18 Resign?

"Resign?"

"Kamu serius atau sedang bercanda?"

Ruangan HRD seketika hening ketika Reva selesai menyampaikan apa maksud tujuan dia datang ke sini. Ini memang keputusan mendadak, bahkan keputusan refleks. Entahlah, Reva sedang tidak ingin berfikit lebih jauh.

"Reva?"

"Saya serius, Bu Paula, saya ingin mengajukan resign bulan depan. Ini jatuhnya tidak mendadak, 'kan?"

Paula tidak langsung menjawab, sejak tadi tangannya sibuk mencari dokumen yang berada di rak. Setelah menemukan apa yang dicari, dia kambali duduk sambil sesekali melirik Reva.

"Pekerjaan kamu itu bagus, bahkan tidak pernah buat kesalahan. Saya sendiri suka sama kinerja kamu, kenapa mau resign? Kamu diterima kerja di perusahaan lain?"

Reva menggelengkan kepalanya.

"Resign itu harus ada alasan logis, Reva. Ini kantor, bukan tempat bermain. Saya habis baca kontrak, dan kamu masih ada kontrak di sini sampai satu tahun mendatang." Paula menyerahkan dokumen yang baru saja dia baca.

"Lalu gimana, Bu?"

"Konsekuensinya pasti ada, sesuai perjanjian yang tertera di dalam kontrak. Saya memang HRD di sini, tetapi satu hal yang kamu tau, soal resign Pak Sean akan mengambil alih. Saya akan kroscek, tapi beliau yang akan memutuskan."

Sial, sial! Kalau seperti ini namanya bunuh diri! Reva memainkan jari-jarinya sambil terus berfikir langkah apa yang akan dia ambil selanjutnya. Sangat tidak mungkin kalau Sean tahu ini, bisa-bisa pria itu semakin murka.

"Apa Ibu tidak bisa bantu saya tanpa harus Pak Sean ketahui?" tanya Reva dengan penuh harap.

Paula menggelengkan kepalanya. Jadi, tertutup sudah peluang Reva kali ini. Setelah urusannya selesai, Reva kembali pamit lalu ke luar dengan wajah lesunya.

"Loh? Reva?"

Langkah kaki Reva terhenti saat seseorang menegur dirinya. Suara itu tidak asing, tanpa menoleh dia sudah tahu itu suara siapa.

"Reva?"

"Iya, Fian, iya, dengar kok." Reva memutar tubuhnya, kini keduanya saling bertatapan dengan jarak yang cukup dekat.

Kesaltingan hanya milik Fian, sedangkan Reva masih mempertahankan wajah polosnya. "Ada apa, Fi?"

"Kamu dari ruangan Bu Paula? Ada apa? Ada masalah?"

"Engga ada sih, Fi."

"Terus kenapa?"

"Ak-"

"Fian!"

Panggilan berat nan dingin dari arah belakang membuat keduanya menoleh. Di depan lift Sean tengah berdiri dengan wajah datarnya. Nyali Reva ciut, dia memilih mundur mendekat ke arah Fian agar Sean tidak bisa menatapnya dengan leluasa.

"Oke, Fi, kayaknya aku harus balik duluan deh. Ngamuk deh itu CEO iblis," bisik Reva dengan suara pelan.

Fian mengulum bibirnya menahan tawa. Andai saja suara tawanya lolos, bisa habis dia di tangan Sean. Setelah memastikan Reva pergi, Fian bergegas menghampiri Sean.

"Bukannya saya minta kamu siapin berkas meeting? Kenapa masih ngobrol? Ini kantor, tempatnya kerja. Kamu sudah bosan kerja atau gimana? Mau resign atau nunggu dipecat?" Habis sudah kesabarab Sean. Beberapa hari ini dia diam sambil terus mengamati kedekatan asisten pribadinya dengan Reva.

Fian menundukan kepalanya sejenak. Tidak, dia tidak takut sama sekali, hanya saja menghormati. Akan tetapi Fian cukup bingung, kenapa bisa Sean semarah itu? Padahal hanya tidak sengaja papasan.

"Maaf kalau saya salah, Pak, kalau begitu saya pamit permisi."

"Tunggu sebentar."

"Ada apa, Pak?"

"Tidak jadi, silahkan siapkan apa yang saya perintahkan tadi." Setelah mengatakan itu Sean kembali membalikan tubuhnya lalu meninggalkan Fian.

Seperginya Sean, Fian tidak langsung pergi, dia justru menatap gerak-gerik bosnya dengan hati yang bingung dan juga gelisah. Akhir-akhir ini Sean memang berubah, bosnya itu jauh lebih sensitif. Padahal beberapa hari lagi dia akan menikah, tetapi tidak ada aura kebahagian, sungguh aneh.

Berbeda dengan Fian, sedangkan Nisa tengah menatap sahabatnya yang baru saja datang dengan rusuh.

"Ada apa sih, Re? Muka lo kenapa panik begitu? Udah ketemu sama Bu Paula? Re, lo serius mau resign?" Nisa mendekatkan kursinya ke arah Reva, sedangkan wanita itu masih saja diam sambil berusaha mengatur napasnya.

Melihat Sean marah benar-benar membuat nyali Reva ciut!

"Re!"

"Hah? Ada apa, Nis?"

Nisa berdecak kesal saat Reva berbalik tanya. Berarti sejak tadi Nisa ngoceh sendiri? Sedangkan temannya asik melamun?

"Apa, Nis?"

"Lo jadi ketemu sama Bu Paula atau engga, Reva?" Dengan sabar Nisa mengulang pertanyaannya.

Reva bingung ingin menjawab pertanyaan Nisa. Memang sih sudah bertemu, baru konsultasi saja sudah dihadapkan rintangan besar.

"Reva yaampun!" Nisa mencubit lengan Rev dengan gemas. Rasa kepo yang sudah sangat tinggi membuat Nisa tidak sabar untuk mendengar jawaban.

Reva mengangguk membuat bahu Nisa seketika merosot. Kalau Reva resign, bagaimana dengan dirinya? Memang sih banyak teman di sini, akan tetapi hanya Reva yang sangat Nisa kenal.

"Kenapa sih, Re? Kenapa harus resign? Bukannya lo bilang butuh uang? Kalau lo resign gimana lo mau bayar rumah sakit? Gimana lo mau bantu nyokap? Harapan mereka cuma lo, sedangkan cari kerja jaman sekarang itu susah."

Apa perkataan Nisa memang benar. Bukan hanya dirinya, tetapi Reva sudah menjadi tulang punggung untuk keluarga. Ayahnya yang sakit, sudah gitu perusahannya jatuh. Ibunya? Ibunya tidak bekerja, bahkan sekarang mengandalkan pemberian Reva.

"Gue emang udah ketemu Bu Paula, gue udah bilang kalau mau resign. Cuma dia bilang, kontrak gue masih satu tahun lagi, kalau mau tetap resign harus bayar denda sesuai kontrak. Bukan cuma itu, keputusan bisa atau engganya resign, Pak Sean yang mutusin. Gue harus apa ya, Nis?" Tatapan teduh Reva membuat Nisa terdiam.

Sampai detik ini Nisa belum paham dengan situasi sulit Reva. Jika biasanya dia dengan lugas bercerita, tetapi kali ini tidak, Reva terkesan diam menutupi sesuatu.

"Daripada buat bayar denda, lebih baik uangnya buat bantu-bantu rumah sakit, Re."

"Reva, kita ini teman udah lama, kita udah saling kenal. Lo kalau ada masalah harusnya cerita sama gue, mana tau bisa bantu. Jangan kayak gini, diam-diam milih resign. Resign bukan solusi, yang ada lo makin sulit nantinya."

Yaampun, jika kepalanya berisi bom, sudah bisa dipastikan detik ini juga sudah meledak! Reva menggaruk rambut terurainya dengan frustasi. Resign memang bukan solusi, tetapi hidup bahagia dan damai kini sangat Reva dambakan!

Ting!

Ting!

Chat from : Jihan.

"Chat dari siapa, Re? Fian?"

Reva berdecak, otak Nisa selalu saja berisi Fian! Dengan gemas dia menunjukan layar ponselnya kearah Nisa. Melihat nama Jihan yang tertera membuat Nisa nyengir sambil memundurkan kembali kursinya.

"Kok bisa ya lo akur banget sama dia? Dia juga, kok bisa nyaman sama lo? Padahal lo karyawan suaminya. Tapi ga heran sih, lo juga welcome sama semua orang."

Reva tidak menanggapi pertanyaan Nisa, dia justru kembali menatap layar ponsel yang menampilkan deretan pesan dari Jihan. Mau bertemu? Siang ini? Sebenarnya ada masalah apa lagi, sih?

***

avataravatar
Next chapter