7 A little bit more

Masih berharap, dan terus berharap. Lama-lama gue jadi juara harapan.

-Anonim-

.

.

.

.

Ini adalah pesta ulang tahun pemilik Kaho Grup, sebenarnya Tria bisa saja tidak ikut dengan Gean. Apalagi setelah ucapan Gean di dalam mobil tadi, Tria semakin merasa malas berada di antara orang-orang yang memang bukan golongannya.

Seperti apa yang Gean katakan, ia seharusnya tahu dimana posisinya. Bukan seenaknya mencampuri segala hal tentang Gean, hanya karena dirinya sudah bersama dengan Gean selama lima tahun bukan berarti Tria merasa lebih baik dari siapapun perempuan yang telah mengenal Gean.

Ingat, ia hanya sekretaris yang dibutuhkan untuk memudahkan segala kegiatan Gean.

Sebelum duduk santai menikmati hidangan, Tria sudah menemani Gean menyapa beberapa relasi kerjanya. Ketika Gean membutuhkan sedikit privasi maka Tria mundur secara teratur mencari udara untuk paru-parunya yang sedikit pengap sekarang.

"Whiskey?" tawar seorang Pria dalam balutan tuxedo coklat, "Or Wine?"

Tria menggeleng lemah sebagai bentuk penolakan, ia menunjukkan cocktail strawbery non alkohol di gelas yang sedang ia genggam. "I have this, no alkohol."

"Cocktail?" tanyanya, pria itu tersenyum menatap Tria yang hanya memainkan gelasnya.

"Ya,"

"Kaho Grup akan memperluas bidang usahanya sampai packaging." celoteh si Pria, mungkin ia berusaha membangun percakapan.

Tria mengangguk, ia tahu soal ini. Menjadi sekretaris Gean membuat Tria tahu banyak mengenai perkembangan Ekonomi. "Ya, bisnis yang lumayan menguntungkan. Mereka melakukan ini agar profit hanya berpusar di antara mereka tanpa memberi celah untuk pesaing."

Tak terasa tiga puluh menit berlalu, percakapan santai Tria dengan pria yang tak dikenalnya sungguh diluar prediksi. Ia pikir akan membosankan, ternyata ia banyak tersenyum.

"Kamu lebih suka indomie rasa apa?"

Sebenarnya Tria ingin tertawa, bagaimana bisa pertanyaan seperti itu terlontar dari Pria dalam balutan Tuxedo dengan tampang di atas rata-rata.

"Indomie Ayam Bawang," jawab Tria. Ia melihat ke sekitar, untuk memastikan jika Gean tak benar-benar butuh dirinya.

"Miss Ayam Bawang?" pria itu memanggil Tria dengan santai.

"No, Tria. Kamu bisa panggil aku Tria."

"Darren." satu jabatan hangat Tria terima dari Pria bernama Darren, "Rasanya menyenangkan punya temen ngobrol seperti kamu diacara yang cukup membosankan."

Senyum kembali merekah di wajah Tria, ternyata bukan hanya ia yang merasa acara ini membosankan.

"Ternyata kita satu pemikiran," ucap Tria. Biasanya jika acara seperti ini Tria akan menunggu sendirian sampai Gean selesai berbincang dengan relasi bisnisnya, setidaknya malam ini Tria punya teman bertukar pikiran.

"Aku hampir ingin melarikan diri dari pesta ini," kali ini Tria berusaha jujur dengan Pria yang dikenalnya kurang dari satu jam. "Anggap saja kali ini aku beruntung bertemu kamu."

"Melarikan diri kayak cinderella, gitu?" Darren tampak kagum, ia menggelengkan kepalanya sebelum melihat jam yang melingkar di tangannya, "Sayangnya ini belum jam 12, kamu masih harus menemani aku ngobrol."

Darren mengambil beberapa hidangan penutup yang disediakan, "Apple Gallete with Vanilla Yogurt, tadinya mau ngambil Mini Cheesecakes with Wine Gelees. Keliatannya enak, tapi kamu nggak suka alkohol."

"Thanks,"

"Kamu suka?"

Darren adalah type pria yang banyak bicara, namun bukan melontarkan modus-modus yang biasa dilakukan pria hidung belang. Lewat pembicaraan yang menurut Tria menyenangkan Darren bisa dengan mudah mengakrabkan diri.

"Yoghurtnya enak," Tria masih bisa merasakan sedikit asam di mulutnya.

"Kamu suka yoghurt?"

"Lumayan, bagus untuk pencernaan. Dibanding alkohol," sindir Tria, ia melirik wine yang masih diteguk Darren.

"Lo lagi ngapain?" sebelah alis Tria terangkat menyadari siapa yang telah melontarkan tanya. Gean.

"Apa kabar, Ge?" Darren mengulurkan tangannya, Tria yakin itu hanya sekedar basa-basi. Aura di sekitar mereka jelas bukan aura positif. "Lama nggak ketemu."

"Lo ngapain deketin, Tria?"

Gean terlihat semakin tak nyaman, ia menatap tajam ke arah Tria saat Darren tak kunjung menjawab. "Saya mau pulang, kamu masih mau di sini?"

Gelengan cepat Tria disambut oleh tarikan kencang Gean di tangannya, dengan langkah tergopoh Tria mengikuti Gean. Sebelumnya Darren hanya tersenyum seraya melambaikan tangannya.

"Kamu kenal dia?" tanya Gean saat sudah di dalam mobil. Tatapan tak bersahabat milik Gean membuat Tria sedikit bingung, rasanya ia tak melakukan sebuah kesalahan.

"Baru kenalan tadi, emangnya kenapa Pak?"

"Jangan deket-deket dia," tegas Gean. Walau sebenarnya bukan urusan Gean membatasi dengan siapa Tria harus bergaul. "Nggak baik buat kamu."

"Buat saya atau Pak Gean, saya merasa Darren orang yang baik." Tria akui itu, Darren tidak sombong atau songong seperti Gean.

"Ayolah Tria, jangan deketin dia lagi okay."

"Kenapa?"

"Karena saya nggak suka Darren."

Kening Tria sukses mengerut bingung, memang apa yang salah dengan Darren sampai Gean tak menyukai pria itu. Selama bekerja dengan Gean, Tria tak pernah mendengar nama Darren keluar dari mulut Gean.

"Pak Gean sendiri yang bilang, kalau saya harus tau batasan. Mana hal yang boleh saya urusi dan mana yang tidak, begitupun saya. Pak Gean harus tau dimana Bapak bisa ikut campur dan mana yang tidak." memangnya hanya Gean yang bisa berbicara seperti itu, Tria juga punya aturan mainnya sendiri.

Raut wajah Gean jelas menunjukkan ketidaksukaannya terhadap ucapan Tria.

"Kalau Pak Gean terus memonopoli saya dan membatasi ruang gerak saya, saya bisa jadi perawan tua." tambah Tria.

Kenyataannya Tria ingin segera melepas status lajangnya sebelum usianya menyentuh kepala tiga.

"Memangnya kenapa dengan perawan tua?"

Kali ini Tria rasanya ingin menyiram kepala Gean dengan air dingin, kenapa ia harus bertanya seperti itu.

"Kamu punya saya untuk bersandar, kenapa harus menikah kalau hidup sendiri saja sudah cukup membuat kita bahagia?" Gean sepertinya benar-benar sudah tercuci otaknya, mungkin akibat pernikahannya yang batal dua tahun lalu.

"Kita?" tanya Tria tak mau kalah, seenaknya saja Gean memberikan statement.

"Saya berbeda dengan Pak Gean, saya masih butuh orang lain untuk diajak hidup bersama."

"Kan masih ada saya, kita bisa hidup bersama."

Sadar atau tidak dengan ucapannya, yang jelas Gean sudah membuat udara cukup sulit masuk ke paru-paru Tria.

"Kenapa kita harus menikah? Tanpa ikatan pernikahan pun kita bisa hidup bersama." jelas Gean, dan tentu saja tanpa mau dibantah.

"Hm... " Tria bergumam seraya mengangguk-anggukan kepalanya, "Sekarang saya tau kenapa Pak Gean nggak pernah mau menjalin hubungan dengan perempuan lain setelah Aruna."

Gean menyipitkan matanya, jelas saja ucapan Tria membuatnya sedikit berpikir. Memang kenyataannya ia belum pernah menjalin hubungan dekat lagi dengan seorang wanita setelah hari pernikahannya yang batal saat itu.

"Pak Gean terlalu takut memulai, mungkin Pak Gean trauma." analisis Tria yang sedikit ngawur mungkin ada benarnya. "Tapi jangan membuat itu sebagai alasan, sampai Pak Gean tak mau berumah tangga."

"Kamu belum tau rasanya ditinggalkan, saat kamu benar-benar yakin dengan apa yang kamu genggam."

Wajah Gean menyiratkan luka yang masih menganga. "Rasanya sakit."

Tria jadi tak enak hati, Gean butuh bangkit dan rasa maaf. Memaafkan apa yang sudah Aruna lakukan mungkin bisa mengobati rasa sakitnya.

"Pak Gean harus belajar memaafkan, ada banyak perempuan di luar sana yang pantas mendampingi Pak Gean. Hanya karena Aruna pernah membuat luka, bukan berarti semua wanita sama. Ada banyak Aruna-aruna yang lain, yang bisa menyembuhkan luka di hati Pak Gean. Yang mengenalkan kembali rasa cinta dan rindu yang mungkin hampir Pak Gean lupakan."

Tria tak berani menatap wajah Gean, ia hanya menunduk menatap jemarinya yang saling merapat, "Rasa sakit itu bukan untuk disimpan, apalagi dikenang."

****

23-Jan-2019

avataravatar
Next chapter