webnovel

Off The Record: Ben's Untold Story

Ben baru berusia tujuh tahun ketika ia menyaksikan ibunya terbunuh di depan matanya sendiri. Peristiwa itu membuatnya terpaksa pergi dari tempat kelahirannya di Adelaide ke Bali, tempat keluarga ibunya berada. Kehidupan Ben di Bali berjalan dengan baik. Sampai sebuah peristiwa di penghujung masa SMA-nya membuatnya kembali terasing dan ia akhirnya pergi meningggalkan keluarganya. Ben bertahan hidup dengan mengandalkan kemampuan meretas yang ia miliki. Sambil bekerja di sebuah warung internet di Kota Jakarta, Ben melakukan peretasan demi mendapatkan uang tambahan. Bergabung bersama jaringan peretas bawah tanah, Ben melakukan peretasan ke sebuah lembaga keuangan. Namun aksinya tidak berjalan mulus dan membuat Ben tertangkap aparat kepolisian cyber. Namun, seorang anggota Intelijen datang menemui Ben sebelum ia dijebloskan ke penjara dan memberinya pilihan. Akankah Ben memilih untuk menghabiskan hidupnya di dalam penjara? Ataukah ia akan menerima tawaran yang diberikan oleh Intelijen tersebut? Temukan jawabannya hanya di Off The Record: Ben’s Untold Story ---- Hello, ini adalah original story untuk Ben. Salah satu karakter pendukung dalam karya author sebelumnya berjudul Bara. Karena beberapa pertimbangan akhirnya author memutuskan untuk membangun cerita sendiri untuk Ben. Untuk yang belum membaca novel Bara, jangan khawatir, karena kalian masih bisa menikmati cerita ini terlepas dari peran Ben di dalam novel Bara. Yang penasaran dengan sepak terjang Ben dalam novel Bara, ceritanya bisa dibaca di sini https://www.webnovel.com/book/bara_14129943905432205 Happy reading, everyone ^^ Cover source: Pinterest (If you know the artist, don't hesitate to get in touch with me on Instagram or Discord @pearl_amethys)

pearl_amethys · Realistic
Not enough ratings
23 Chs

High School Love 5

"Tembak-tembak!"

"Kiri lu, Bay!"

"Lindungin gue, Ben!"

Teriakan Ben dan Bayu memenuhi warnet tempat Ben bekerja paruh waktu sepulang sekolah. Keduanya saling berteriak dan bersahut-sahutan ketika memainkan permainan Counter Strike.

"Ah, bangsaaat!" teriak Ben ketika character yand dimainkan Bayu tertembak oleh tim lawan.

Bayu yang duduk di seberang Ben hanya bisa tertawa pelan. Kini di tim mereka hanya tersisa Ben yang masih bermain. Bayu dan dua teman mereka yang lain sudah terlebih dahulu keluar dari permainan.

Seorang diri, Ben harus mengalahkan tim lawan. Raut wajah Ben terlihat sangat serius ketika ia harus melanjutkan permainan itu seorang diri. Bayu dan dua orang temannya lalu berjalan ke arah tempat duduk Ben. Mereka ingin melihat apa yang akan dilakukan Ben untuk mengalahkan tim lawan mereka.

Jemari Ben dengan lincah bergerak pada papan tombol yang ada di hadapannya. Ia bahkan sudah tidak perlu melihat lagi tombol mana yang ia tekan. Jemarinya seolah sudah tahu tombol mana yang harus mereka tekan sementara perhatian Ben fokus pada layar monitor yang ada di hadapannya.

Bayu dan yang lainnya tertawa pelan melihat Ben menghabisi satu per satu lawan mereka. Jemari Ben tidak berhenti bergerak sementara matanya mengikuti gerakan permainan di layar monitornya.

"Mati lu semuaaa!" teriak Ben ketika akhirnya ia mengalahkan semua musuh dalam permainannya.

Bayu dan yang lainnya langsung menepuk punggung Ben sambil tertawa kencang. Ben tanpa sadar melepaskan kacamata hitam yang ia kenakan dan tertawa lebar. "Makanya sering-sering latihan," seru Ben pada teman-temannya yang lain.

"Lu sih, enak. Bisa main gratis berjam-jam," sahut Bayu.

Ben menoleh pada teman-temannya sembari tertawa pelan. Bayu dan dua orang temannya sontak terdiam ketika Ben menoleh pada mereka. Ketiganya kompak mengerutkan keningnya.

"Kenapa?" tanya Ben yang menyadari tatapan aneh yang diberikan oleh teman-temannya.

"Lu sakit mata sampai warna mata lu berubah gitu, Ben?" tanya Bayu.

Ben langsung terdiam. Sedetik kemudian ia baru menyadari kalau ia tidak sengaja melepaskan kacamata yang ia gunakan. "Shit," gumamnya pelan. Ia kemudian kembali mengenakan kacamata hitamnya dan segera berjalan pergi meninggalkan mejanya.

Bayu keheranan melihat sikap Ben yang tiba-tiba berubah. Ia pun memutuskan untuk menyusul Ben ke belakang warnet tempat mereka bermain. Begitu tiba di belakang warnet, ia melihat Ben sudah mengenakan kembali kacamata hitamnya dan sedang duduk di tangga yang mengarah ke kamar mandi.

"Itu tadi warna asli mata lu, Ben?" tanya Bayu hati-hati.

Ben menoleh pada Bayu sambil menghela nafas panjang.

Tanpa perlu menjawab, Bayu mengerti maksud helaan nafas panjang Ben. "Ngapain lu tutupin warna asli mata lu selama ini?"

"I don't like it," jawab Ben.

Bayu tertawa pelan setelah mendengar jawaban Ben. "Orang-orang pada pake lensa kontak biar matanya yang hitam bisa warna-warni. Lu yang warna aslinya bukan hitam, malah pakai lensa kontak hitam. Segala alasan sakit mata gara-gara ngga pakai lensa."

"Aji ngga mau mata gue iritasi, makanya gue terpaksa ngelepas lensa kontak gue," sahut Ben.

"Lagian warna asli mata lu bagus begitu, ngapain lu sembunyiin. Kalo cewek-cewek pada liat warna asli mata lu, gue jamin, fans lu bakal makin banyak," goda Bayu.

"Kalo sampe ada yang tahu, gue tahu siapa yang ngasih tahu mereka," timpal Ben sambil menatap tajam ke arah Bayu dari balik kacamatanya.

"Wooo, serem." Bayu terkekeh setelah mendengar ancaman dari Ben.

"Awas lu, kalo sampai ada yang tahu." Ben kembali mengancam Bayu.

Bayu menatap Ben sebentar, setelah itu ia berdecak pelan. "Coba gue mau liat sekali lagi. Gue janji ngga bakal ngasih tahu yang lain."

Ben mendengus pelan. "Janji lu!"

Bayu menganggukkan kepalanya.

"Terutama Devi. Gue takut lu nanti bocor ke Devi."

Bayu langsung menggelengkan kepalanya. "Kalo dia tahu, bisa-bisa dia makin suka sama lu."

Ben menghela nafas panjang. Ia kemudian membuka kacamata hitam yang ia gunakan dan menatap Bayu.

Bayu menatap mata Ben. Setelah berteman cukup lama dengan Ben, baru kali ini ia mengetahui kalau warna asli mata Ben adalah hijau. "Lu yakin lu orang Indonesia asli?"

"Nyokap gue emang orang Indonesia. Tapi, Bokap gue warga Australia keturunan Jerman," jawab Ben. Ia pun kembali mengenakan kacamatanya.

"Jadi lu warga negara mana?"

"Gue lahir di Adelaide, otomatis gue dapat kewarganegaraan Australia."

"Jangan-jangan lu ragu buat lanjutin kuliah di sini gara-gara lu mau balik ke Australia?" tanya Bayu.

Ben terdiam. "Awalnya emang gue berniat mau balik ke sana sebentar. Ada urusan yang masih nyangkut."

"Urusan apaan?" Bayu kembali bertanya.

Ben berdecak pelan. "Udah, ah. Lanjut main lagi. Kelamaan di sini lu jadi kayak Polisi lagi interogasi Penjahat." Sambil tertawa pelan, Ben kembali melangkah ke dalam warnet.

Bayu menghela nafas panjang dan segera mengikuti Ben. Keduanya lalu kembali duduk berhadapan dan memulai permainan baru mereka. Bayu menyadari, setelah percakapan mereka tadi di tangga menuju kamar mandi, Ben menjadi lebih serius bermain.

Bahkan bisa dikatakan Ben seperti melampiaskan sesuatu ke dalam permainan yang sedang mereka mainkan. Ia bermain dengan lebih brutal daripada sebelumnya. Musuh-musuh mereka dalam permainan tersebut dibantai oleh Ben.

Semua itu berjalan sampai hari sudah menjelang malam. Dua orang teman Ben dan Bayu sudah pamit untuk pergi. Bayu pun akhirnya memutuskan untuk menyelesaikan permainan tersebut.

"Gue balik, Ben," ujar Bayu.

Ben hanya menanggapi ucapan Bayu sambil menggumam pelan. Ia sama sekali tidak mengalihkan perhatiannya dari layar monitornya.

Bayu menghela nafas panjang dan pergi meninggalkan warnet tempat Ben biasa bekerja sampingan. Sementara itu, Ben masih melanjutkan permainannya seorang diri.

----

"Ben belum pulang?" tanya Embok pada Aji ketika ia hendak mengunci pintu gerbang area rumah peninggalan Nini.

"Sudah jam berapa ini? Masa dia belum pulang?" Aji balik bertanya Embok.

"Coba saja Aji lihat di kamarnya. Dia belum pulang," jawab Embok.

"Memangnya hari ini jadwal dia bekerja sambilan?"

Embok mengangkat bahunya.

"Kalau dia belum pulang, jangan digembok dulu. Nanti setelah dia pulang, saya yang tutup pintunya," ujar Aji.

Embok tiba-tiba duduk di sebelah Aji. Ia menatapnya dengan penuh penasaran. "Sebenarnya dia lagi kenapa? Kayaknya dia agak berbeda."

"Kemarin dia sempat minta izin mau kembali ke Australia."

Embok menatap Aji dengan tatapan tidak percaya. "Mendadak sekali."

"Ayahnya sudah dibebaskan. Dia takut, pria itu datang dan membuat keributan di sini. Makanya dia mau menemuinya sebelum pria itu datang ke sini," terang Aji.

Embok mendengus pelan. "Pembunuh itu—"

"Tapi akhirnya dia bilang dia ngga akan kembali ke sana." Aji lalu menghela nafas panjang.

"Bagus kalau dia mengurungkan niatnya untuk kembali ke sana," timpal Embok.

Ben tiba-tiba melangkah melewati angkul-angkul rumah Nini. Ia keheranan melihat Aji dan Embok sedang berada di depan bale dauh.

"Tumben kalian belum pada tidur? Lagi pada ngomongin saya, ya?" ujar Ben. Ia kemudian duduk di sebelah Embok.

Embok langsung menatap Ben. "Darimana saja kamu? Sudah makan belum?"

Ben menggeleng. "Ngga lapar."

"Meskipun ngga lapar, perut kamu harus tetap diisi. Embok ngga mau dikutuk Nini karena ngga ngasih makan ke kamu," timpal Embok.

Tanpa menunggu persetujuan dari Ben, Embok bangkit berdiri dan berjalan meninggalkan bale dauh. Ben kembali teringat pada ibunya ketika ia melihat Embok melangkah menuju pawon.

"Aku ganti baju dulu, Ji," ujar Ben pada Aji yang tengah menikmati rokoknya.

Aji mengangguk pelan. Ben lalu segera melangkah ke dalam bale dauh dan masuk ke dalam kamarnya untuk membersihkan badannya dan berganti pakaian.

****

Don't forget to follow my Instagram Account pearl_amethys and my Spotify Account pearlamethys untuk playlist musik yang saya putar selama menulis cerita ini.

Karya asli hanya tersedia di platform Webnovel.

Thank you for reading my work, hope you guys enjoy it. Share your thought in the comment section and let me know about them. Don't forget to give your support through votes, reviews, and comments. Thank you ^^

pearl_amethyscreators' thoughts