap saja ini adalah formalitas agar mereka yakin jika kita suami istri."

"Tapi Tuan Zen--" usapan Zen di pipi Maria membuat wanita itu merinding dan makin terasa aneh saat bibirnya dicium oleh Zen. Pinggangnya dirangkul agar mendekat membuat Maria kaku sendiri sedang sepasang matanya otomatis tertutup. Dia hanya ingin mengatakan jika baru kali ini dia diberi sentuhan cukup intens dari lawan jenis.

Ciuman dilepaskan. Ketika wanita itu berusaha menghirup banyaknya oksigen karena persediaannya menipis maka Zen melihat pada fotografer untuk memastikan bahwa foto yang diambil bagus.

"Sekarang tinggal satu foto lagi." Zen kembali bergerak mendekat pada Maria dan menariknya dalam rangkulan.

"Senyum ke arah kamera, ini adalah foto pernikahan kita." Kendati kesal dengan sikap Zen, Maria tetap menyunggingkan senyuman manis seakan itu benar-benar menjadi foto pernikahan mereka yang sebenarnya.

avataravatar
Next chapter