webnovel

. BARU MENYADARI

Benar yang Mario bilang mengenai kampusnya sekarang. Bahkan saat ini Reyna sudah mempunyai teman, padahal dia tidak banyak bicara pada orang lain. Mereka semua memang ramah dan belum ada satu orang pun membuatnya kesal, Reyna sudah pasti yakin kalau dia akan betah dan nyaman mencari ilmu di sana. Selain Reyna yang tidak tahu beberapa ruangan di sana, justru teman barunya siap siaga membantunya sampai menemukannya.

Walau hanya memiliki dua teman saja, tetapi Reyna masih sangat bersyukur. Setidaknya mereka tulus ingin berteman dengannya, Reyna sudah senang. Mungkin lebih buruk lagi jika tidak mempunyai teman sama sekali. Jika soal teman Reyna tidak akan mementingkan juga, sih. Dia akan marah jika menyangkut satu keluarga, misal seperti tetangga komplek nya yang selalu saja membicarakan dari dirinya hingga kedua orang tuanya. Reyna mengingat kalau dia tidak pernah mempunyai salah apapun pada mereka, tetapi kenapa mulut ibu-ibu komplek sana terlalu mengumbar orang yang bahkan tidak pernah tegus sapa.

Reyna bahkan selalu mengerutu seperti, The biggest problem with closed minded people is their mouth is always open.

Mau bagaimana pun juga memang mereka yang melihat Reyna nampak dari luar saja tanpa mengetahui asli dan bagaimana dalam diri anak perempuan itu.

"Rey, kita pulang duluan, ya. Kamu apa ada yang jemput? Atau mau barengan aja?" Sari, teman kampus Reyna menawarkan.

Reyna mengulum bibir, dia sedang berpikir. "Tapi rumah kita tidak searah, aku ga mau merepotkan kalian juga."

Kedua temannya itu saling memandang dan menekuk wajahnya. "Rey, sekali aja. Kita mau nganterim kamu duluan, kok." kali ini Desty yang angkat bicara.

Reyna menimang, dia harus mengabulkan atau batu untuk tetap tidak bersama.

"Gimana kalian berdua aja, deh. Aku ngikut." tandas Reyna.

"Nah, gitu dari tadi." lontar kedua temannya bersamaan.

Reyna tersenyum samar, bahkan saat memiliki teman sebelumnya pun dia tidak pernah di paksa untuk pulang bersama. Di bandingkan dengan kedua temannya yang sekarang justru teman dulunya masih satu arah dengan Reyna, mungkin juga karena semua temannya di jemput oleh sopir pribadi dan pikiran Reyna tertuju dengan takut merepotkan.

Kata itu seakan ada pada apapun dalam diri Reyna.

"Reyna."

Baru saja tiga cewek itu berjalan beberapa langkah suara yang memanggil salah satu temannya itu membuat mereka berhenti melangkah.

"Oh, Kak Mario."

Desty dan Sari saling melempar senyuman jahil, maksud untuk menggoda Reyna.

"Kamu udah mau pulang, kan? Bareng aja, yuk." cowok itu tersenyum mengajak Reyna, kedua temannya masih saja menggodanya Reyna menjadi bingung.

"Maaf, Kak. Tapi, aku mau pulang bareng kedua temanku." Reyna sebenarnya tidak enak hati juga pada Mario, sebelumnya dia ke kampus bersama cowok itu. Reyna juga sudah mengiyakan ajakan dari para temannya.

"Rey, ga pa-pa terima aja. Kita bisa pulang berdua, kok." kata Desty, lalu menatap Mario. "Kak, kita titip dia, ya. Pokoknya jangan sampai lecet, hehe."

Reyna sedikit mendengus dan menyenggol lengan temannya, " Des, kamu apaan, sih." bisiknya yang tidak suka.

Sari menimpal, "Iya, Rey. Kita pulang berdua ga pa-pa, kok. Lagian bisa lain waktu juga."

"Tapi kalau kamu mau bareng sama teman-temen kamu juga ga masalah, biar sama aku yang lain hari." Mario merasa bersalah, dia pikir mereka tidak ada janji pulang bersama sebelumnya.

"Eh, engga. Reyna, mau pulang bareng, Kakak..., iya 'kan, Rey?" mulut Desty memang perlu Reyna lakban. Kenapa bisa cewek itu mengomporinya?

"Tapi.., aku ga mau terus repotin, Kakak." tutur Reyna.

"Sejak kapan, sih? Kamu jadi beban aku?" Mario tersenyum manis, "lagi pula ini aku yang ajak, bukan permintaan kamu."

"Reyna, kenapa kamu lama mikirnya? Kak Mario, pasti udah pegel berdiri terus." Sari menengahi, Reyna menjilat bibir bawahnya yang terasa kering dan menjawab, "Yaudah. Aku bareng sama, Kak Mario."

***

"Terima kasih banyak, jangan lupauntuk mampir kembali, ya." suara ramah dari Citra memang selalu terdengar biasa oleh para pelanggan, cewek itu memang pantas berada di kasir. Bahkan ibu-ibu yang sudah biasa belanja di sana saja menginginkan di layani oleh Citra, karena karyawan lain yang melayani seadanya saja.

"Halo, neng. Sibuk terus kayaknya, nih." Cipto yang selalu mengganggu aktivitas Citra, kali ini dia juga tidak ada kerjaan menggoda cewek itu.

"Bantuin, Dena. Kamu mumpung udah selesai angkutin roti, dia keliatan kesusahan tadi." Citra membalas seadanya karena sibuk dengan pelayanan. Cipto memang tidak ada niat untuk membantu, dia hanya ingin memastikan cewek itu tidak kembali melamun.

"Oke, deh." akhirnya cowok itu melaksanakan ucapan dari temannya.

Citra mengehela napas dalam, dia melirik temannya yang terlihat lesu. "Airin, kamu kenapa?" tanyanya.

Teman di sampingnya sekilas melirik, "Eum, engga. Gue ga pa-pa, kok."

Citra jadi ingat saat Reno mengintruksi cewek di sebelahnya ini. Sebenarnya ada apa? Apa perlu dia bertanya kembali tentang permasalahan tempo hari? Karyawan cewek itu memang baru masuk beberapa minggu lalu dan Citra tidak begitu mengenal dekat. Apa dengan Citra bertanya juga hubungan mereka bisa juga dekat? Mungkin sebagai perkenalan juga?

"Airin.."

"Maaf, ya. Gue izin ke belakang, nanti ada yang gantiin gue, kok." padahal baru saja Citra ingin menanyakan sesutu, namun lawan bicaranya seakan mengalihkan dan kabur dari hadapan Citra.

"Aneh." gumam Citra. Dia semakin yakin kalau Airin dengan Reno memang mempunyai masalah yang sangat serius. Reno memang sudah memergokinya, namun Citra beralasan lain agar Reno tidak curiga dan beruntungnya cowok itu percaya saja.

Entah tidak ingin berurusan dengan Citra atau memang Reno malas mengurusi si penguping.

Jelasnya hanya Airin yang harus Reno tindak tangani, bukan orang lain. Karena sejak awal terget si biang masalahnya itu adalah orang baru di dalam toko rotinya saat ini, sebelumnya tidak ada yang bermain di belakang.

Diam-diam Reno memerhatikan gerak-gerik dari Citra. Cowok itu menatap tanpa ada ekspresi di wajahnya, datar.

"Gue harus arahin waktu yang tepat."

________

Mario terkadang melirik Reyna yang sama sekali tidak bicara, mereka masih di dalam mobil. Dari saat meninggalkan kampus cewek itu sudah menjadi pendiam, Mario sampai bingung harus mengajak bicara apa. Padahal saat mereka sebelumnya satu mobil juga Reyna yang lebih banyak bertanya, namun Mario sama sekali tidak ada bahan untuk mengajak Reyna mengobrol.

"Kak Mario," Reyna akhirnya bicara, memecahkan rasa canggung dari Mario.

"Iya, Rey. Kenapa?"

Reyna melirik cowok di sampingnya sekilas, "Kalo boleh tau.., kenapa, Kakak, mau anterin aku? Rumah aku ga deket, loh. Muter-muter juga, apa ga capek?"

Cowok itu tertawa kecil, "Aku seneng aja. Kita pernah satu sekolah juga. Ya, walau pun ga pernah saling nyapa."

Reyna pikir hanya perasaannya saja yang begitu, ternyata Mario pun sama hal nya. Tetapi apa alasannya hanya karena Reyna yang ingin meneruskan sekolahnya ke Universitas yang juga dia tempati? Tapi tahu darimana? Reyna baru menyadari sekarang, kenapa tidak dari kemarin?

"Kakak, tau dari mana juga kalau kampus itu adalah tujuan aku? Kakak 'kan Kakak kelas, aku yang mau lanjut ke sana aja harus nunda lebih dulu, ga mungkin pihak kampus ngasih tau siapa aja yang ingin daftar, kan?"

Creation is hard, cheer me up!

Carrellandeouscreators' thoughts
Next chapter