webnovel

Oh, Ternyata!

Titin dan Puji adalah sahabat sejak kecil. Ketika SMA, mereka pindah sekolah ke kota. Mereka mendapatkan teman yang diduga psikopat dan untuk menyelidikinya perlu kerjasama dengan beberapa warga sekolah, terutama pihak BK. Kebersamaan mereka berujung sebuah rasa. Akankah mereka bisa mengendalikan rasa itu?

Isti_Mukarromah · Teen
Not enough ratings
4 Chs

Kebersamaan

"Orang baik hanya untuk orang baik. Maka teruslah perbaiki dirimu agar Allah tidak mengecewakanmu." ~Isti Mukarromah

Tim detektif baru, Four Holmes. Semoga ini bisa membawa keadaan menjadi lebih baik. Kami berempat mulai menyiapkan diri untuk kasus ini.

"Jadi, apa rencana kita selanjutnya? Oh, ya. Sepertinya kita perlu membuat grup WhatsApp untuk mempermudah komunikasi. Bagaimana?" tanya Pak Yusuf.

"Setuju," jawab kami bertiga serentak.

Perasaanku tidak enak, entah kenapa. Bulu kudukku berdiri. Seperti ada sosok yang mengintai, tapi siapa dan untuk apa? Apakah dia ingin menguping rapat rahasia ini? Tapi bagaimana dia bisa tahu kalau akan ada rapat rahasia. Kan, tadi hanya memberitahu via WhatsApp. Sulit rasanya jika sampai chatting pun diintai, sebenarnya siapa orang itu? Alhamdulillah, kami belum sempat membicarakan rencana ini.

'Prang...'

Suara benda terjatuh. Sekelebat bayangan melintas begitu cepat dari ruangan ini. Hanya orang berpakaian serba hitam dan tertutup yang nampak dari penglihatan kami. Posturnya pun kurang jelas karena pencahayaan yang minim.

"Sepertinya ini sudah menjadi pertanda, bahwa kita harus lebih hati-hati dan waspada. Akan ada rintangan yang berat, karena pelaku cukup pintar untuk hal ini," ungkap Pak Hakim lirih, agar tidak terdengar si pengintai.

'Benar juga.'

Berani sekali dia. Aku masih belum percaya kalau ada yang mengetahui rencana ini. Tidak mungkin juga salah satu dari kami membocorkan, karena ini juga menyangkut kepentingan Four Holmes.

'Seperti suara langkah kaki. Semakin dekat. Perlahan suara itu terdengar semakin kuat di telingaku. Bukankah dia sudah pergi? Apakah dia tidak sendiri? Ya Allah, bagaimana ini?'

Jantungku berdegup kencang. Keringat dingin mulai bercucuran. Napas memburu, tak beraturan. Dadaku pun dengan jelas nampak naik turun. Wajah pucat pasi. Lemas seketika. Apakah aku akan mati sekarang? Di usia yang masih belia ini? Yang belum sempat meraih mimpi? Tak terasa air mata menetes, terisak. Tak lama kemudian terdengar bisikan yang entah dia berkata apa. Tapi....

"Mba? Mba? Titin!" katanya sambil menepuk punggungku.

"Astaghfirullah. Kirain siapa."

"Lagian kenapa tadi dipanggil malah tanpa reaksi?"

"Nggak, kok, Pak. Maaf."

"Tin, semuanya, lebih baik kita pulang saja. Sudah mulai gelap."

"Astaghfirullah, iya, Ji. Kemalaman nggak ya? Kami duluan, ya, Pak. Assalamu'alaikum," jawabku sambil menariknya lengan Puji dan mengajaknya berlari, menerobos senja perlahan berganti malam.

***

Sejak pulang sekolah tadi, aku masih merenung di kamar. Memikirkan kejadian tadi. Rasa penasaran kian bertambah tentang sosok itu. Berbagai pertanyaan terbesit di pikiranku. Ke mana harus kutemui orang itu? Apakah ini akan menjadi penambah kisah petualangan detektif? Apa hubungannya dengan kasus Devan?

"Tin, makan dulu, gih."

"Iya, Ma."

Selesai makan dan berbenah, aku kembali ke kamar. Menyambar ponsel dan memikirkan kejadian tadi. Pesan di grup Four Holmes beruntun. Berbagai pendapat muncul dan diikuti sanggahan dari yang lain. Beberapa mentions membuatku segera mengecek lebih detail.

[Menurut saya, langkah awal adalah interaksi. Pak Yusuf, setuju, kan?]

[Boleh, kita tunggu persetujuan yang lain, Pak. @Puji, @Titin.]

'Ah, ya. Ada benarnya. Sekali usul sudah mantap aja nih.'

[Karena dengan interaksi langsung dapat menangkap ekspresi lebih detail. Setuju.]

Tanpa kusadari, mengetik pesan sambil tersenyum.

"Hadeh, biasa aja kali, Tin," gumamku.

***

"Tin!" teriak Pak Husen memanggilku.

"Kebetulan kamu ada di sini. Tolong kamu ke kelas saya dan sampaikan tugas dari saya. Semua ketentuannya ada di kertas ini. Saya ada urusan mendadak," jelasnya sembari menunjuk ke kertas kecil itu.

"Baik, Pak."

'Sebuah kebetulan.'

***

Aku menyampaikan amanah dari Pak Husen. Kuamati wajah-wajah anak kelas ini dengan saksama. Pandanganku tertuju pada Devan. Penglihatanku jeli menangkap ekspresi dan gerak-gerik Devan. Di kelas semua terlihat biasa saja. Bahkan senyum manisnya membuat beberapa siswi seakan mengagumi Devan. Kuharap dugaanku ini tidak salah.

"Ehm. Apakah teman-teman sudah paham akan tugas ini? Atau ada yang ingin ditanyakan?" tanyaku membuyarkan konsentrasi mereka.

"Sudah paham."

"Baiklah, kalau begitu saya permisi. Terima kasih."

Aku berlalu dari kelas itu, berhenti di balik pembatas ruang. Sengaja kuamati reaksi mereka setelah kehadiranku, termasuk Devan. Sebagian besar dari mereka berbisik-bisik dengan yang lain. Ada juga yang bertanya-tanya tentangku.

"Van! Kayaknya cewek tadi suka sama lo, deh. Gue perhatiin dia ngeliatin lo terus. Iya nggak temen-temen?" celetuk salah satu siswa.

"Sotoy lo. Nggak mungkin lah. Mustahil tau. Nggak ada cocoknya sama sekali gue sama dia bro. Nggak selevel. Lagian, gue anak IPS, dia anak IPA. Gue gede dia kecil. Gue tinggi dia nggak. Gue putih, dia nggak. Mana yang mirip coba? Nggak ada kan? Malah bertolak belakang kayaknya. Beda jauh lah pokoknya. Haha, jangan ngaco lo. Kalo ngomong mikir dulu," sanggah Devan yang diikuti gelak tawa para siswa.

"Lo deketin aja lagi, biar dia tambah suka sama lo. Udah ada tanda-tanda tuh."

"Hei! Kalian apa-apaan sih! Devan itu cuma punya gue, bambank! Gue kan cantik, pas buat Devan ganteng. Bukan cewek tadi." teriak seorang perempuan stylish.

"Nggak usah ngarep deh. Di kelas ini, semuanya aja, nggak ada bikin gue selera. Apalagi lo. Sorry banget ya. Liat muka lo aja gue udah enek, pengen muntah."

"Heh! Ar, lo nggak pantes sama Devan. Cuma bisa dandan aja PD selangit. Peringkat jeblok, nggak pantes sama deretan orang cerdas!" sergah Nita.

"Enak aja lo bilang gitu. Emang lo siapa? Apa hak lo buat ngatur-ngatur gue, hah? Qonita, gadis kampung!"

"Ya aku cuma ngingetin aja buat kamu supaya memperbaiki diri, karena orang baik hanya untuk orang baik. Kalau kita sibuk memperbaiki diri, InSyaaAllah, Allah tidak akan mengecewakan hamba-hamba-Nya."

"Eh, ada ustadzah nih di kelas kita."

"Aamiin, InSyaaAllah. Aku memang ingin menjadi ustadzah. Terima kasih karena kamu sudah mendoakan, semoga terkabul, ya!"

"Udah, deh. Nggak usah sok baik lo!"

"Astaghfirullah. Sudah-sudah. Kalian kenapa sih? Kita kan bisa menyelesaikan ini tanpa harus dengan bertengkar. Lagipula, ini sudah hampir pergantian jam pelajaran. Kalian lupa? Tugas dari Pak Husen harus dikumpulkan," nasehat Alfina dengan jurus kebijaksanaannya.

"Astaghfirullah. Maaf, Fin."

"Iya, Nit. Santai."

'Heuh. Udah sepi damai kayaknya. Mending aku ke kelas aja deh.'

***

[Lapor. Pengamatan Devan di kelas sudah dilaksanakan. Devan terlihat seperti remaja pada umumnya. Bahkan ceria dan ceplas-ceplos.]

[Laporan diterima. Persiapkan untuk langkah selanjutnya.]

***

"Psikopat itu kan tidak sama dengan gila (skizofrenia/psikosis) karena psikopat sadar sepenuhnya atas perbuatannya. Pengidapnya disebut gila tanpa gangguan mental. Jadi untuk membuktikan bahwa seseorang mengidap psikopat itu tidaklah mudah. Tidak semua orang yang memiliki ciri-ciri seperti itu bisa dikatakan psikopat. Diagnosis gejala ini membutuhkan waktu lama, meliputi pelatihan ketat dan hak menggunakan pedoman pelatihan formal, butuh wawancara mendalam dan pengamatan lainnya mengenai penderita, orang sekitar, juga korban," jelasnya.

"Betul, Pak. Psikopat dikenal selalu membuat kamuflase yang rumit, memutar balik fakta, dusta, fitnah. Dalam kasus kriminal, psikopat dikenal sebagai pembunuh, pemerkosa, koruptor. Namun itu hanya beberapa persen saja, selebihnya ia dikenal sebagai pribadi yang berpenampilan sempurna, pandai berkata, memesona Dengan daya tarik luar biasa dan menyenangkan. Sangat sulit ditebak, pasti orang sekitar tidak akan menduga itu bisa terjadi."

"Dan biasanya sejak 15 tahun sudah ada tanda gangguan kejiwaan, melakukan psikotes, biasanya psikopat memiliki IQ tinggi. Melakukan tes pengetahuan, psikopat berpengetahuan luas. Jika ada anak yang terlalu genius dan seharusnya tidak segenius itu, kemungkinan anak tersebut psikopat," sambungnya.

"Nah. Jadi, langkah selanjutnya, kita harus mengetes pengetahuan dan IQ Devan. Atau, anak lain, yang kemungkinan genius."

'Selama ini Devan terkenal pandai, tapi apa mungkin dia pelakunya?'

***

Jam sudah menunjukkan pukul 17:00. Aku harus naik angkutan umum, tapi sejak tadi belum ada yang lewat. Untuk berjalan kaki juga tidak memungkinkan karena sudah sore dan harus menuju bengkel terlebih dahulu. Sekolah pun semakin sepi, hanya beberapa orang yang ada di sana yang sedang bersiap pulang. Cuaca sedang tidak bersahabat, tak lama kemudian hujan pun turun. Sampai kapan aku harus berteduh di depan sekolah? Sembari menanti hujan reda, aku mengoperasikan ponsel, memutar MP3. Ya Allah....

"Belum pulang, Mba?"

"Astaghfirullah, heuh. Belum, Pak. Lah, bapak sendiri kenapa belum pulang?"

"Biasa, banyak kerjaan dan baru selesai. Sudah jam segini, apa nggak sebaiknya kita pulang?"

"Iya, sih. Tapi...."

"Ini, kan?" serunya dengan menunjukkan payung.

"Cuma satu. Saya cari daun aja."

"Di sini mana ada daun. Ya, kecuali kamu pakai daun kelapa."

Aku terkejut dan spontan tertawa. Terlalu asyik mengobrol dan tertawa bersama sejak tadi, sampai tak terasa hari semakin gelap dan Alhamdulillah hujan sudah reda.

"Ini sudah gelap. Kita searah, lebih baik pulang bareng aja. Saya antar sampai rumah. Tidak baik perempuan berjalan sendirian di saat seperti ini."

"Nggak usah, Pak, makasih. Nanti merepotkan, hehe."

"Sudahlah, tidak merepotkan. Daripada jalan sendiri, jalanan masih becek dan semakin gelap, rawan. Saya tidak mau terjadi apa-apa sama kamu, Mba. Saya antar, ya!"

"Saya bisa sendiri kok, sudah biasa jalan malam. Jangan maksa deh, Pak," gerutuku kesal.

"Ya sudah, saya pergi. Jangan cari saya lagi!"

'Ya Allah, kok gini sih. Lama-lama nyebelin juga, kenapa harus ketemu sama guru yang suka maksa gitu?'

"Pak? Maaf, saya tidak bermaksud menolak.... Ya sudah saya mau diantar sampai rumah. Tapi tolong jangan seperti ini. Saya jadi merasa bersalah. Ma-afff...," kataku dengan menahan tangis.

"Iya, saya juga minta maaf, sudah memaksa."

"Innalillahi. Mereka udah nungguin di luar. Kemalaman begini, bakal diceramahi lagi kayaknya, kalau cuma masalah hujan, pasti selalu disuruh nerobos hujan aja," gumamku.

"Ya dijelasin pakai ilmu yang sudah didapat, masa anak SMA gitu aja susah," celetuknya.

"Terima kasih, Pak. Sudah diantar."

"Iya, saya pamit, assalamu'alaikum."

"Wa'alaikumussalam warahmatullahi wabarakatuh."

'Nyebelin, tapi baik. Ah, sudahlah.'

***