webnovel

Kehidupan Di Ujung Kematian

"Ini roster ujian. Kalian catat, dan lihat jam masuk sesuai sesi masing-masing. Kemungkinan masih kayak semester lalu, di gabung sama adik kelas. Berhubung kelas 12 sudah tamat, jadi mungkin ujian kali ini tidak seperti tahun lalu. Jadi, saya harapkan kalian tetap memasang sopan santun dan etika. Paham?"

"Paham Bu!"

Aila hanya menggumam kecil sebagai jawaban. Tangannya mulai mencatat roster itu dan melihat pelajaran sesuai sesinya, dia mendapatkan sesi 1. Yang saat Senin dan Selasa masuk pagi, Rabu dan Kamis masuk siang, dan Jumat Sabtu pagi lagi. Cukup santai.

"Kita beda sesi, Ai," bisik Ryan yang kini mencatat Rosternya. Aila menatapnya sejenak kemudian mengangguk.

"Beda lagi. Masih kayak semester lalu berarti," balas Aila dan tetap memfokuskan perhatiannya pada papan tulis.

"Lo jangan keganjenan sama adik kelas loh. Gue potong tuh leher kalo berani," ketus Ryan mulai posesif seperti biasanya.

Mikaila terkekeh, kemudian mengangguk. Sesungguhnya, ujian adalah hal yang paling dia hindari. Di luar negeri, jelas sekali bahwa di sana lebih cepat seminggu menerima rapot dan hasil ujian. Di sana tidak ada pengumuman rangking juara 1, 2 dan seterusnya. Melainkan siswa paling berprestasi akan di umumkan langsung di lapangan, dan itu tentu lebih membanggakan.

Dan sialnya, Ayka—saudara kembarnya, selalu menduduki peringkat 1 nilai tertinggi di sekolahnya. Selalu dibandingkan dan saat menunggu menerima rapot nanti, maka Ayka sudah di rumah, dan hasil yang saudara kembarnya dapatkan akan jadi tekanan untuknya.

"Intinya, kalo ada kesulitan. Kita bisa belajar bareng, atau ntar deh gue kasih tau lo soal ujiannya. Biar lebih mudah kalo gue sesi 1. Lo tinggal hapalin doang jawabannya. Apalagi biologi," jelas Ryan dengan nada berbisik.

Aila tertawa pelan. Ryan selalu saja mampu menaikkan moodnya.

"Gue yakin lo bisa lampauin gue. Juara 1 itu bakalan gue kasih ke elo, karna elo yang pantes duduk di rangking itu. Bukan gue. Usaha lo jelas lebih besar dari pada gue," imbuh Ryan bersungguh-sungguh.

Aila menepuk pundak Ryan beberapa kali. Merasa lebih baik sekarang. Ayka bukanlah masalah besar, tapi jujur saja, dia selalu merasa diabaikan dunia saat ada saudaranya itu.

"Makasih banyak, Ryan."

Ryan mengelus puncak kepala Aila, jelas paham bahwa gadis itu sedang dalam keadaan tidak baik-baik saja. Pasti ada sesuatu yang terjadi padanya.

"Gue ditekan lagi Yan biar dapat juara 1. Hadiahnya, gue bisa ketemu sama Bang Ael. Udah lama nggak ketemu Abang," katanya mulai membuka cerita. Ryan tersenyum, merasa senang sahabatnya mulai membuka diri kepadanya.

"Itu buat memotivasi lo. Biar lo tuh, semangat, jadi sekarang yang semangat sayangku! Smangat buat ketemu Abang lo."

Aila mengangguk, memang benar. Lebih baik mengambil sisi positif nya saja. Toh berpikir negatif itu akan jadi sulit.

Malam itu, malam di mana Aila berbohong kepada Bundanya dan bundanya meminta untuk berbicara sesuatu dengannya adalah untuk menekan gadis itu agar mendapatkan juara 1. Dan lagi, beban Aila semakin berat.                   

Hari pertama ujian, dengan mata pelajaran Agama Islam dan Bahasa Inggris serta Sejarah berjalan lancar. Aila dengan mudah menjawab semuanya, hanya saja sedikit kesulitan di bagian Sejarah. Karena memang, menghapal adalah suatu kesulitan baginya.

"Baik lah anak-anak. Kumpul sesuai Absen, dan kelas," perintah guru pengawas di depan sana. Aila menghela nafas, untung saja jawabannya sudah lengkap. Kalau tidak mungkin nilai 90 sudah Ai dadah saja.

"Kak."

Aila menoleh ke arah samping, di mana seorang gadis bersoflen menatap penuh harap ke arahnya. Bibirnya dibalut lipstik merah, sedikit risih Aila melihatnya tapi tak berkomentar karena malas membuat masalah.

"Ya?" balasnya, merasa malas. Jelas sekali tahu, itu akan menanyakan jawaban dari ujiannya karena waktu sudah sangat tipis.

"Boleh minta bantuan?"

Aila menghela nafas. Adik kelasnya ini sangat indah di bagian penampilan, tetapi di bagian otak ... lebih baik menurunkan jempolnya.

"Nomor berapa?" tanyanya berbisik, kemudian menatap ke arah depan yang tampak sedang mengumpul kertas jawabannya.

"3 sama 8 kak."

Dengan segera gadis itu membacanya pelan. Kemudian tak sengaja berdecak saat melihat soalan itu adalah soal paling mudah menurutnya. Dengan pelan, Aila memberitahu nya membuat gadis itu secepat mungkin menulisnya.

Kini, gilirannya yang maju. Dia segera beranjak dan mengumpulkan jawabannya. Kemudian kembali ke kursinya dan mengemasi barang-barang miliknya.

"Makasih banyak ya, Kak," ucap gadis itu dengan tulus.

"Hm. Lain kali perbaiki otak dulu ya, baru penampilan," sindir Aila dan berjalan keluar karena bagi yang sudah mengumpul kertas ujian boleh keluar.

Sedikit puas menyindir gadis seperti itu, karena Aila sejujurnya sangat tidak menyukai orang yang terus bersangkutan kepada orang lain. Apalagi saat ujian. Sangat tidak etis. Juga, tadi hanya berbicara jadi dia tak membuat masalah bukan?                  

***

"Gimana ujian hari ini Ai? Lancar? Ada kendala?"

Aila yang sedang menyantap makan malamnya menatap sang kepala keluarga dengan datar. Entahlah, dia terkadang lelah terus ditekan untuk menjadi nomor 1, tapi melawan juga tidak ada gunanya.

"Lancar kok, Yah," sahutnya dan memasukkan sesendok nasi ke mulutnya.

"Ingat, usahakan jadi juara 1. Contoh saudaramu, dia saja selalu mendapatkan juara 1. Biar kita liburan ke tempat Bang Ael," celetuk Bundanya terus menekankan agar juara 1.

"Benar. Nilai kamu harus 90 semua. Paling rendah nilai kamu nanti 88. Ayah pastikan kamu pasti jadi juara di lapangan," timpal  Ayahnya mendukung pendapat sang Bunda.

Aila mengaduk-aduk makanannya. Merasa tiba-tiba tidak nafsu lagi. Selalu saja membicarakan ini, yang membuat Ai bosan dan lelah.

"Ayah, otak aku sama Ayka beda. Ayah lihat, Ayka pintar sampai dia bisa sekolah di luar negeri. Jelas dia lebih unggul dariku, aku udah usaha dapat nilai 90, tapi gagal. 90 itu nilai tinggi ayah. Aku nggak sanggup dapat nilai segitu," jawab Aila mencoba membuat pertahanan Ayahnya tentang nilai 90 buyar.

"Ai! Jangan membantah! Ayah memaksamu kayak gini juga buat kebaikan kamu sendiri! Kamu jadi dokter dan sukses itu juga buat kamu sendiri! Bukan ayah!"

Aila mulai ketakutan, hanya saja sedikit keberaniannya muncul hingga dia berkata, "Ayah, maksud aku, bukan itu. Turunin standar nilainya, 80 itu—."

Prank!

Gelas yang berada di tangan ayahnya melayang tepat mengenai pelipisnya. Hal itu membuat darah bercucuran. Bukannya menolong, kedua orang tuanya justru membiarkan darah itu mengucur deras.

"Melawan sekali lagi, ayah nggak segan-segan hajar kamu!"

Aila menutup luka itu menggunakan tangannya. Merasa kesal kali ini. Dengan sebal, dia berdiri. Membiarkan darah itu keluar.

"Aku lelah ayah! Aku capek terus kalian tekan! Aku juga punya keinginan sendiri! 8 tahun ayah! 8 tahun bunda! Kalian tekan aku! Bunda, ayah, aku sama saudara yang lain itu berbeda! Kapasitas orang itu berbeda! Aku nggak mau jadi dokter! Aku mau jadi arsitek! Aku nggak peduli sama kalian!" pekiknya mengeluarkan unek-unek yang dia tahan selama ini.

"Kamu!"

Aila menatap wajah ayahnya dengan tajam. Kali ini, entah dengan memikirkan dukungan Ryan dia berani melawan.

"Berani melawan?"

Aila diam saja, masih mempertahankan tatapan tajamnya. Tanpa diduga, sang Ayah berdiri dan meraih lengan kanannya. Menyeret gadis itu menuju ke kamar mandi belakang, kamar mandi utama yang digunakan untuk mencuci piring dan lainnya.

"Masih mau melawan ha?!"

Plak!

Tamparan manis mendarat dengan sempurna di pipi kecil Ai. Seketika, kesadaran Ai kembali.

"Masih mau melawan?"

Aila menutupi wajahnya menggunakan kedua tangan, berharap tamparan itu tidak mengenai wajahnya. Rasanya cukup pusing dan berkunang-kunang saat ini, pandangannya mengabur.

"Kamu mau jadi anak durhaka ha?! Iya?!"

Byur!

Air di dalam bak mandi itu mengguyur tubuhnya karena disiram oleh Ayahnya. Tidak ada perlawanan dari Aila, gadis itu hanya diam saja menikmati rasa sakit yang terus menghantam kepalanya.

Tuhan, tidak bolehkah aku mati saja saat ini? gumam Aila yang tak tahan lagi dengan penderitaan yang dialaminya saat ini.

-Bersambung ....