webnovel

Off The Record: Ben's Untold Story

Ben baru berusia tujuh tahun ketika ia menyaksikan ibunya terbunuh di depan matanya sendiri. Peristiwa itu membuatnya terpaksa pergi dari tempat kelahirannya di Adelaide ke Bali, tempat keluarga ibunya berada. Kehidupan Ben di Bali berjalan dengan baik. Sampai sebuah peristiwa di penghujung masa SMA-nya membuatnya kembali terasing dan ia akhirnya pergi meningggalkan keluarganya. Ben bertahan hidup dengan mengandalkan kemampuan meretas yang ia miliki. Sambil bekerja di sebuah warung internet di Kota Jakarta, Ben melakukan peretasan demi mendapatkan uang tambahan. Bergabung bersama jaringan peretas bawah tanah, Ben melakukan peretasan ke sebuah lembaga keuangan. Namun aksinya tidak berjalan mulus dan membuat Ben tertangkap aparat kepolisian cyber. Namun, seorang anggota Intelijen datang menemui Ben sebelum ia dijebloskan ke penjara dan memberinya pilihan. Akankah Ben memilih untuk menghabiskan hidupnya di dalam penjara? Ataukah ia akan menerima tawaran yang diberikan oleh Intelijen tersebut? Temukan jawabannya hanya di Off The Record: Ben’s Untold Story ---- Hello, ini adalah original story untuk Ben. Salah satu karakter pendukung dalam karya author sebelumnya berjudul Bara. Karena beberapa pertimbangan akhirnya author memutuskan untuk membangun cerita sendiri untuk Ben. Untuk yang belum membaca novel Bara, jangan khawatir, karena kalian masih bisa menikmati cerita ini terlepas dari peran Ben di dalam novel Bara. Yang penasaran dengan sepak terjang Ben dalam novel Bara, ceritanya bisa dibaca di sini https://www.webnovel.com/book/bara_14129943905432205 Happy reading, everyone ^^ Cover source: Pinterest (If you know the artist, don't hesitate to get in touch with me on Instagram or Discord @pearl_amethys)

pearl_amethys · Realistic
Not enough ratings
23 Chs

Mi Familia 1

Ben melenguh pelan ketika akhirnya ia bangun dari tidurnya. Ia kemudian mengerjap-ngerjapkan matanya sambil memperhatikan langit-langit kamarnya. Sambil tetap berbaring, Ben memijat kepalanya yang terasa pening.

"Jam berapa sekarang?" ujar Ben sambil beringsut ke sisi tempat tidurnya. Tangannya berusaha meraih ponsel yang ada di meja sebelah tempat tidurnya.

Mata Ben membulat begitu melihat jam pada ponsel Nokia 3310 miliknya. Ia pun langsung terduduk di tempat tidurnya. Tanpa memperdulikan kepalanya yang masih terasa pening, Ben segera berlari ke kamar mandinya.

Tidak sampai lima menit Ben sudah keluar dari kamar mandinya dan segera mengenakan seragam putih abu-abu miliknya. Setelah itu ia berlari keluar dari kamarnya.

Aji yang kebetulan sedang memanaskan mesin motornya di halaman rumah,terkejut melihat Ben yang tergesa-gesa keluar dari bale dauh. "Kamu sudah baikan? Mau ke mana sampai terburu-buru begitu?"

"Ke sekolah!" teriak Ben sambil berlari menuju gerbang rumah.

Aji kembali mengerutkan keningnya. "Tapi ini hari minggu, Ben!"

Langkah Ben seketika berhenti di tengah-tengah gerbang rumahnya. Ia kemudian memutar badannya dan menatap Aji yang sedang memanaskan motornya. "Masa hari minggu?"

"Memangnya kamu nggak lihat tanggalan?" Aji balik bertanya pada Ben.

Ben buru-buru mengeluarkan ponsel dari saku celananya. Ia kembali menyalakan ponselnya. Ben langsung menepuk keningnya setelah ia melihat kalender di ponselnya.

Aji tertawa melihat Ben yang baru saja menyadari kebodohannya. "Makanya, lain kali disuruh pasang kalender di kamar, dipasang. Jangan ngandelin kalender handphone."

Ben terkekeh sambil berjalan kembali ke halaman rumah. Ia kemudian melemparkan tas punggungnya ke kursi yang ada di depan bale dauh. Setelah itu ia duduk dan tertawa menertawai kebodohannya.

"Kamu sampai lupa pakai lensa sama kacamata hitam," ujar Aji.

Ben berdecak pelan. "Untung nggak jadi berangkat karena ini hari minggu."

Aji geleng-geleng kepala sembari terkekeh. Ia lalu kembali sibuk memeriksa mesin motor tua miliknya.

"Embok hari ini masak apa, Ji?" tanya Ben sambil memegangi perutnya. Mendadak perutnya berbunyi dengan cukup keras dan setelah itu merasa sangat kelaparan.

"Mbok masih di pasar. Dia belum pulang," jawab Aji tanpa mengalihkan perhatian dari motor tua kesayangannya.

Ben menghela nafas panjang. "Aku cari makan di warung aja kalau begitu."

"Titip buat Aji satu," sahut Aji.

Ben mendengus pelan. Setelah itu kembali ke kamarnya untuk berganti pakaian. Ben mengganti seragam putih abu-abunya dengan kaos oblong berwarna coklat dan celana pendek hitam.

Selesai merapikan kembali seragam yang tidak jadi ia kenakan, Ben kembali keluar dari kamarnya. Ben kemudian melangkah ke bagian belakang bale dauh untuk mengambil sepeda gunungnya.

Ia menuntun sepedanya sampai ke gerbang rumah tinggalnya. Setelah mengenakan kacamata hitamnya, Ben segera mengayuh sepedanya untuk meninggalkan rumah dan pergi mencari warung penjual nasi campur yang banyak tersedia di daerah tempat tinggalnya.

Sambil mengayuh sepedanya, Ben sesekali menyapa warga desa yang berpapasan dengannya. Udara pagi di desa tempat tinggalnya terasa masih sangat segar. Perpaduan aroma embun pagi yang menyatu dengan wangi dupa dari tiap rumah yang ia lewati, membuat Ben merasa tenang.

Dahulu Ben tidak terlalu menyukai aroma dupa yang seolah tidak pernah hilang dari rumah Nini. Namun lama kelamaan indera penciuman Ben sudah terbiasa dengan wangi-wangian yang ada di rumah Nini dan ia sudah tidak mempermasalahkan aroma dupa yang seolah selalu menemani langkahnya kemanapun ia pergi.

Setelah bersepeda selama tiga puluh menit, Ben akhirnya tiba di sebuah tempat penjual nasi campur yang ada di depan puri tidak jauh dari desanya. Ben segera turun dari sepedanya dan menghampiri penjual nasi campur tersebut. Penjual nasi campur di depan puri itu adalah Ibu penjual nasi campur yang biasa berjualan di kantin sekolah Ben. Setiap hari minggu dia berjualan di depan puri.

"Wah, kemana aja kamu? Kemarin saya nungguin kamu di sekolah. Sampai saya sisakan sepiring buat kamu," ujar Ibu penjual nasi campur begitu Ben menghampirinya.

Ben tertawa pelan menanggapi ucapan Ibu Penjual nasi campur tersebut. "Sakit."

"Bisa sakit juga kamu?"

"Ya, bisa lah, Bu. Saya kan manusia bukan robot," jawab Ben.

"Nasi seperti biasa?"

Ben menganggukkan kepalanya.

"Bungkus atau makan di sini?"

"Makan di sini aja deh, Bu."

"Lengkap?"

"Pastinya. Sekalian sama porsi yang Ibu sisain buat saya," sahut Ben sambil terkekeh.

Ibu Penjual nasi campur itu langsung menatap Ben. Ia geleng-geleng kepala sambil menambahkan lauk ke dalam piring untuk Ben. "Dasar nggak mau rugi."

"Iya, dong." Senyum di wajah Ben terkembang begitu ia melihat banyaknya lauk yang ada di dalam piring makannya ketika ia menerima piring tersebut.

"Minumnya apa?"

"Teh manis hangat kalau ada," jawab Ben.

"Adanya cuma air putih," sahut Ibu Penjual nasi campur.

"Kalau gitu ngapain nanya," timpal Ben.

Ibu Penjual nasi campur terkekeh melihat Ben yang sedikit kesal. Sementara ia kembali melayani Pembeli di kedai pinggir jalannya, Ben duduk di kursi plastik yang ada di sekitar kedai tersebut dan mulai menikmati makanannya.

----

Selesai menyantap makanannya, Ben mengembalikan piring yang ia gunakan kepada Ibu penjual nasi campur. Setelah itu, ia kembali duduk di kursinya. Ben lalu mengeluarkan ponselnya dari saku celananya dan segera menyalakannya.

Selanjutnya Ben sibuk mencari nomor wanita dari dinas sosial kota Adelaide yang dahulu mengantarnya. Setelah memiliki ponsel sendiri, Ben langsung memindahkan nomor wanita tersebut ke ponselnya. Meskipun ia tidak yakin apa ia akan menghubungi wanita itu atau tidak.

Akan tetapi kabar bahwa ayahnya sudah dibebaskan dari penjara akhirnya membuat Ben memutuskan untuk menghubungi wanita. Ben menatap deretan nomor telepon dengan kode negara Australia di ponselnya.

"Kira-kira dia masih kerja di sana nggak, ya? Kalo dia udah nggak kerja, percuma gue nelpon. Mana mahal kalo nelpon antar negara," gumam Ben.

Setelah memikirkan masak-masak, Ben akhirnya memutuskan untuk tetap menghubungi nomor telepon wanita dari dinas sosial tersebut. Ia menarik nafasnya ketika nomor itu tersambung.

"Hello, this is Ben. Benjamin Harris," sapa Ben ketika suara wanita menjawab panggilan teleponnya.

"Benjamin Harris?" Wanita yang menjawab panggilan telepon Ben terdiam sesaat. Tidak lama kemudian ia berseru.

"Aah, Ben. You're the boy that I sent to Bali. How's your life in Bali? Glad that you contact me after years," ujar wanita tersebut.

Ben tertawa pelan. "I'm enjoying my life here. Thanks to you."

"Do you have any trouble there? You don't call me for no reason, right?"

"I read some news. Is it true that my father has been released?" tanya Ben.

"Oh, you wanna know about your father?"

"I just want to make sure that he won't find me here," ujar Ben.

"You don't have to worry, Ben. The authorities didn't give any information about you. Although he's trying to get the information about your guidance with his lawyer," sahut wanita dari dinas sosial tersebut.

Ben menghela nafas panjang. "Good then. I don't want to see him. I have a good life here. I don't want him to come and mess up my family."

"We'll make sure that won't happen. Anyway, I want to hear your story. I'm curious about your life in Bali."

Ben tertawa pelan. "Can I tell the story using email? You know, it's quite expensive making an international call."

"Then, write my email address." Wanita dari dinas sosial tersebut kemudian menyebutkan alamat emailnya pada Ben.

"Oke, I'll contact you later. Thank you," ujar Ben setelah ia mencatat alamat email wanita tersebut.

"Don't forget to send men your story."

"I won't. Bye."

"Bye, Ben."

Ben menghela nafas panjang setelah ia selesai menghubungi wanita yang dulu mengantarnya ke Bali. Ia kemudian tertawa pelan sambil menatap alamat email wanita tersebut. Setidaknya kini ia bisa sedikit merasa lega karena kecil kemungkinan ayahnya bisa menemukannya.

****

Thank you for reading my work. I hope you guys enjoy it. You could share your thought in the comment section and don't forget to give your support through votes and reviews. Thank you ^^

Original stories are only available at Webnovel.

Keep in touch with me by following my Instagram Account or Discord pearl_amethys ^^

pearl_amethyscreators' thoughts