Saat mendengar suara kepala sekolah di dekatnya, Gabby langsung memutar badannya dan melihat kalau ternyata benar, kepala sekolahnya sedang berdiri tidak jauh dari Gabby dan Richard. Gabby dapat merasakan pergerakan di sampingnya, dia menolehkan kepalanya dan melihat Richard sedang berusaha untuk berdiri.
"Kalian berdua masuk ke ruangan saya!" Seru wanita tadi dengan suara tinggi.
--
Akibat dari perbuatannya, Gabby dan Richard diskors selama satu minggu. Selama perjalanan ke kelas untuk mengambil tasnya, Gabby tidak tahu harus memberitahu orang tuanya seperti apa. Pikiran terburuknya adalah mungkin ibunya akan menguliti tubuh Gabby.
Saat Gabby hilang dalam pikirannya, dia dapat merasakan tangannya ditarik ke arah toilet laki-laki. Karena kaget secara tidak sadar Gabby berteriak yang mengakibatkan laki-laki itu menoleh dan menyuruhnya untuk diam, "Diam! Ini aku Michael."
Gabby melihat Michael membawa tas sekolah milik Gabby di tangan kirinya. Michael melepas pegangan tangannya lalu menyuruh Gabby untuk duduk di atas wastafel. Dengan perasaan malu Gabby melangkahkan kakinya dan melakukan apa yang disuruh Michael.
Tidak lama kemudian Michael berdiri di depan Gabby sambil mengarahkan kantung itu di pipi kirinya.
"Dingin." Gumam Gabby
"Hm. Omong-omong kamu tadi terlihat keren." Ujar Michael tanpa melihat mata Gabby, matanya yang hitam itu fokus melihat ke arah lebam di pipi kiri Gabby.
Gabby berharap Michael tidak menyadari kalau mukanya berubah warna, "Sudah, kamu masuk kelas saja. Sebentar lagi aku pulang."
Michael mengalihkan pandangannya ke arah mata Gabby, terdiam sejenak lalu menganggukan kepalanya dengan pelan, "Hati-hati."
--
Biasanya Gabby pulang sekolah menggunakan kendaraan ojek online atau dijemput oleh ayahnya, tapi karena hari ini Gabby pulang lebih cepat dari biasanya dia lebih memilih untuk berjalan kaki supaya tidak cepat sampai ke rumah.
Dalam perjalanan pulang Gabby diberhentikan oleh kakek-kakek tua yang menawarkannya untuk mengikuti les karate di tempat kakek tua itu mengajar. Pria itu kira-kita berusia 50 tahun-an, meskipun berusia segitu pria itu tetap berdiri dengan tegap.
"Nona muda, kalau aku lihat-lihat tulangmu terlihat kuat. Maukah kamu bergabung di kelas karate ku?" Sapa pria itu sambil tersenyum ramah.
"Karate?" Tanya Gabby dengan penasaran.
Meskipun Gabby selalu ingin untuk mengikuti les bela diri, ibunya tidak pernah memperbolehkannya. Jadi dia selalu berlatih sendiri di kamarnya secara diam-diam.
"Ya, karate." pria itu mengajak Gabby bersalaman, "Ikuti saya jika kamu tertarik."
Pria itu tanpa berbicara apa-apa lagi, memutar badannya dan berjalan mengarah ruko-ruko dekat perumahan Gabby. Tanpa berpikir panjang kaki Gabby mengikuti kakek itu berjalan.
Tidak lama kemudian pria itu berhenti dan memasuki sebuah bangunan yang besar, dari luar Gabby dapat mendengar suara-suara keras pelatih yang sedang mengajar.
"SIlahkan duduk disini dan kita akan membahas kapan kamu bisa datang kemari untuk melatih kekuatan badanmu" Seru pria itu mengagetkan Gabby.
--
"Apa kamu bilang?!" Tanya ibu Gabby tidak percaya.
Sesampainya tadi di rumah, Gabby disambut oleh ibunya yang masih memakai baju kerja. Tidak banyak bicara ibunya langsung menyuruhnya untuk duduk di sofa ruang keluarga.
"Les karate?!" Ibu Gabby memijat-mijat kepalanya, "Pertama kamu di skors selama satu minggu dan sekarang kamu memberitahu ibu kalau kau mengikuti les karate." Lanjut ibu Gabby tidak percaya.
Gabby hanya bisa menundukkan kepalanya, tidak berani untuk melihat wajah ibunya.
"Lihat muka ibu." Perintah ibunya dengan nada tegas.
Gabby mengadahkan kepalanya dan melihat ibunya. Raut muka ibu terlihat lelah dan menahan emosi, rambutnya yang awalnya di kuncir rapi sudah terlihat berantakan.
"Duduk sebelah ibu."
Dengan hati yang tidak karuan Gabby melangkahkan kakinya ke sebelah sofa tempat ibunya duduk. Ibunya mengangkat wajah Gabby dengan jari telunjuknya dan mengamati lebam yang ada di pipi anaknya. Sambil menghela nafas ibu Gabby berdiri lalu meninggalkan Gabby sendirian.
Tidak lama kemudian ibunya kembali sambil membawa kantong plastik yang sudah di isi oleh es batu, persis seperti yang dilakukan oleh Michael tadi. Cuman bedanya, kali ini Gabby yang memegang kantung plastik itu bukan ibunya.
"Kamu itu perempuan. Seharusnya kamu berkelakuan seperti perempuan pada umumnya" tegur ibu Gabby dengan halus. Nada ini biasanya digunakan ibunya kalau Gabby telah melakukan hal yang menyakiti hati ibunya.
"Aku tahu, bu." Jawab Gabby, mulutnya sedikit bergetar menahan rasa keinginannya untuk menangis. Hari ini cukup melelahkan buat Gabby, selain pipinya yang nyeri kakinya juga lelah karena berjalan cukup jauh. "Maafkan aku."
"Ibu nggak marah, ibu cuman sedih." Balas ibu Gabby sambil mengusap belakang kepala anaknya, "Habis gini cepat naik ke kamarmu dan bersihkan dirimu."
Gabby hanya bisa menganggukan kepalanya. Saat dia berdiri, pergelangan tangannya dipegang oleh ibunya. "Lakukanlah semaumu, kamu tahu ibu akan selalu mendukungmu."
Tidak kuasa menahan air matanya, Gabby kembali duduk di sebelah ibunya dan memeluk ibunya dengan erat sambil mengeluarkan air mata yang cukup deras. Dengan sigap ibunya langsung membalas pelukan anaknya sambil mengelus-elus punggung Gabby.