webnovel

2

Indonesia, Jakarta.

Livia sedang membereskan baju yang akan ia masukkan ke koper besarnya saat TV menayangkan ulang berita tentang kakaknya, Michael Larodi. Saat itu kakaknya tengah hadir sebagai bintang tamu dalam acara bisnis di stasiun televisi swasta terkenal.

Terlihat Michael duduk di kursi merah dengan jas hitam dan kemeja ungu sementara pembawa acara tampak duduk di depannya.

"Jadi Michael, kabarnya perusahaan Larodi menandatangani kontrak kerjasama dengan perusahaan asing sebesar 40 milyar. Itu benar?"

Michael Larodi tersenyum geli. Dengan rambut hitam legam, mata segelap malam dan sepasang bulu mata tajam, kakaknya bagaikan elang. Orang tak akan pernah tahu apa yang ia pikirkan, dan tak ada yang bisa menduga arti tatapannya kecuali meteka benar-benar mengenal Michael. "Waduh nggak benar itu."

Pembaca acara tersebut terkekeh geli. "Ohya jadi lebih tinggi ya?"

"Sedikit," jawabnya yang disambut elak tawa penonton.

Livia mematikan tivi dan menatap ke arah jendela di belakangnya saat hujan mulai turun cukup deras. Tangan Livia tanpa sadar meremas bajunya lebih erat sementara anjing terrier miliknya, Dolphie, mendekat dan menggesekkan hidungnya ke siku Livia.

Wanita itu tersenyum lebar dan mengusap kuping Dolphie. "Aku baik-baik saja. Itu hanya hujan."

Livia mencoba untuk mengatur detak nafasnya. Tenang Livia, itu sudah 20 tahun berlalu. Kau sudah jauh lebih dewasa dan kuat. Sejak keluarganya meninggal 20 tahun lalu dalam kecelakaan mobil, Michael langsung belajar tentang bisnis di usianya yang masih sangat muda. Di usia ke 18, ia mendapat gelar MIT, Dan 3 tahun setelahnya, ia membuat perusahaan ayahnya bangkit dan semakin terkenal.

Sementara Michael menjalankan perusahaan, Antonio, kakak keduanya yang berumur 27 tahun mempunyai sebuah perusahaan yang menyediakan jasa di bidang perlindungan. Banyak anggota politikus yang meminta jasanya untuk melindungi keluarga mereka, tapi ia menolak. Karena baginya, ia hanya mau melindungi adiknya.

Sedangkan Livia? Di umurnya yang ke 25 saat ini, ia menjadi koki wanita yang mendapat cukup banyak penghargaan dalam dunia kuliner.

Sekilas, keluarga mereka tampak sempurna, tapi tak ada yang tahu bahwa ada sesuatu yang disembunyikan disana. Sifat asli Michael dan Antonio. Walau Michael terlihat tenang, tapi ia sangat jengkel saat para wartawan mengejarnya. Antonio juga sering marah-marah di rumah kalau kliennya terlalu menjengkelkan.

Hanya Livia yang tidak memakai topeng di luar. Kalau ia marah, ia akan menunjukkannya sambil mengaduk makanan dengan marah dan cepat. Kalau ia senang, ia akan membuat resep baru.

Hujan di luar mulai mendinginkan suasana dan membuat ia menutup rapat kopernya saat beranjak naik ke kasur. "Ayo Dolphie, kita tidur."

Anjing itu menggonggong, berbaring di kasur dan melipat tangannya. Ia memejamkan matanya saat Livia masuk dalam selimut dan tak lama ia mulai tertidur.

Bunyi hujan yang deras seakan menghipnotis pikirannya untuk membawanya kembali ke mimpi terburuknya. Mimpi yang sangat ingin ia hilangkan.

Antonio dan Michael pulang bersamaan. 2 Ferrari, 1 merah dan 1 biru terparkir aman di garasi otomatis mereka. Bertempat tinggal di kawasan elit kota Jakarta, rumah bertingkat tiga dengan luas tanah 3 hektar itu mampu membuat orang berdecak kagum saat melihatnya.

Anne, ibu mereka yang sudah meninggal, yang mendesain rumah ini. Meski luarnya terlihat biasa saja, tapi didalamnya seperti kotak Pandora, menyimpan sejuta kejutan seperti kolam renang, jacuzzi, ruang olahraga, dapur mewah dan terlengkap, mini bar, ruang dansa, dan sebagainya.

Antonio sedang melepas jasnya dan hendak menaruh pistol saat mendengar teriakan Livia. Kurang dari sepuluh detik kemudian mereka berlari menuju tangga, Antonio membuka pintu dan menodongkan senjatanya. Tapi yang ia lihat hanya adiknya yang duduk di kasur dengan penuh keringat dan wajah sepucat kertas.

Michael menatap Antonio tajam, "Simpan senjatamu."

Mereka mendekati adik mereka. Michael mengelus kepalanya lembut, "Mimpi buruk yang sama lagi?"

Livia mengangguk. Badannya gemetar, giginya bergemeletuk dan matanya setakut anak kecil. Yang melihatnya akan merasa sangat tersentuh dan prihatin. Michael menatap Antonio, saudaranya mengangguk dan pergi keluar, menyiapkan minuman hangat untuk Livia.

Michael duduk di ranjang. Ia menarik bahu Livia dan mengelus bahunya lembut. "Sst.. Jangan takut.. Itu mimpi buruk Sayang.."

Tapi Livia masih gemetar. Michael mengelus tangan adiknya dengan tangannya yang lain. Rambut coklat Livia yang kini sebokong, terurai indah.

"Ak... Aku takut... Aku takut..."

Michael mengangguk pelan, "Semua sudah selesai Livia. Sudah selesai. Dia sudah menanggung akibatnya. Aku dan Antonio membalasnya berkali lipat."

Antonio masuk sambil membawa gelas berisi minuman hangat dan boneka bantal yang Anne dan Lionel berikan untuk Livia. Hadiah terakhir sebelum kematian menjemput. Hadiah yang juga mampu menenangkan Livia. Kalau boneka itu hilang, gemetaran Livia takkan berhenti.

Antonio menaruh boneka itu. Livia memeluknya erat dan memejamkan mata. Dalam hitungan menit, adiknya tak lagi gemetar. Wajahnya juga tidak sepucat tadi. Antonio sama sekali tak bisa membayangkan bagaimana nasib adiknya tanpa boneka bantal itu .

Michael menatap Livia lembut, "Sudah?"

Livia mengangguk perlahan. Ia menatap mereka malu-malu, "Terima kasih."

Antonio menggeleng kesal. "Buat apa?" Ia duduk di pinggir kasur sambil memberikan Livia minuman. "Aku tidak setuju membiarkanmu pergi kalau kau seperti ini."

Livia mengerucutkan bibirnya kesal dan menegakkan punggung. "Tapi kalian sudah berjanji membiarkanku pergi ke Inggris."

"Tidak kalau kau masih bermimpi buruk," tandas Michael.

Livia mendesah, "Tapi itu tidak sesuai perjanjian kita!"

"Coba pikir, di belahan bumi mana ada seorang kakak yang tidak mengkhawatirkan adiknya yang pergi selama hampir setahun, mengujungi tempat yang belum ia kenal? Ditambah ia tidak mengenal seorangpun disana? Dan kau melarang kami untuk memberikanmu pengawalan? Livia,aku menolak para politikus itu saat mereka bersujud meminta penjagaanku! Tapi kau..!"

Tak sanggup menyelesaikan ucapannya, Antonio mengangkat tangan dan berkacak pinggang.

Livia tersenyum lebar dengan cepat, "Aku tahu. Tapi sekali saja, sekali saja aku ingin agar kalian memberiku kepercayaan dan kebebasan. Aku ingin mencoba menjaga diriku sendiri. dan akhirnya, setelah sebulan aku membujuk kalian, kalian mengatakan ya! Tapi kini.. Hanya karena aku bermimpi buruk, bukan berarti aku tidak mampu menjaga diriku!"

Antonio menatapnya kesal. Ia berdiri dan mondar-mandir di ruangan. Michael terdiam. Dia tahu perkataan kedua adiknya benar. Ia tidak bisa membiarkan Livia seorang diri di luar sana, tanpa pengawalan. Tapi apa yang Antonio bilang juga benar. Lama terdiam, akhirnya ia berbicara. "Dua hari. Kau harus memberi kami kabar tentang keberadaanmu."

Antonio menatap tak percaya melihat Michael, "Michael!"

Michael menatapnya tajam, "Aku tahu apa yang ku lakukan." Ia menatap Livia tajam juga, "Kalau selama 2 hari kau tidak memberikan kami kabar, aku bersumpah tidak akan membiarkanmu pergi kemanapun. Kemanapun."

Livia mengangguk cepat, "Iya. Pastinya ku lakukan. Aku akan menelpon tiap hari kalau perlu."

Antonio keluar dari sana dengan kesal. Bantingan pintu yang keras menjadi penanda suasana hatinya.

Michael tersenyum lemah, "Jangan terlambat atau aku tak bisa menghentikan Antonio untuk menyusulmu."

Livia mengangguk menyusul kakaknya. Satu masalah sudah selesai, tinggal masalah lain. Tak lama, Livia mengetuk pintu kamar Antonio dan membukanya. Antonio sedang duduk di pinggir kasur sambil mengecek pistolnya. Ia hanya menengok untuk melihat Livia sekilas sebelum menekuni kembali pekerjannya.

Livia berjalan pelan. Ia mengambil resiko duduk di samping kakaknya. "Aku tahu kau tidak setuju, apalagi sejak saat aku bermimpi buruk. Kau mencoba segala macam cara untuk menolongku. Tapi Antonio, pernahkah kau pikirkan tentang dirimu sendiri?"

Antonio berhenti sesaat sebelum memasukkan peluru disana. Livia melanjutkan lagi, "Aku.. aku selalu memikirkan kalian. Aku ingin berpikir bagaimana caranya agar kalian tidak selalu mengkhawatirkanku. Tapi berpikir seperti apa pun, aku tak bisa menemukan jawabannya. Sampai aku teringat perkataan ayah. 'Kau harus membuat orang itu percaya padamu' Kata-kata itulah, yang membuatku mengambil keputusan."

Antonio mendesah. Ia menatap Livia tak mengerti, "Tapi kenapa harus Inggris? Kenapa harus ditempat yang memakan 17 jam perjalanan? Kenapa kau menolak pengawalanku?"

Livia tersenyum pahit. "Sejak kecil, kalian semua selalu menjagaku. Aku terbiasa dengan itu semua. Tapi saat aku menonton sebuah film, aku sadar, aku harus mengambil tindakan untukku sendiri. Karna itu aku mencoba belajar menembak dan berlatih darimu."

"Film apa sih yang kau tonton?" tanyanya kesal.

Livia tak menjawab dan memegang tangan kakaknya lembut, "Sekali saja, ya? Aku janji takkan membuat kalian khawatir. Biarkan aku mencobanya."

Lama terdiam, Antonio berdiri dan menggeleng, "Tak bisa."

"Antonio...." rengeknya.

Antonio menatapnya putus asa, "Aku tidak bisa tidak mengalah padamu."

Livia tersenyum manis, "Terima kasih."

"Tapi ingat, 2 hari. Hanya 2 hari. Paham? Hubungi aku atau aku akan membawa anak buahku."

Livia mengangguk. Ia memeluk leher kakaknya, meski ia harus berdiri diranjang untuk melakukannya. Tinggi Livia hanya 155cm, padahal tinggi ibunya 171 dan ayahnya 190. Michael setinggi 188 dan Antonio 185. Saat Livia bertanya kenapa hanya ia yang masih kecil, ayahnya akan mengendongnya tinggi-tinggi ke langit dan mengatakan ia akan tumbuh setinggi mereka.

Tapi itu kebohongan. Kini tidak lagi ada yang mengangkat Livia. Lionel dan Anne meninggal dan pergi meninggalkannya.

_______________________________

Suka cerita ini?

Tunjukkan apresiasi dan dukungan kalian ke authornya dengan cara

Ikuti akun FoxyRibbit

Ketik komentar

Vote cerita ini

Follow akun IGnya di Livia_92 dan FoxyRibbit

Next chapter