webnovel

Should we?

Deket sih, Saling ngasih perhatian, Saling nyaman, Tapi... Nggak jadian.

-Anonym-

©

"Kamu nonton apa?"

Gean baru selesai mandi langsung ikut duduk di samping Tria yang sejak tadi sibuk menonton film di ponselnya. Tria kini tengah duduk nyaman di atas sofa nyaman milik Gean, setelah perdebatan panjang soal teh gelas dan teh kotak akhirnya Tria mengikuti keinginan Gean yang mengajaknya ke appartemennya.

Kata Gean sih biar memudahkan, ia jadi tidak perlu menjemput Tria. Mereka bisa langsung pergi ke tempat tujuan tanpa harus ke indekost Tria.

"Tenggelamnya kapal Van Der Wijck,"

Harum sabun yang menguar sama sekali tak mengganggu kefokusan Tria. Ia masih begitu konsentrasi menyimak kisah Hayati dan Jaenudin.

"Seru?" seolah ingin mengganggu Tria yang begitu tekun menonton, Gean mengintip sedikit pada ponsel Tria.

"Lumayan, filmnya bagus. Mengangkat kisah adat Minang yang khas. Kasian Hayati," jelas Tria.

"Udahan? Kok cepet sih?"

"Iya, karena saya udah nonton setengahnya dari semalem. Cuman ketiduran, baru lanjut sekarang."

Rasanya Tria malas pergi menemui Aruna, berguling-guling di sofa milik Gean ternyata cukup nyaman. Rasa ngantuk melambai-lambai meminta dipuaskan. Pukul sebelas siang, masih tiga jam lagi untuk sampai ke pukul dua siang.

"Kenapa?" tanya Gean saat Tria masih termenung seperti ayam yang mau dipotong. Gean menyalakan televisinya, mencari chanel yang menurutnya menarik.

"Saya masih kasian sama Hayati," ucap Tria. Kisah Hayati memang sangat menyentuh, "Dia mencintai Jaenudin dengan begitu sangat, meski ia sudah dipinang oleh lelaki lain."

"Menurut kamu layak nggak perempuan beristri menyimpan perasaan terhadap pria selain suaminya?"

Pertanyaan Gean menarik perhatian Tria, tubuh Tria langsung terduduk tegak menatap Gean. Ia termenung sejenak.

"Kok diem?"

"Pertanyaan yang sulit, otak saya belum diupgrade." kata Tria. Sebenarnya Tria punya jawaban sendiri, hanya saja ia terlalu takut untuk mengungkapkan.

"Tinggal jawab, boleh atau enggak aja. Tria? Come on, kamu biasanya paling skeptis masalah kayak gini." pancing Gean.

Perdebatan-perdebatan kecil masalah strereotip masyarakat antara Gean dan Tria memang sering terjadi. Bukan satu atau dua kali mereka berselisih pendapat.

"Nggak boleh, kalau menurut saya. Wanita bersuami itu tidak boleh mencintai lelaki lain selain suaminya. karena secara tidak langsung itu adalah penghianatan, meski tak terlihat tapi pasti terasa."

Gean mengangguk-anggukan kepalanya, "Kalau wanita itu menikah karena dipaksa, atau bahasa mudahnya dijodohkan. Gimana menurut kamu? Ini kan masalah hati, kalau memang nggak cinta masa mau dipaksa."

"Bukan masalah hati, tapi masalah kemauan dan usaha. Kalau memang pria yang dinikahinya itu layak dan tanggung jawab dengan perasaannya kenapa mesti ragu untuk mencintainya." Tria tahu jam terbangnya masalah cinta memang tak mumpuni, ia hanya mengandalkan logika dan teori realita dari apa yang telah kehidupan ajarkan padanya.

"Cinta itu nggak bisa dipaksa Tria, itulah kenapa masih banyak pasangan suami-istri yang menyimpan perasaan terhadap mantan kekasihnya dulu."

Ucapan Gean tak sepenuhnya salah, namun tak bisa dibenarkan juga oleh Tria.

"Nggak bisa dipaksa tapi kalau mau berusaha bisa dicoba," kata Tria. Ia menarik sudut bibirnya tersenyum. "Pak Gean juga bisa cinta sama saya, mau coba?"

Tria menaikan kedua alisnya, ia sempat terkejut melihat wajah Gean yang serius menanggapi ucapannya. Padahal Tria tak punya maksud apapun dengan mengatakan itu, hanya spontanitas agar Gean diam.

"Kenapa?" tanya Tria saat Gean masih terdiam, rasanya lucu bisa membuat Gean tak berkutik seperti ini. Ada hal baru yang bisa dirasakan Tria, seperti perasaan bangga bisa mengerjai bossnya. "Pak Gean takut ya cinta sama saya?"

Masih diam,

Tria akan terus berceloteh seperti bibi pencerita dongeng sebelum tidur, mengatakan hal bermacam-macam yang semakin membuat Gean berpikir jika Tria mungkin ke sambet setan.

"Saya perempuan, Pak Gean laki-laki. Kita bisa melakukan hal-hal yang dilakukan di film dewasa itu lho Pak." Tria tampak bersemangat, ia masih merasa jika dirinya bisa mengerjai Gean dengan ucapan-ucapan selorohnya.

"Kok diem aja sih Pak?" Tria mendongakan kepalanya, tepat seperti anak anjing yang minta diperhatikan pemiliknya. "Nggak mau coba sama saya? Siapa tahu Pak Gean bisa lebih cinta sama saya dibanding Aruna."

"Tria," Gean tampak gugup. Mungkin lebih tepatnya sedikit khawatir dengan sikap Tria yang tak seperti biasanya.

Lalu...,

Tawa Tria pun pecah mengisi ruangan yang sejak tadi hanya terdengar celotehan suara televisi, napas Gean terdengar menderu saat Tria tak henti tertawa terpingkal-pingkal.

"Pak Gean serius banget sih?" Tria mengusap sudut matanya, ia bahkan sampai mengeluarkan air mata karena tertawa. "Saya kan becanda, tapi tampang Pak Gean udah kayak denger alarm darurat. Tegang."

"Kamu pikir ini semua lucu?" ucap Gean. Ia mengambil jarak dari Tria, membuang napas beratnya. "Setelah apa yang kita lalui, saya pikir kamu tidak akan memperolok saya. Hanya karena saya pernah terluka karena Aruna kamu menjadikan ini semua lelucon."

"Pak," Tria menelan ludah pelan. Ia sepertinya sudah salah mengambil langkah.

"Stop this shit, Tria." geram Gean.

Tangannya mencengkram erat lengan Tria yang mencoba meraih tangan Gean.

"Saya lebih baik kembali dengan Aruna dibanding harus mencoba jatuh cinta dengan kamu."

Ada luka yang tak terlihat

Ada hati yang patah

Dan ada aku yang selalu di

sampingmu, bukan Aruna.

...

06-03-2019