14 Apartemen Untuk Ren dan Fei

Pada hari Minggunya, karena sudah diperingatkan oleh Ren, maka Bibi Wen dan Nai sudah bergelut di halaman depan sejak pagi. Mereka, ibu dan anak saling bekerja sama menyapu dan membersihkan rumah, sementara Paman Win sibuk menyapu dan mengepel area dalam rumah. Setelah itu, makan pagi juga disiapkan.

Ren benar-benar melarang Fei untuk turun tangan membantu mereka. Bahkan dia bertindak bagaikan mandor yang terus mengawasi pekerjaan ketiga orang tersebut, terlebih saat mereka membuat makan pagi.

Atas bujukan Fei yang tiada henti, akhirnya Ren mengangguk setuju untuk membebaskan tenggorokan Bibi Wen dan Nai dari hukuman. "Ini aku bersedia melakukannya demi Fei yang terus membujukku. Kalau Fei tidak bertindak apa-apa, maka kalian bisa menikmati hukuman itu seumur hidup kalian. Kuharap di dalam hati kalian, kalian berterima kasih pada Fei."

Paman Win mendengar itu dan segera saja dia menghampiri Fei sambil menjatuhkan lututnya di hadapan keponakannya. "Fei, terima kasih … Paman sungguh berterima kasih padamu. Kami memang salah sudah memperlakukanmu dengan buruk, kuharap kau memaafkan kami." Lalu, Paman Win menoleh ke istri dan putrinya di belakangnya, memberi kode melalui mata agar keduanya mengikuti tindakannya.

Namun, terlihat wajah enggan Bibi Wen dan Nai. Berlutut pada Fei? Amit-amit! Najis! Demikian seru mereka di hati.

"Paman! Jangan begini! Paman, kumohon jangan begini." Fei meraih siku pamannya dan berusaha membantu sang paman berdiri. "Jangan berlutut padaku. Itu akan membuatku makin tak enak hati." Ketika ia melihat kode pamannya, ia menoleh ke bibi dan sepupunya. "Tak usah, tak usah berbuat apa-apa lagi. Aku sudah senang kalau kalian sudah sembuh. Kuharap mulai sekarang, kita bisa menjadi satu keluarga yang damai dan harmonis." Senyumnya merekah tulus saat menarik tubuh pamannya agar berdiri sempurna.

Mata Ren mengawasi itu semua.

.

.

Pada siang harinya, seusai santap makan, terdengar bunyi ketukan di pintu. Bibi Wen segera datang ke pintu dan menyambut tamu di sana. "Wah, Pak Yan, yah? Mari, Pak, mari silahkan masuk!" sapa ramah Beliau ke tamu yang ternyata adalah Pak Yan.

"Terima kasih, Bu. Maaf kalau saya datang mengganggu lagi." Pak Yan datang bersama dengan putranya, Rei, seperti kemarin.

Mengetahui bahwa itu adalah Pak Yan, Paman Win dan Nai segera menghambur ke ruang tamu.

"Pak Yan! Silahkan duduk, Pak! Silahkan, Tuan Muda. Maaf kalau kursi sofa kami terlalu jelek." Paman Win mempersilahkan tamu-tamunya dengan sikap hormat, bahkan terkesan menjilat.

Sedangkan Nai yang berdiri, dia tersenyum-senyum senang melihat kedatangan Rei. Ia segera maju ke Rei dan menyodorkan tangannya. "Ha-Halo, Kak Rei. Aku Nai."

Rei melihat tangan Nai dan terpaksa menjabatnya demi kesopanan, namun itu hanya berlangsung satu detik saja dan lekas ditarik kembali sambil berkata, "Sepertinya sakit di tenggorokanmu sudah sembuh, yah!"

"Ohh, iya, Kak … memang sudah sembuh, tadi pagi." Nai tersipu, mengira Rei begitu perhatian padanya sampai-sampai mengingat akan sakit tenggorokannya.

"Ohh, ya, mana Fei?" Mata Rei langsung beredar mencari keberadaan Fei di belakang Nai.

Seketika, wajah Nai menggelap karena kesal. Mulutnya melengkung ke bawah dan hatinya mengutuk Fei keras-keras.

"Fei sedang di kamarnya." Ren sudah masuk ke ruang tamu sempit itu dan menyahuti pertanyaan Rei.

"Ehh? Di kamar? Apakah Fei sakit?" Jelas sekali raut wajah Rei terlihat cemas.

Hal itu mengakibatkan kerutan di dahi Ren dan dia menjawab, "Adikku sedang belajar."

"Di hari Minggu begini?" Rei seolah tak percaya alasan yang diberikan Ren. Mana ada orang masih belajar di akhir pekan?

"Kenapa tidak? Apa anehnya belajar di hari Minggu?" Ren balas memberi pertanyaan retoris.

Rei agak gugup dibalas demikian dan dia mengusap tengkuknya tanpa sadar sambil bertutur, "Ohh, tentu saja tak masalah. Ternyata Fei anak yang sangat rajin. Aku salut padanya."

Wajah kusut Nai kian suram. Belajar? Sejak kapan gadis sialan itu belajar di hari Minggu? Biasanya hari begini Fei akan sibuk membersihkan rumah sampai sore, sebelum nantinya membuat makan malam. Nai ingin sekali menjeritkan itu jika tidak ada Ren di dekatnya.

Karena Nai tak ingin Rei terus membicarakan Fei, ia pun segera mengganti topik bahasan. "Kak Rei, Kakak masih kuliah, yah?"

"Ohh, aku … iya, masih kuliah, tapi sudah di tahun akhir, hampir lulus." Rei tentu saja menjawab pertanyaan macam itu.

"Setelah kuliah, Kak Rei akan bekerja di mana? Atau melanjutkan kuliah di luar negeri?"

"Ohh, tidak, aku mungkin akan tetap di Indonesia, mengambil tanggung jawab di salah satu perusahaan papa."

"Wuaahh, Kak Rei keren sekali! Benar-benar boyfriend material sekali!"

"Ehh? Maksudnya?"

"Umm, itu … pacar idaman, maksudnya."

"Ohh, aku kira apa. Kadang aku kurang mengikuti istilah anak remaja jaman kini."

"Ya, kan karena Kak Rei sibuk kuliah dan juga mempersiapkan diri jadi bos." Nai terus saja senyum tersipu-sipu sambil tubuhnya bergoyang-goyang kecil.

Ren merasa jijik melihat tingkah Nai. Gadis itu berlagak sok manis padahal kelakuannya amit-amit. Dia tak yakin Nai masih bisa berkelakuan demikian jikalau Rei bukan anak orang kaya.

Sementara Nai sedang berusaha mendominasi Rei, paman dan bibi menguasai Pak Yan dalam obrolan mereka. Tak segan-segan keduanya membicarakan kebaikan diri mereka saat mengurus Fei. Meski sebagian besar adalah omong kosong kepalsuan, tapi Pak Yan tetap manggut-manggut sambil sesekali berseru kagum.

"Nah, karena memang kalian sudah sekian tahun merawat Fei dan Ren, maka saya memiliki rencana khusus untuk mereka." Pak Yan akhirnya mengakhiri dominasi obrolan dari Paman Win dan Bibi Wen sebelum mereka lebih jauh melantur menghabiskan waktu.

"Ohh! Rencana khusus?" Paman Win mengulang ucapan Pak Yan memakai nada tanya. Mendadak saja ada rasa tak enak bercokol di hatinya secara tiba-tiba. Apakah ini sebuah pertanda tak baik?

"Ya, Pak Win dan juga Bu Wen. Kedatangan saya dan anak saya ke sini adalah hendak menjemput Fei dan juga Ren." Pak Yan bertutur tenang dan rapi.

"Menjemput mereka? Menjemput ke mana?" Bibi Wen tak sabar ingin tahu.

Pak Yan melirik ke Ren dan berkata, "Saya berencana ingin Ren dan Fei menempati salah satu apartemen saya di pusat kota. Kebetulan apartemen itu jarang saya huni dan alangkah bagusnya jika Ren dan Fei tinggal di sana."

Nai segera berhenti bicara dengan Rei demi sebuah berita dari Pak Yan. Demikian pula ayah dan ibunya. Ketiganya melongo tanpa aba-aba.

Setelah tersadar, Bibi Wen segera bertanya, "Maksudnya … hanya Ren dan Fei saja?"

"Benar." Pak Yan mengangguk.

"Kenapa?" Bibi masih belum bisa menerimanya.

"Agar Ren dan Fei tidak lagi merepotkan kalian di sini. Kebetulan saya memiliki hutang budi sangat besar terhadap Ren dan saya ingin membalas dengan pantas. Kalau tidak ada Ren, entah bagaimana nasib saya kemarin." Pak Yan melirik Ren disertai senyuman penuh rasa terima kasih.

"Fei … Fei akan pindah ke apartemen?" Nai bergumam lirih dengan mata menerawang, tak ingin percaya yang dia dengar. "Aku … bolehkah aku ikut, Pak Yan?" Segera, dia tanpa ragu-ragu bertanya dengan suara keras ke Pak Yan.

avataravatar
Next chapter