webnovel

OHM 15

"Kamu Dokter profesional bukan? Kamu sendiri yang mengatakan, seorang Dokter harus selalu ada untuk setiap Pasien yang membutuhkan penanganan. Dan aku ke sini karena aku ingin berkonsultasi denganmu. Apanya yang salah? Aku tak mengerti apa yang ada dipikiranmu," ucap Raydan.

Ralisya menghela napas. Dia mengambil telepon di mejanya. Raydan menahan tangan Ralisya agar tak dapat mengambil telepon tersebut.

"Kamu mau apa?" tanya Raydan.

"Kamu butuh konsultasi bukan? Kalau begitu, kamu bisa melakukannya dengan Dokter lain," ucap Ralisya.

"Huh ... Apa-apaan ini? Kamu pemilik Rumah Sakit ini, tetapi kamu justru melempar tanggung jawab pada orang lain. Aku rasa, nilai mu adalah paling buruk di Kampus. Aku heran, kenapa mereka membiarkanmu lulus dari fakultas Kedokteran?" ucap Raydan seraya menggelengkan kepalanya.

Ralisya meletakan kembali telepon itu. Dia duduk di kursinya dengan perasaan kesal. Mendengar ucapan Raydan membuat Ralisya merasa terganggu, dia begitu kesal pada Raydan sehingga tak ingin berhadapan dengan Raydan. Sekalipun Raydan mengatakan datang ke sana untuk berkonsultasi, tetapi Ralisya enggan meladeni Raydan. Dia masih ingat perbuatan kurang ajar Raydan terhadap dirinya beberapa hari lalu.

"Katakan! Apa yang bisa kubantu?" tanya Ralisya mencoba menahan amarahnya. Dia akan mencoba bersikap profesional meski rasanya sulit sekali dilakukan.

"Hm ... Jadi, begini. Beberapa hari ini, tepatnya setelah acara reuni di malam pergantian tahun waktu itu. Aku merasa ada yang aneh dengan kepalaku. Aku jadi sering berhalusinasi, kepalaku jadi sering pusing memikirkan hal itu," ucap Raydan.

Ralisya mengerutkan dahinya, seketika Ralisya teringat malam pergantian tahun kemarin dirinya merayakan bersama dengan Raydan melalui acara reuni sekolah. Ralisya melihat Raydan meminum minuman berkadar alkohol malam itu.

"Em ... Malam pergantian tahun kemarin maksudmu?" tanya Ralisya.

"Ya, benar sekali," ucap Raydan.

"Hm ... Kamu minum saat itu, berapa banyak kamu menghabiskam minuman itu? Apa sebelumnya kamu tak pernah minum?" tanya Ralisya.

"Em ... Seingatku, hanya sedikit. Oh, ya ampun. Aku jarang sekali minum, apa itu bisa jadi penyebabnya?" ucap Raydan memasang ekspresi cemas.

"Astaga! Bisa tidak, duduk dengan tenang?" ucap Ralisya.

Ralisya terkejut ketika tiba-tiba saja Raydan memajukan wajahnya sehingga kini lebih dekat pada wajah Ralisya.

Raydan tersenyum. Dia kembali duduk.

"Maaf. Tapi, aku benar-benar merasa tak nyaman dengan semua itu. Terlebih lagi, dadaku. Rasanya benar-benar tak nyaman," ucap Raydan memasang wajah memelas.

Ralisya kembali mengerutkan dahinya. Semakin bingung mendengar ucapan Raydan.

"Hm ... Memangnya apa yang kamu rasakan?" tanya Ralisya.

Ralisya mencoba memposisikan dirinya benar-benar seorang Dokter yang tengah meladeni pasiennya berkonsultasi. Meski dia benar-benar merasa tak nyaman berhadapan dengan Raydan. Apalagi, Raydan selalu menatap matanya. Membuat Ralisya bekerja keras mengatur detak jantungnya agar dirinya tak tampak gugup di hadapan Raydan.

"Rasanya tak nyaman, detak jantungku itu terkadang menjadi lebih cepat, lalu kembali normal. Selalu seperti itu. Menurut Dokter, itu gejala penyakit apa?" ucap Raydan.

"Hm ... Aku belum dapat memastikan. Sebaiknya, kita lakukan pemeriksaan terlebih dahulu," ucap Ralisya.

"Baiklah," ucap Raydan dan mengikuti Ralisya menuju brankar.

"Silakan berbaring!" pinta Ralisya.

Ralisya beranjak meninggalkan Raydan, dia mengambil stetoskop yang tertinggal di mejanya. Sedangkan Raydan segera berbaring di brankar.

Tak lama Ralisya kembali, dia memegang stetoskopnya dan akan memeriksa dada Raydan. Ralisya terkejut ketika tiba-tiba saja Raydan menahan tangannya.

"Aku tak butuh stetoskop itu," ucap Raydan menatap Ralisya dengan serius.

Ralisya segera menyingkirkan tangan Raydan dan berbalik. Perasaannya tiba-tiba saja tak karuan, dia merasakan akan ada hal buruk yang terjadi. Apalagi dia dan Raydan hanya berdua di dalam ruangan itu. Ralisya menjadi parno sendiri semenjak kejadian terkahir kali Raydan menciumnya.

Ralisya membulatkan matanya ketika Raydan menahan tangannya.

"Sya ... Apa kita bisa bicara?" tanya Raydan.

"Aku tak ada waktu meladeni pecundang seperti dirimu," ucap Ralisya.

"Apa maksudmu?" tanya Raydan bingung.

Lagi-lagi Ralisya mengempaskan tangan Raydan. Dia menatap Raydan.

"Kamu pikir lucu, datang ke Rumah Sakit, berpura-pura ingin berkonsultasi, mencoba mempermainkan seorang Dokter, mengatakan semua omong kosong. Kamu pikir semua itu lucu? Apa kamu pikir, pekerjaanku sesantai itu hingga aku harus meladeni omong kosong yang kamu lakukan? Kamu benar-benar keterlaluan!" geram Ralisya.

Raydan menghela napas. Ralisya terus saja menghindarinya karena itu dia melakukan semua itu.

"Aku ke sini hanya ingin minta maaf, tapi apa yang aku katakan tadi itu kenyataan, Sya," ucap Raydan.

Ralisya terdiam, dia tak mengerti maksud Raydan.

"Kamu sulit sekali ditemui, jadi aku memakai cara seperti ini. Aku merasa tak enak hati padamu. Tapi, percayalah. Aku tak ada maksud apapun. Aku hanya tak ingin, hubungan kita sebagai saudara jadi hancur," ucap Raydan dan berlalu dari ruangan Ralisya.

Ralisya menelan air liurnya, dia kembali duduk di kursi kerjanya. Matanya memerah.

'Jangan seperti ini. Tolong, jangan permainkan aku!' gumam Ralisya.

Ralisya merasa takut, seringnya dirinya bertemu dengan Raydan justru akan mengembalikan semua rasa yang pernah ada terhadap Raydan. Ralisya bahkan belum sepenuhnya bisa melupakan Raydan. Benar kata orang, cinta pertama begitu melekat di hati. Sepahit apapun kisah cintanya bersama Raydan di masa lalu, nyatanya Ralisya tak pernah main-main dengan cintanya terhadap Raydan. Dia tulus mencintai Raydan.

***

Di luar ruangan Ralisya.

Raydan melangkahkan kakinya menuju parkiran. Dia pergi menuju mobilnya.

Di dalam mobil, dia terus memikirkan Ralisya. Dia teringat ucapannya yang mengucapkan kata saudara tadi pada Ralisya. Dia mengusap wajahnya.

'Kenapa aku mengatakan semua itu? Aku bahkan tak pernah ingin menjadi saudaranya. Lagi pula, dia kan memang bukan saudaraku,' gumam Raydan.

Raydan memakai seatbeltnya, dia melajukan mobilnya kembali ke Kantor.

***

Di sisi lain.

Demian sampai di Rumah Sakit tempatnya bekerja. Dia baru saja sampai di ruangannya.

Tak terasa, dua bulan lagi dirinya akan resmi menikahi Ralisya, wanita pujaannya. Bahagia sudah tentu, tetapi ada sesuatu yang mengganjal di pikirannya. Apa yang dia sembunyikan selama ini, apa yang sudah dia tutup rapat-rapat selama ini, dia takut semua akan terbongkar suatu saat nanti. Semua manusia yang hidup, memang takan pernah luput dari kesalahan. Meski semua itu bagian dari masa lalunya tetap saja Demian merasa tak tenang.

Apalagi, hingga saat ini dia belum menemukan seseorang yang sudah dua bulan ini dia cari keberadaannya. Dia tak pernah lagi tahu keadaan orang tersebut. Dia juga tak tahu, bagaimana nasib orang itu saat ini. Bagaimana kehidupannya, Demian tak pernah tahu hal itu. Orang itu tak meninggalkan jejak apapun setelah hal buruk terjadi antara dirinya dan orang tersebut dua bulan yang lalu. Dia bahkan belum sempat bertegur sapa untuk yang terkahir kalinya dengan orang tersebut.

Demian mengusap wajahnya, dia teringat pada Ralisya. Dia berharap, pernikahannya dengan Ralisya takan mendapatkan hambatan apapun. Dia berharap, Tuhan menakdirkan dirinya hidup bersama Ralisya. Demian benar-benar menyayangi Ralisya.