Malam semakin larut. Rumah sakit selalu syarat dengan suasananya yang angker, lorong yang kosong, suasana dingin, dan keheningan yang mencekam. Haidee sudah berusaha memejamkan matanya walau sekejap tapi tetap tidak bisa. Ia sama sekali tidak tenang.
Rencananya Haidee akan meninggalkan rumah sakit pagi-pagi sekali. Sekitar jam lima atau jam enam pagi. Ia akan pergi diam-diam. Berusaha menyelinap keluar dengan baik tanpa disadari siapa pun.
Haidee telah berpikir panjang tapi tidak ada rencana lain dari kabur pagi-pagi sekali. Ia tidak bisa mempercayai Adiwangsa, terlebih karena orang itu ternyata adalah seorang mata-mata.
Semua orang telah terlelap. Sesekali bahkan terdengar suara seorang mendengkur yang entah berasal dari ranjang mana. Untuk ke sekian kalinya, Haidee mencoba terlelap. Bibirnya sedang komat-kamit menghitung anak domba ketika sebuah suara tertangkap pendengarannya.
Dalam ruangan yang tertutup dan hening, bahkan suara koin yang jatuh saja bisa menghasilkan suara gema yang begitu jelas, jadi Haidee tidak mungkin salah mendeteksi suara. Ia jelas mendengar suara langkah kaki.
Mulut Haidee berhenti komat-kamit, telinganya fokus mendengarkan. Suara langkah terdengar lagi, kali ini semakin dekat. Haidee memasukkan tangannya ke dalam bantal. Ada pisau buah yang ia sembunyikan di sana. Semakin terdengar jelas langkah kaki, semakin erat ia menggenggam pisau.
Haidee menghitung dalam hati. Ketika yakin targetnya telah masuk dalam jarak serang, Haidee mengayunkan pisau di tangannya secepat yang ia bisa.
Meski telah berusaha secepat mungkin, lawannya tetap mampu menangkap gerakan tangannya. Entah karena lawannya merupakan seorang profesional atau gerakannya yang berubah lamban setelah tujuh tahun hanya berbaring saja di tempat tidur.
Tidak lantas pasrah, Haidee mencoba memukul dengan tangan kirinya, juga menendang. Lagi-lagi gerakan lawannya terlalu gesit untuk bisa dengan mudah ia kalahkan.
"Berhenti, berhenti! Ini aku, penyelamatmu!" Adiwangsa menurunkan maskernya.
Adiwangsa mengenakan topi, masker, celana jins, kaos oblong dilapisi dengan jaket kulit. Kostumnya telah berganti, tidak lagi mengenakan piama rumah sakit.
Haidee mengerutkan kening dan berhenti menyerang. "Apa yang mau kamu lakukan? Diam-diam membunuhku?"
"Membunuh?" Adiwangsa mengulang kemudian menyeringai. "Memangnya di antara kita siapa yang lebih dulu menyerang? Siapa yang membawa senjata?"
Adiwangsa mengambil dengan paksa pisau di tangan Haidee kemudian memasukkannya ke dalam laci. Ia tidak ingin mengambil risiko terluka atau mati karena ditikam dari belakang.
"Cepat siap-siap, sekarang kita harus meninggalkan rumah sakit!"
"Sekarang? Bukannya kamu bilang besok pagi?" Haidee terkejut. Bagian ini di luar rencananya. Harusnya besok pagi-pagi sekali ia kabur, bukan sekarang. Harusnya seorang diri dan bukan dengan seorang mata-mata.
"Tidak bisa. Mereka sepertinya akan mulai bergerak," jawab Adiwangsa. Ia baru saja dari bawah dan melihat keamanan tertidur dengan tidak wajar. Menyadari reaksi Haidee yang berlebihan, ia kemudian menatap pria itu. "Kenapa? Kamu berencana kabur seorang diri pagi-pagi sekali saat semua orang tertidur?"
Haidee tidak menjawab. Tidak menyangkal atau membenarkan. Ia hanya membalas tatapan Adiwangsa sembari memasang ekspresi Apa-Maksud-Mu.
Adiwangsa akan kembali mengoceh, tapi telinganya menangkap sebuah suara. Haidee pun sama. Haidee juga bisa mendengar apa yang Adiwangsa dengar. Suara pintu dibuka, dan suara langkah perlahan.
Segera, Adiwangsa merapat ke lantai. Ia mengamati situasi. Dibalik tirai pembatas bangsal, Adiwangsa bisa melihat kaki seseorang berdiri di depan pintu. Jelas bukan dokter atau perawat yang sedang melakukan patroli karena sepatu yang dikenakan adalah sepatu militer.
"Tidak ada waktu," kata Adiwangsa berbisik.
Tanpa suara Adiwangsa menunjuk bangsal sebelah, yang berarti berpindah tempat. Pelan-pelan, keduanya mulai melangkah.
Haidee turun dari ranjangnya dan mengikuti langkah Adiwangsa. Adiwangsa berdiri di depan sementara Haidee di balik punggungnya. Memperlakukan Haidee seperti melindungi seorang wanita lemah tak berdaya.
Tirai disingkap perlahan dan mereka mulai berpindah tempat.
"Mana pria tua yang tadi ada di sini?" Haidee bertanya nyaris tanpa suara.
"Bodoh, itu aku!" jawab Adiwangsa memamerkan topeng kulit yang berupa wajah pria tua yang ia simpan di saku jaketnya.
"Bodoh?!" Haidee tidak terima.
"Kalau begitu apa? Bego?" Adiwangsa meralat dengan kata yang memiliki makna sama. "Apa kamu tidak memperhatikan mulutku yang saat itu masih mengunyah apel?"
Haidee semakin tidak terima mendengar kalimat Adiwangsa. Ingin rasanya ia kembali ke ranjangnya sendiri dan mengambil pisau yang Adiwangsa letakkan dalam laci. Untungnya Haidee tidak sebodoh itu, mengikuti emosi sesaat dan menyerahkan kebebasannya.
Adiwangsa memberi aba-aba agar mereka merendahkan tubuh mereka. Mereka akan melewati ranjang dari kolong. Lebih aman, tidak akan ada suara. Jika hitungan Adiwangsa tidak salah, penyergap mereka telah berada di bangsal kedua dari depan.
Kali ini Adiwangsa dan Haidee bergerak lebih cepat karena penyergap mereka pun melakukan hal yang sama. Ketika telah sampai di depan pintu, ternyata penyergap lain telah menunggu di sana.
Tidak ingin memberi kesempatan, Adiwangsa menendangnya sekuat tenaga kemudian ia dan Haidee berlari ke pintu darurat.
Di pintu darurat pun sama. Kali ini dua orang penyergap yang berjaga. Adiwangsa menghajar salah satunya, sementara Haidee membereskan yang lainnya.
"Lumayan juga. Sepertinya kemampuanmu sudah mulai kembali atlet Sea Games."
Haidee hanya mengumpat, tidak tertarik untuk meladeni Adiwangsa lebih dari itu.
Adiwangsa dan Haidee terus berlari menuruni tangga. Suara langkah kaki penyergap mereka terdengar di belakang. Berlari seperti ini tidak akan menguntungkan. Mereka justru akan mengumpulkan para penyergap menjadi satu, membuat mereka terkepung dari segala arah.
Adiwangsa mengubah rencana dengan cepat. Ia menarik Haidee ke lantai lain dan masuk ke sebuah ruang rawat. Para penyergap yang mengejar di belakang dan yang menunggu di lantai selanjutnya kehilangan jejak. Mereka beralih ke lantai tempat terakhir kali melihat Adiwangsa dan Haidee turun.
Tidak menemukan jejak Adiwangsa maupun Haidee, para penyergap pun memasuki ruangan satu per satu, menyingkap tirai pembatas satu per satu. Mereka mencari ke setiap sudut, memeriksa setiap tempat, bahkan tidak lupa memeriksa ke kolong ranjang, juga toilet. Hasilnya tetap nihil. Mereka tidak menemukan Adiwangsa dan Haidee di mana pun.
Mereka kemudian beralih ke lantai lain. Kembali memeriksa setiap ruangan dan menyingkap setiap tirai pembatas. Sekali mereka melihat seseorang yang bersembunyi di balik selimut. Ketika mereka pikir akhirnya berhasil menemukan target yang dicari, ternyata yang bersembunyi di balik selimut adalah pasien wanita yang menggigil kedinginan.
Tiba-tiba selimut yang menutupi tubuhnya ditarik, si pasien memekik terkejut. Suaranya yang nyaring membuat beberapa pasien yang berada di ruangan yang sama dengannya ikut bangun. Akibatnya para penyergap berhambur ke luar ruangan, tidak ingin semakin menarik perhatian dan membuat keberadaan mereka semakin mencolok.
Sebenarnya Adiwangsa dan Haidee benar bersembunyi di lantai yang sebelumnya para penyergap periksa. Adiwangsa menyamar sebagai anggota keluarga yang menjaga pasien. Ia melepas dan menyembunyikan topi, masker, dan jaketnya ke dalam lemari.
Untuk menyempurnakan penyamarannya, Adiwangsa bahkan dengan lancang tidur di paha seorang wanita yang tidak ia kenal, yang tertidur sembari terduduk. Wanita itu nyaris berteriak histeris saat melihat Adiwangsa. Untungnya Adiwangsa segera membekap mulutnya dan memberi uang suap yang jumlahnya tidak sedikit.
Berbeda dengan Adiwangsa, Haidee berada di bangsal seberang tempat Adiwangsa bersembunyi. Haidee mengenakan topeng yang Adiwangsa bawa. Ia juga berpura-pura menjadi keluarga pasien yang tengah tertidur lelap di kursi. Padahal pakaiannya adalah piama rumah sakit, tapi tidak satu pun pengejar yang curiga.
Haidee dan Adiwangsa turun ke lantai bawah saat para penyergap sibuk mencari ke ruangan lain. Ketika keduanya keluar setelah berhasil mengelabui, seorang pria berpakaian dokter berdiri di tangga atas, menatap punggung Haidee akhirnya berhasil kabur. Ia menyunggingkan senyumnya kemudian berbalik pergi.
Sesuai dugaan Adiwangsa, beberapa penyergap telah menunggu di luar, tapi tidak masalah karena jumlahnya hanya tiga orang. Adiwangsa menghadapi dua orang dan menjatuhkan mereka dengan cepat. Ia menyisakan satu orang untuk Haidee tangani. Anak itu benar-benar kuat seperti dalam profil yang pernah Adiwangsa baca.
Adiwangsa menuju ke tempat di mana mobilnya terparkir, tapi lupa kalau mobilnya siang tadi diangkut polisi lalu lintas. Ada pesan singkat pemberitahuan yang masuk ke ponsel dalam identitas palsunya yang lain. Pesan yang memberitahukan kalau ia telah melanggar aturan parkir.
Alhasil Adiwangsa dan Haidee harus berjalan nyaris satu jam untuk sampai ke stasiun. Malam sudah terlalu gelap, tidak ada kendaraan umum yang melintas. Bahkan jika mereka memutuskan untuk menunggu di pinggir jalan atau memesan Online melalui aplikasi. Pertama, menunggu sangat tidak efektif, dan kedua mereka masih dikejar-kejar.
Sampai di stasiun mereka memilih untuk berangkat menggunakan MRT. Karena keberangkatan terakhir sudah terlewatkan dan keberangkatan pertama pukul tujuh pagi, pada akhirnya mereka tetap harus menunggu.
Adiwangsa dan Haidee sepakat memilih tempat di pojokkan untuk beristirahat. Mereka duduk beralaskan lantai keramik yang dingin, berharap tubuh mereka lebih kuat sehingga tidak masuk angin keesokan harinya. Haidee menjadi orang pertama yang jatuh terlelap.
###