webnovel

ORAZIO

Malam itu menjadi malam terakhir bagi Lesya, dimana hidupnya berjalan dengan normal. Sejak gadis berusia 18 tahun itu membuka mata, semuanya telah berubah. Mulai dari kamar yang terlihat seperti kamar dari kerajaan mewah, sampai dirinya mendapat perlakuan istimewa dari seluruh penghuni istana. Sejak hari itu Lesya dipaksa untuk dipukul oleh nasibnya sendiri. Ia selalu berusaha memecahkan kehidupan apa yang sebenarnya tengah ia jalani. Transmigrasi? Tentunya bukan. Karena, dirinya masih ada dalam raga yang sama. Mereka menganggap Lesya sebagai seorang putri bangsawan kerajaan besar, dan yang lebih menariknya, rupanya gadis 18 tahun itu sedang berada di abad ke-22. Tidak berhenti disitu saja. Lesya semakin dibuat terkejut saat mengetahui jika Arsen, kekasihnya ada di sana, dengan sebuah fakta jika Arsen adalah Pangeran dari Kerajaan Prisam, atau Kerajaan berbentuk Monarki besar yang bisa menghancurkan Kerajaan lain kapanpun itu. Lantas, akankah Lesya berhasil menguak misteri yang sedang ia hadapi bersama kekasihnya?

Leni_Handayani_2611 · Fantasy
Not enough ratings
15 Chs

Berdiskusi

Setelah selesai memilih gaun yang akan aku gunakan untuk nanti malam, seorang pelayan datang dan menyampaikan pesan dari Raja untukku, jika beliau memintaku untuk menemuinya.

Saat itu juga jantungku berpacu lebih cepat dari sebelumnya. Jujur saja. Entah mengapa aku belum siap bertemu dengan seseorang, yang akan sangat berpengaruh untuk kehidupanku di sini.

Namun, untuk menolak pun rasanya sangat mustahil. Satu-satunya jalan terbaik yang bisa aku ambil adalah, menemuinya dan kembali menjalankan drama.

Aku rasa selama aku berada di dimensi ini, kehidupan yang aku jalani sangat pantas untuk disebut sebuah drama.

Aku tertidur, lalu terbangun dan seketika itu sudah berada di tempat lain. Setelah itu, saat aku kembali tertidur, aku sudah berada di tempat semula. Sangat aneh bukan? Maka tidak heran jika aku sangat penasaran, apa yang sebenarnya terjadi pada jiwa dan nasibku.

"Ah lihat, itu Putri Lesya."

"Kau benar. Semakin cantik sekali."

"Kau sudah dengar bukan, berita terbaru mengenai Putri Mukesh itu?"

"Tentu saja. Semuanya sudah mendengar kabar baik itu. Bahkan, Ibu-ku berkata dirinya sangat senang!!"

Kira-kira begitu perbincangan yang tidak sengaja aku dengar dari beberapa pelayan yang tengah bergulat dengan pekerjaannya masing-masing.

Tidak ada yang bisa ku lakukan selain tersenyum, membalas sapaan dari mereka. Kelihatannya, sosok Lesya ini sangatlah istimewa. Hal kecil yang kemarin aku lakukan itu, ternyata berpengaruh besar untuk mereka semua.

"Soilse Tuan Putri."

Lagi-lagi aku harus mendengar kalimat itu.

"Terimakasih," ucapku saat dua prajurit telah membukakan pintu ruangan kerajaan.

"Dimana Raja?" tanyaku pada Selena. Menurut berita yang aku dengar dari Aunty Marry, Selena adalah pelayan khusus yang selama ini menemaniku. Sebenarnya aku pernah melihat Selena saat aku pertama kali menapakan diri di Istana ini. Namun, aku baru mengetahui namanya sejak tadi, saat aku sedang berada di ruangan Aunty Marry.

"Sepertinya sedang berada di ruang kerja, Putri."

"Baiklah. Apa kau akan tetap mengikutiku?"

"Tidak." Selena membukukan sedikit tubuhnya, dan hal itu biasa di lakukan oleh semua pelayan atau prajurit jika sedang berinteraksi denganku.

Bukannya merasa tersanjung, aku malah merasa geram dan ingin rasanya menarik kepala mereka agar mengambil sikap tegak seperti biasa saja.

"Jika begitu, aku pergi dulu. Sampai jumpa, Selena."

Aku pun melenggang pergi menuju ruang kerja Sang Raja. Berbekal nekat, aku bisa mengetahui dimana ruangan tersebut. Tidak mungkin juga jika aku menanyakan hal sepele ini pada Selena. Jika itu terjadi, maka Selena akan semakin dibuat bingung oleh sikapku yang menurutnya berubah.

Dengan penuh pertimbangan aku menatap sebuah pintu yang menjulang tinggi di depanku itu. Jantungku lagi-lagi berdetak cepat. Ingin rasanya kembali dan meninggalkan tempat ini, tapi belum juga rencana itu terjadi, pintu yang ku maksud tadi itu sudah terbuka oleh orang lain.

"Hai, Princess."

Aku menelan salivaku dengan susah payah. Aku mundur satu langkah, dan dibalik itu semua, aku menanggung ribuan rasa takut yang disebabkan oleh pikiran buruk dari diriku sendiri.

Aku hanya takut mereka mengetahui jika aku ini bukanlah Lesya yang selama ini mereka kenal. Aku takut aku menjadi benalu di sini. Selama ini kehidupanku bisa dibilang monoton. Yang membuatku bahagia tidak jauh dari Arsen dan Arsen.

"Mengapa kau tetap berdiri di situ? Tidak ingin memeluk Daddy?" Atensiku kembali berpusat pada sosok pria di depanku. Kharisma wajahnya sangat berwibawa tinggi, dan memang sungguh layak untuk menjadi seorang Raja.

Postur tubuhnya tentu saja begitu atletis. Angka dari umur yang diketahui banyak orang tentangnya, sama sekali tidak berpengaruh pada aura-nya.

Dengan ragu aku mengulas senyuman manis. "Hari ini aku belum membersihkan tubuhku, Dad. Aku rasa sangat tidak sopan jika keringatku, menempel pada tubuh baikmu."

King Avery menggeleng kecil, dan seperkian detik kemudian ia menarik tubuhku membawanya ke dalam pelukan pria itu.

Awalnya aku terkejut. Tapi kala aku merasakan elusan lembut di kepalaku, aku bisa menerima gelombang nyaman, yang menyebabkan banyaknya sengatan pada seluruh tubuhku ini.

Aku tidak sedang mengarang. Pelukannya begitu nyaman. Aku merasa raga yang selama ini hilang, telah kembali menyapaku. Rasanya sangat ingin menangis. Pelukan ini seolah-olah pernah aku rasakan sebelumnya.

"Pekerjaanku sangat banyak, Princess. Karena itu aku memintamu untuk menghampiriku, agar aku bisa menerima obat lelahku ini."

Aku tersenyum hangat. Sekarang aku akan benar-benar menjalankan peranku dengan sebaik mungkin. Aku rasa Tuhan memang sedang memberikan kesempatan kedua untuk aku menerima semua indahnya nikmat dunia.

"Jadi, apa sekarang kau masih lelah, Dad?"

"Tentu saja tidak." Aku merasakan napas halus King Avery. Sebuah kehormatan besar, bisa merasakan pelukan dari seorang Raja. Tidak pernah aku bayangkan sebelumnya, untuk bisa berada di titik ini.

"Eum, ya. Aku telah menerima sebuah berita tentang dirimu dan Pangeran Arsen. Aku juga sangat senang mendengar kabar baik itu."

Sebuah pertanyaan kembali menyelimuti diriku. Sebenarnya apa yang dulu terjadi pada aku dan Arsen, hingga mereka begitu senang saat mendengar kabar bahwa aku telah memeluk pria itu.

"Aku--"

"Tidak apa-apa, Putriku. Aku sangat paham. Kau telah menepati janjimu dengan baik, dan sebagai imbalannya, aku akan mengabulkan satu permintaan darimu."

Aku tersenyum lebar. "Benarkah?"

King Avery mengangguk cepat, seraya kembali mengusap kepalaku. "Tentu saja."

"Jadi, apa yang akan kau pinta?"

"Aku ingin bertemu dengan Pangeran Arsen sekarang," ucapku penuh bahagia.

Sepertinya aku butuh Arsen sekarang. Aku perlu berdiskusi banyak hal dengannya. Salah satunya mengenai penyebab mengapa mereka begitu senang ketika mereka mendengar aku memeluk Arsen.

Aku yakin jika Arsen juga akan sangat penasaran dengan itu.

"Kau serius?" Aku mengangguk ragu. Raut wajah King Avery seolah menggambarkan rasa terkejut.

"Aku--"

"Aku merindukan Pangeranku.."

Kali ini King Avery tersenyum menawan. "Baiklah, pergilah ke kamarmu, dan tunggu Pangeranmu datang. Aku sudah meminta Paman Willy untuk menyampaikan pesan ini pada Pangeran."

Begitu selesai mendengar ungkapan dari King Avery, aku segera bergegas pergi ke kamar. Belum lama sampai di kamar, Pangeran Arsen datang ditemani oleh 2 orang pemuda asing yang sama sekali tidak aku kenali.

"Hai, Pangeran," sapaku.

"Hai." Kali ini aku mencoba beradabtasi dengan para penghuni Istana atau dimensi ini. Tidak seperti biasanya aku merasa canggung, saat berdekatan dengan lawan jenis. Mungkin karena kasta mereka berbeda dari teman-temanku yang lain.

Salah satu pemuda yang berada di samping kanan Arsen, melemparkan senyum padaku.

"Ini adalah sebuah hal yang langka."

"Nils, apa kau paham apa yang aku maksud?"

Pria yang dipanggil Nils itu mengangguk, sedangkan aku tidak berhenti menatap Arsen, yang entah mengapa seolah tidak berminat untuk membalas tatapanku.

Bahkan, wajah Arsen terlihat lebih dingin dan cool. Ini sungguh berbeda dengan Arsen yang aku kenal. Arsen kekasihku tidak pernah sedikitpun mengabaikanku seperti ini.

"Arsen, aku rasa kau dan Putri butuh waktu untuk berdua."

"Kau benar Pram. Jadi, ayo kita pergi."

Pram menepuk bahu Arsen, sebelum mereka berdua melenggang pergi meninggalkan kami.

"Arsen, mari katakan sesuatu."

Arsen menatapku. Tatapannya begitu tajam, dan sungguh mengintimidasi. Namun, bukan itu yang sekarang merebut fokusku.

Bibir Arsen terlihat semakin menggoda. Ini sangat aneh. Mengapa bibir kekasihku sangat menggoda di sini?

"Arsen..."

"Aku rasa aku akan senang di sini," celetuk Arsen, masih begitu tajam.

DEG

"Maksudmu?"

Seperkian detik kemudian, Arsen menarik tengkukku dan melumat bibirku dengan gerakan yang sangat rakus.

Aku terkejut. Namun, perlahan-lahan aku mulai menikmati permainan yang penuh dengan gairah itu. Bahkan tanganku sudah bertengger halus dilehernya.

Aku mendesah kecil saat Arsen menurunkan ciumannya ke leherku. Aku tidak sanggup menerima ini semua. Rasanya seperti sebuah sengatan listrik, yang langsung memporak-porandakan hatiku dengan manja.

Dan bodohnya, aku ingin lebih dari ini.