"Siapa kamu?! Apa disini ada syuting sih? Kok sepi banget, krunya mana?" tanya seorang wanita berbaju putih dengan mata yang melirik pangeran Ansara dengan penuh penasaran.
"Kamu siapa?! Ini dimana?!" seru Pangeran Ansara dengan tegasnya.
"Ya ini di Indonesia, kamu yang siapa? Aku? Aku Gendhis" jawab perempuan bernama Gendhis dengan diikuti pertanyaan lagi.
"Aku Ansara, penerus Kerajaan Bramala" jawab Pangeran Ansara dengan membusungkan dadanya.
"Buahahahahaha, kerajaan? Mana ada kerajaan disini. Ooohhh, ini acara lawakan itu kan? Pasti ada kamera tersembunyinya. Mana nih, mana kamera tersembunyinya?" kata wanita berbaju putih dengan terus terkekah.
Pangeran Ansara masih belum bisa mencerna apa yang dialaminya saat ini, pandangannya terus menyusuri sisi sisi hutan yang saat ini ia datangi.
"Oh, bukan ya? Udah ah, aku mau balik" kata wanita berbaju putih berjalan meninggalkan Pangeran Ansara ditengah hutan.
Pangeran Ansara yang kebingungan akhirnya memutuskan pergi mengikuti wanita berbaju putih yang ditemuinya, Pangeran Ansara berpikir bahwa dirinya mungkin saja bisa keluar dari hutan jika mengikuti wanita itu.
Ditengah perjalanannya, Gendhis berpikir mengenai laki-laki berbusana kerajaan yang mengikutinya. Dengan rasa penasaran yang besar, Gendhis beranikan diri untuk bertanya dan berusaha tidak mentertawakan jawaban yang diberikan laki-laki itu.
"Heh, kok kamu ngikutin aku sih?" tanya Gendhis berbalik badan menghadap Pangeran Ansara yang tiba-tiba berhendti dibelakang Gendhis.
"Aku hanya ingin keluar dari hutan ini dan kembali ke kerajaanku" jawab Pangeran Ansara dengan sopan santun.
"Kamu beneran dari kerajaan?" tanya Gendhis penasaran.
"Iya, Kerajaan Bramala. Ayahku Raja Aiden" jawab Pangeran Ansara lagi.
Gendhis menahan tawa dan menanggapi jawaban laki-laki itu dengan serius. Kini pandangan matanya malah teralihkan oleh ketampanan Pangeran Ansara yang merasa kegerahan dan mulai membuka jubah berburunya. Nampaklah tubuh atletis dengan lengannya yang berotot terbungkus busana kerajaan berlapis emas, rambutnya yang terurai panjang membuatnya nampak lebih menawan dihadapan Gendhis.
"Emm, oke. Kamu cuma ikut sampai keluar dari hutan ini kan? Ayo, ikut aku" kata Gendhis menunjukkan jalan kepada Pangeran Ansara.
Setelah berjalan cukup lama menyusuri hutan, sampailah mereka berdua didepan pintu masuk hutan yang ada dikaki gunung di Pulau Jawa. Gendhis yang merasa tugasnya selesai pun akhirnya pergi meninggalkan Pangeran Ansara dan kembali ke kontrakannya.
Sebuah rumah dengan pemandangan sawah didepannya dan sebuah gunung dibelakangnya. Gendhis tinggal sendiri di desa yang jauh dari hiruk pikuk perkotaan yang membuatnya sesak, ia lebih memilih tinggal dirumah yang dulunya ia tempati dengan kakeknya. Namun, setelah kakeknya meninggal dunia 5 tahun yang lalu. Gendhis memilih tinggal sendiri dan tidak kembali ke tempat tinggal orang tuanya, mungkin ada beberapa hal yang membuat dirinya malas kembali ke rumah orang tuanya di kota. Gendhis yang merasa lelah dan lengket diseluruh tubuhnya memutuskan untuk mandi dan bersiap-siap untuk merebahkan badannya diranjang tua peninggalan kakeknya. Baru saja kepalanya menyentuh bantal, terdengar suara kerumunan orang yang berjalan menuju balai desa dengan terus berteriak.
"Hukum! Hukum saja! Hukum dengan setimpal!" seru seorang laki-laki yang agak dikenali oleh Gendhis.
"Lepaskan! Lepaskan saya! Saya bukan pencuri!" teriak seorang laki-laki lain yang membuat Gendhis bangun dari tidurnya dan segera membuka pintu rumah untu mengetahui sesuatu yang sedang terjadi.
"Ada apa pak?" tanya Gendhis yang kini berada didepan rumahnya bertanya dengan salah seorang warga.
"Itu lho mba, ada yang nyuri jemuran warga. Trus dia juga ngambil beberapa buah masak dikebun warga" jawab seorang laki-laki paruh baya bernama Pak Beni.
"Ini, kita malah nemuin ini dikantong kresek yang dibawa" kata Pak Beni lagi.
Gendhis yang melihat pakaian itu segera mengenali orang yang sedang diarak warga menuju balai desa. Seperti enggan ikut campur dengan urusan orang lain, Gendhis kembali masuk kedalam rumah dan memutuskan untuk segera istirahat, karena besok dirinya harus kembali bekerja dan mencari uang untuk makannya sehari-hari.
Suasana begitu ramai, semua warga desa berkumpul dib alai desa. Semuanya seperti tersirat magnet yang sangat kuat ketika mendengar ada pencuri yang berkeliaaran dikampungnya. Seperti itulah hal yang biasa terjadi didesa, saling bertukar makanan, pikiran bahkan perasaan. Seluruh warga desa yang berkumpul seakan merasakan marahnya pemilik kebun dan jemuran yang dicuri oleh pencuri itu. Setelah berunding cukup lama, satu jalan ditemukan untuk menjadi hukuman dari perncuri yang sudah meresahkan warga. Keputusan akan dibacakan oleh kepala desa dan akan disepakati oleh seluruh warga desa yang berkumpul. Hampir saja, palu tanda keputusan kepala desa diketuk mengenai jari aparatur desa lainnya. Pasalnya kepala desa yang menyatakan keputusan dikagetkan dengan suara teriakan yang bersumber dibalik kerumunan warga.
"Tunggu!" seru Gendhis yang sedikit terengah-engah.
"Tunggu dulu, dia keluarga saya. Dia memang agak kurang waras, jadi untuk kalian yang merasa dirugikan. Silahkan ke rumah saya sekarang juga" jelas Gendhis kepada seluruh warga yang hadir malam itu.
"Apa-apaain nih? Kok saya. Aw" kata Pangeran Arsana yang dihentikan oleh cubitan Gendhis.
"Ohh, jadi itu sodara Mba Gendhis ya? Kenapa nggak bilang dari tadi, mba?" tanya Pak Beni kebingungan.
"Ah, iya. Saya pikir nggak mungkin saudara saya ini datang kesini, karena dia kan agak kurang pak" jawab Gendhis sekenanya.
"Emm, yaudah. Maaf ya semuanya, saya bawa pulang dulu saudara saya. Kalau boleh, kita selesain ini besok ya. Saya pasti ke rumah bapak-bapak sama ibu-ibu yang bersangkutan sama masalah ini" jelas Gendhis lagi.
Dirinya lalu mengajak Pangeran Arsana pergi meninggalkan balai desa dengan terburu-buru, hingga sampailah mereka berdua dirumah Gendhis. Pangeran Arsana merasa lega dengan kehadiran Gendhis sebagai penolongnya, ia lalu memberikan satu keping emas kepada Gendhis yang sedang sibuk mondar mandir didepan dirinya.
"Haduuuh, ini kalo mamah sama papah tau apa nggak berantakan hidup aku?" kata Gendhis yang sedari tadi gelisah dengan pilihannya menolong Pangeran Arsana.
"Ini, aku akan membalas mu dengan ini" kata Pangeran Arsana dengan memberikan satu keping emas kepada Gendhis.
"Aku nggak makan coklat" kata Gendhis menolak kepingan emas yang ia kira sebuah coklat uang yang biasa dirinya makan sewaktu kecil.
"Hah? Apaan nih? Kamu ngambil dari mana lagi siiiih? Haduuuuh" keluh Gendhis saat menyadari kepingan emas itu asli karena mendengar suaranya saat terjatuh ketika dirinya menolak pemberian Pangeran Arsana.
"Ini punyaku" jawab Pangeran Arsana sambil menunjukkan sebuah kantong berisi ratusan keping emas yang selalu ia bawa untuk berjaga-jaga jika saat dirinya pergi keluar istana dirinya tidak akan merasa kelaparan dengan membeli makanan yang dijual rakyatnya.
Rasa penasaran Gendhis semakin bertambah, dirinya lantas duduk dihadapan Pangeran Arsana yang duduk diatas kursi rotan ruang tamu. Dirinya lalu menatap Pangeran Arsana yang terlihat lusuh dengan baju daster yang diambilnya dijemuran warga, badannya pun penuh dengan tanah merah yang mongering diwajah dan lengan yang tidak tertutup kain.
"Bolehkah aku membersihkan tubuhku dahulu?" tanya Pangeran Arsana yang membuat Gendhis tersadar dari lamunannya.
"Oh, iya. Silahkan" jawab Gendhis beranjak dari tempat duduknya.
"Aku akan jelaskan semuanya ketika tubuhku sudah bersih dan apakah boleh aku meminjam baju mu yang menurut mu lebih besar dari yang kau pakai?" tanya Pangeran Arsana.
"Emm, udah. Kamu mandi sekarang, aku akan siapkan bajunya. Itu, kamar mandinya disana" kata Gendhis menunjukkan sebuah ruangan yang berada ditengah-tengah kamar dirinya dengan kamar kakeknya.
Setelah memastikan Pangeran Arsana masuk ke kamar mandi, Gendhis memutuskan mengambil beberapa pakaian mendiang kakeknya yang bisa dipakai Pangeran Arsana. Dibukanya pintu kayu dengan dernyitan using lama tak berpenghuni. Sejak kepergian kakeknya beberapa tahun yang lalu, inilah pertama kalinya Gendhis masuk kedalam kamar itu lagi. Lembab dan pengap ialah sambutan pertama ketika pintu kamar dibuka, sedikit terang dan berudara saat salah satu jendela dibukadan satu-satunya lampu dikamar itu dinyalakan. Diamatinya sudut-sudut kamar penuh kenangan bersama mendiang kakeknya, diliatnya lukisan wajah kakek yang terpampang jelas diatas dinding ranjang kayu. Matanya mulia berkaca-kaca dan hatinya mulai tak karuan, rindunya pada seorang kakek yang menyayangi dirinya lebih dari orang tuanya. Namun, dirinya kembali teringat akan niatnya masuk kekamar kakek hanya untuk mengambil pakaian untuk Pangeran Arsana. Gendhis buru-buru mencari beberapa pasang pakaian yang menurutnya cocok dan layak digunakan Pangeran Ansara sementara, sebelum besok dirinya bisa membelikan beberapa potong pakaian untuk Pangeran Ansara dipasar. Setelah selesai mengambil beberapa potong pakaian, Gendhis keluar dari kamar mendiang kakeknya dan bergegas memberikan pakaian itu ke Pangeran Arsana yang tengah membersihkan badan dikamar mandi.
"Tok! Tok! Tok!" ketuk Gendhis.
"Ini, bajunya aku taruh meja depan" kata Gendhis sambil meletakkan setelan baju berwarna biru coklat diatas meja samping pintu kamar mandi.
"He'em" jawab Pangeran Arsana dari dalam kamar mandi.
Setelah 15 menit lamanya, keluarlah Pangeran Ansara dari dalam kemar mandi dengan rambut panjang yang masih basah. Dirinya lantas menghampiri Gendhis yang sedang bermain hp diruang tengah. Tubuhnya yang tinggi dengan bahu yang lebar membuat Pangeran Arsana pantas menggunakan pakaian apa saja, sekalipun pakaian mendiang kakek Gendhis yang terkesan kuno. Gendhis yang melihat penampakan Pangeran Arsana semakin tidak sanggup berkata-kata, dirinya menatap langkah demi langkah Pangeran Arsana hingga duduk didepan kursinya.
"Baiklah, mau aku ceritakan dari mana?" tanya Pangeran Arsana yang kini tengah duduk dengan terus mengelap rambutnya yang setengah basah.
"Emmm, aku juga bingung. Terserah kamu saja, aku pasti dengerin. Tapi janji ya, ini bukan prank atau bohongan" kata Gendhis berusaha meyakinkan dirinya sendiri.
"Baiklah, semuanya berawal ketika adikku masuk kedalam hutan untuk berburu. Ia memang keras kepala, ia ingin dipuji karena bisa berburu tanpa aku. Lalu, dia masuk jauh kedalam hutan dan tidak kembali lagi. Aku pikir dia masuk kedalam hutan terlarang, kemudian aku masuk ke hutan terlarang. Namun, aku tidak bisa menemukan adikku hingga malam. Aku memutuskan untuk keluar dari hutan, karena takut ayah dan ibuku mencari aku dan adikku. Ditengah jalan, aku melihat mahkotaku yang hilang saat aku kecil. Aku berusaha mengambil mahkota itu, namun aku malah terperosok kedalam jurang dan aku tidak sadarkan diri. Lalu aku bangun dihutan pertama kali kita bertemu dan sejak itulah aku ada didesa ini. Aku juga tidak tahu dari mana datangnya gelang ini, gelangnya nempak seperti mahkotaku yang hilang sewaktu aku kecil" jelas Pangeran Arsana.
"Dan untuk saja kepingan uang ini tidak tertinggal diduniaku. Mungkin aku tidak bisa makan" imbuhnya lagi.
"Lah, iyalah bisa makan. Orang kamu ngambil buah dari kebun warga" jawab Gendhis menyindir.
"Oh iya, trus adik mu dimana?" tanya Gendhis.
"Entahlah, mungkin dia juga masuk kedalam desa ini. Makanya aku mencari-cari ke sekeliling desa, tapi aku masih tidak bisa menemukannya. Aku khawatir terjadi apa-apa dengan dirinya" jawab Pangeran Arsana dengan penuh kekhawatiran.
"Kita bisa kok cari adikmu besok, sekarang kamu tinggal disini aja. Kamu bisa pake kamar kakekku, tapi jangan diberantakin" kata Gendhis lagi.
"Baiklah, aku bayar baju ini" kata Pangeran Arsana yang memberikan kepingan emas tadi untuk membayar pakaian yang dipakainya.
"Nggak usah, mending ini buat bayar pakaian sama buah yang kamu curi kemarin aja" jawab Gendhis yang masih menolak kepingan emas itu.
"Tidak papa, besok mereka akan aku beri masing-masing satu keping. Ini untuk mu, terimalah" paksa Pangeran Arsana yang memang tidak ingin merasakan hutang budi kepada siapa pun.
"Yaudah, eh ini wajah kamu?" tanya Gendhis yang menyadari kepingan emas itu berlukiskan wajah Pangeran Arsana.
"Iya, karena aku yang akan menjadi pewaris tahta kerajaan Bramala. Ayah menghadiahkan kepingan emas dengan wajahku untuk ulang tahunku yang ke 17 tahun, 3 tahun yang lalu" jawab Pangeran Arsana sambil ikut memandangi lukisan dirinya dikepingan emas yang ia bawa.
"Kamu besok mau kasih ini ke semua warga yang kamu curi pakaian dan buahnya? Apa mereka nggak curiga?" tanya Gendhis yang mulai menutup jati diri Pangeran Arsana dari warga.
"Lalu bagaimana? Aku tidak ada uang lagi selain ini, kami juga menggunakan ini di kerajaanku. Ini sama harganya dengan seekor domba dan beberapa karung gandum" jelas Pangeran Arsana yang merasa bingung.
"Udah, besok kamu ikut aku ke kota. Sekalian beli pakaian buat kamu" jawab Gendhis sembari menutup semua jendela dan pintu karena hari beranjak malam dan dirinya mulai mempersilahkan Pangeran Arsana tidur dikamar mendiang kakeknya, lalu dirinya masuk kekamarnya untuk istirahat sebelum besok beraktivitas kembali.
Kalo kalian dapet kepingan emas dari Pangeran Arsana buat apa? Kalo mimin sih buat beli tiket konser idol kali ya? xixixixi ~