webnovel

Chapter 3

"Sskkk" suara derak angin bercampur debu dan rerumputan menyapu ketika burung gagak raksasa dengan tiga kakinya mendarat ditanah.

"Terima kasih buddy! tadi itu cukup menyenangkan" Aku mengelus dengan lembut tengkuk kepala burung gagak raksasa itu dan perlahan menuruni tubuhnya.

Setelah aku turun, burung itu hanya memberikan anggukan singkat dan terbang kembali ke angkasa. Pandanganku akhirnya berpindah dari burung yang sudah terbang ke lingkungan di sekelilingku.

Aku mendarat di hamparan padang rumput, tepat beberapa meter dari tempatku mendarat terdapat jalan setapak yang dikelilingi taman bunga yang sangat indah. Jalan tersebut tampaknya mengarah menuju ke suatu tempat yang dapat terlihat dari kejauhan seperti sebuah kastil putih besar nan megah.

"Wah, apa aku sudah salah mendarat ke surga?" Seruku sembari mengagumi pemandangan indah disekitarku.

"Tidak ada siapa-siapa disini."

Jalan setapak yang mengarah ke istana megah itu adalah satu-satunya jalan yang dapat terlihat dan sepertinya tidak ada jalan lain selain jalan itu, dilihat dari padang rumput yang sepertinya tidak berujung.

"Walau agak mencurigakan, bukankah lebih baik kuperiksa?"

"Tapi sebelum ituu..."

"Pertama-tama mari coba kumpulkan semua informasi yang sudah kudapatkan."

Pertama, aku sekarang ini berada di dunia bernama NEO KOSMOS yaitu dunia setelah kematian lainnya yang tidak langsung membawaku pada kematian yang sebenarnya walaupun aku tidak mau.

"Hmm... sebenarnya kenapa aku tidak bisa masuk ke pintu menuju kematian? Apakah sistemnya bermasalah atau apa?"

Merasa sia-sia sudah menetapkan hati untuk memilih pergi menuju kematian dan bahkan berterima kasih pada administrator yang kukira akan menjadi orang terakhir yang kutemui sebelum benar-benar bertemu akhir hidupku yang ternyata belum berakhir.

"Huh! Mau dipikirkan bagaimanapun, tidak terpikirkan jawaban apapun. Lagipula bagaimana bisa aku tahu apa yang terjadi jika bahkan Hecate yang administrator saja tadi seperti kebinggungan? Lalu siapa dan mengapa Gods of Death itu membuat dunia aneh ini? Dan apa yang membuatku bisa terpilih menjadi salah satu orang yang dapat memasukinya kalau sepertinya kesempatan ini terbatas? Lalu apa yang terjadi pada ingatanku? Keluargaku?" seruku sedikit kesal yang memiliki segudang pertanyaan tanpa jawaban.

"Hah... mari lewati itu pertanyaan-pertanyaan tak berguna yang tak mungkin kutahu jawabannya sekarang dan pikirkan hal lain" gumamku pada diri sendiri.

"Hmm..."

"Oh iya! Everlasting! Karena sekarang aku sudah terlanjur berada disini aku mau tidak mau harus menjelajahi everlasting apalah itu. Tapi bagaimana aku harus mempersiapkan diriku untuk itu?"

"Ahh!" suaraku bersemangat.

"Open Window" seketika muncul layar familiar didepanku. Aku teringat akan layar yang sepertinya dapat membantu memberi informasi apapun itu. Aku segera menelusuri menu-menu apa saja yang ada di layar itu.

"Hmm, menu shop, peringkat, level, inventory... Ah! Ini dia, pusat informasi!" aku segera membuka menu menu pusat informasi dengan bersemangat.

[Nama Penantang: Arai Hanyi Bakati]

[Umur : 19 Tahun]

[Level : 0 ]

[Skill : Unknown]

[Informasi lain tidak dapat diakses. Silahkan selesaikan Quest untuk dapat membuka akses]

"Hmmm.."

Jadi rupanya umurku 19 tahun dan tidak ada informasi lainnya, baiklah setidaknya aku tahu bahwa aku bisa membukanya suatu saat dengan menyelesaikan quest yang diperlukan.

Setelah melihat-lihat semua menu dan sedikit informasi yang bisa kudapat dari setiap menu window, aku memikiran untuk menutup menu tersebut dan dengan otomotasi menu layar didepanku menghilang.

"Baiklah, bukankah sekarang waktunya untuk menjelajahi tempat ini?"

Aku pun mulai berjalan di jalan setapak yang dikelilingi taman bunga yang sangat indah. Bunga-bunga merah yang mekar sempurna tanpa daun dengan bentuk unik ini adalah satu-satunya bunga yang menghiasi taman bunga ini. Merasa sangat tertarik dengan bunga menawan ini, aku berhenti untuk menggapai bunga itu agar dapat melihatnya lebih dekat.

"JANGAAN SENTUUH!" Aku tersentak dengan suara teriakan yang tiba-tiba.

Kepalaku berputar mencari asal suara itu, lalu aku menemukan bahwa asal suara itu berasal dari seorang anak perempuan yang berdiri jauh didepanku. Siapa dia? Bagaimana bisa aku tidak melihatnya tadi? Apa perhatianku terlalu teralihkan oleh bunga itu sehingga tidak menyadari ada orang didepanku?

Anak perempuan itu memiliki paras cantik dengan kulit putih, berponi rata depan dan rambut coklat panjang sepinggang yang diikat satu kebelakang. Sementara aku sibuk memperhatikan orang pertama yang dapat kulihat setelah kematianku, anak perempuan itu berbicara lagi.

"Ja-jangan sentuh bunga itu. Bu-bunga itu beracun."

"Hah? Beracun?" aku segera menjaga jarak dari bunga-bunga itu.

"Oh sial, hampir saja aku benar-benar mati dua kali disini." ucapku sambil menatap taman bunga disamping ku dengan kesal.

"Terima kasih sebelumnya. Aku Arai, kamu?" tanyaku, sembari berjalan mendekati anak perempuan yang hanya berdiri diam ditempatnya.

"Eh? A-aku Saito Kana."

Setelah aku berjalan mendekati sosok anak perempuan itu aku menyadari bahwa ia bahkan terlihat jauh lebih muda. "Kasihan sekali! Oh ya ampun gadis kecil yang malang! Kamu masih sangat muda tapi sudah mengalami hal seburuk ini! dunia benar-benar tidak adil!"

"Ehh? A-aku bukan anak kecil! A-Aku sudah 12 tahun!. Ka-kamu sendiri terlihat masih muda"

"Oh benarkah? Maaf, kamu terlihat seperti anak berumur 7 tahun, haha. Aku lebih tua 7 tahun darimu Kana"

"O-oh, karena ka-kamu lebih tua dari ku, bi-bisakah aku panggil kamu kakak?"

Tanya gadis itu dengan kepala menunduk kebawah tanah yang suaranya semakin terdengar gugup.

"Tentu saja Kana! Senang bertemu denganmu!"

"Y-ya, Ka-kana juga senang be-bertemu kakak!" Kepalanya yang tertunduk kembali menghadap ke arahku. Senyum kegirangan menghiasi wajahnya yang tadinya muram.

"Oh iya Kana, ngomong-ngomong gimana bisa kamu tahu kalau bunga ditaman ini beracun?" tanyaku yang sebenarnya sejak tadi sudah penasaran.

"I-itu, Kana gak tau ke-kenapa bisa tahu. Bu-bunga itu namanya 'Higanbana', se-sebenarnya bagian beracun di bu-bunga itu hanya diakarnya, ta-tapi tadi..." ia berhenti melanjutkan, raut wajahnya kembali muram.

Tanganku menggapai bahunya yang gemetar untuk menenangkannya.

"Gapapa Kana, tadi memangnya ada apa?"

"..."

Setelah mendengar penjelasan dari Kana mengenai ratusan peserta lain yang sudah datang sebelum diriku yang lalu segera melanjutkan untuk pergi bersama ke istana yang dipimpin oleh seseorang bernama Rowan dan bagaimana Kana masih tertinggal disini aku pun sudah memahami situasinya.

"Jadi Kana, ketika kamu berjalan menuju istana bersama mereka kamu melihat beberapa orang yang menyentuh bunga itu menghilang begitu saja?" tanyaku memastikan bahwa aku sudah mengerti apa yang telah terjadi.

"I-iya kak, se-sebenarnya aku bisa langsung mengenali bu-bunga itu. Ta-tapi aku tau bahwa racun bunga itu hanya ada pada akarnya..."

"A-aku... sa-sama sekali tidak mengira hanya dengan menyentuhnya mereka ja- jadi..." Suara Kana yang tidak dapat melanjutkan kata-katanya karena emosi menguasi dirinya, air mata pun mulai mengalir ke pipi anak perempuan itu.

"Tidak apa-apa Kana, ini bukan salahmu" kataku sembari membelai kepala gadis kecil itu untuk menenangkannya.

"Ta-tapi... Ka-karena kana hanya di-diam saat melihat orang yang ingin menyentuhnya me-mereka jadi...."

"Kana, kamu juga tidak menyangka hal seperti itu akan terjadi disaat kita baru saja sampai ditempat asing ini, Kamu juga sudah melakukan yang terbaik dengan memperingati orang-orang setelahnya, kamu bahkan memilih untuk tetap tinggal disini dan menunggu bila ada orang lain yang akan datang untuk memperingati mereka kan? yang salah satunya adalah aku. Kamu sudah menyelamatkan aku Kana" kataku dengan tulus pada penyelamat kecilku itu.

Gadis kecil itu berhenti sejenak dari tangisnya dan menatapku dengan mata yang masih berlinangan air mata. Setelah sepersekian detik ia terdiam, ia lalu membenamkan wajahnya di dadaku dan kembali menangis. Aku memeluk gadis kecil itu dan menepuk-nepuk bahu kecilnya untuk menenangkannya.

"A-aku takut." Suara gemetar gadis kecil itu.

Yah tentu saja dia ketakutan. Bagaimana bisa gadis sekecil ini baik-baik saja setelah mengetahui kematiannya sendiri dan bahkan melihat kematian orang lain didepan matanya. Tidak perlu diragukan lagi jika orang dewasa sepertiku saja sangat sedih dan takut akan apa yang terjadi dan akan terjadi nantinya, apalagi gadis kecil ini namun aku tahu aku harus mengalahkan ketakutanku yang tidak berguna untuk apapun yang ada didepanku nantinya. Dengan mengkuatkan tekadku sekali lagi, aku berusaha agar suara yang keluar dariku terdengar meyakinkan dan dapat diandalkan.

"Tidak apa-apa Kana, kita akan dapat melewati ini bersama."