webnovel

Ulasan

Bayu Mengunjungi Tuan Budhi di tempat pelatihan dekat dengan istana bupati. Dia ingin berbicara empat mata.

Tuan Budhi seperti biasa sedang membina prajurit istana Mandalika. Mreka berbaris dan mengikuti semua arahan instruktur. Tuan Budhi mengamati dari luar lapang. 

"Paman ada yang ingin aku bicarakan."

"Bicaralah"

"Aku yakin kau tidak ingin orang lain mendengar ini." 

Tuan Budhi mengerti maksudnya. Pastilah ada hal penting atau hal yang rahasia. "Baiklah kita bicara di dalam"

Mereka duduk di sebuah ruang rapat kecil. Tuan Budhi memainkan cerutu di tangannya, entah sejak kapan dia berhenti menghisap cerutu itu. Hanya mengeluakannya. Memainkannya di tangan. Lalu memasukan lagi kedalam kantungnya.

"Jadi, apa yang ingin kau bicarakan?"

"apa paman senang jika Nurmala masih hidup?"

Tangannya terhenti memutar cerutu itu. Raut wajahnya seakan tak menyangka setelah setahun lamanya Bayu tidak pernah menanyakan itu.

"kenapa kau bicara begitu?"

"sebenarnya kemana paman membawanya?"

darah dari baju itu, bukan darah nya kan?

Paman sengaja membawanya kesana, tapi dia hanya ditinggalkan, iya kan? 

dengan harapan dia akan tetap hidup.

Ketika Pak Tono bilang melihatnya, kau senang iya kan?"

"...."

"jika aku bilang aku melihatnya, apa kau akan tetap diam?"

Tuan Budhi menatapnya heran. Matanya mulai berair.

"jangan katakan apapun Bayu."

"Paman adalah orang yang baik aku yakin itu . karena itulah paman membohongi kami semua."

"Apa yang ingin kau ketahui?"

"Tidak ada. Dia bilang dia tidak akan kembali.

Dia akan tetap menjadi hantu bagi kota ini."

"jika dia lebih aman disana, maka lebih baik jangan kembali."

"Paman tau, semua informasi yang aku dapat, itu dari dia."

"kau mempercayainya.?"

"selama yang sudah kami lalui, bagaimana bisa aku tidak percaya padanya. Bbahkan seseorang datang bertanya padaku apakah dia benar benar mati. Banyak orang yang sudah dia bantu bahkan ketika tidak bersama kami. Aku bangga padanya.

Paman jika sesuatu terjadi lagi padanya aku berjanji pada diriku sendiri, aku akan tetap bersamanya"

"Aku senang dia memiliki seseorang sepertimu. Aku menyesal tidak bisa melindunginya lebih lama. Aku sangat menyesal."

"Jangan menyalahkan diri paman. Sesungguhnya dia pun tau kebaikan hati paman"

***

Nurmala selalu memberitahu Bayu mengenai info terbaru prajurit mongol. Dia menembakan anak panah kepada Bayu dengan menyelipkan secarik kertas. Hanya selalu Nurmala yang memberi informasi. Tanpa bisa di balas oleh Bayu. Pasalnya. Nurmala selalu menembakan anak panah itu dimana pun Bayu berada. Sedangkan Bayu tidak tau dimana Nurmala berada untuk membalas pesannya. 

Tujuh hari berlalu prajurit Mongol benar benar datang. Menyergap secara tiba tiba. Untungnya pasukan dari istana sudah mempersiapkan diri hingga tidak banyak korban jatuh. Pasukan Mongol pulang dengan membawa kekalahan.

Saat itu Dhika ikut dalam perang gerilya. Dia bergabung dengan prajurit istana, tentu saja itu semua permintan dari ayahnya. Meski dia tidak ingin melakukannya tapi dia tetap menuruti perintah ayahnya. Tanpa membuatnya kecewa.

Pernyergapan pertama berhasil di hadang, tapi bagaimana seterusnya. Kali ini beruntung karena mendapat bantuan dari Nurmala. Entah bagaimana dengan selanjutnya.

Kemenangan perang saat itu membuat tuan Wilis besar kepala. Para menteri dan utusan dari kerajaan bersahutan memuji dirinya. Yang mereka tau, informasi dan strategi perang saat itu adalah idenya. Dia bahkan tidak menyebutkan Bayu dan para kepala keluarga besar yang ikut andil. Bahkan Dhika yang ikut andil ke lapang perang itu pun seakan tidak terlihat, padahal sebagian besar dari prajurit mongol di kalahkan olehnya.

Melihat itu tidak ada yang menentangnya, Bagaimanapun Tuan Wilis lah yang di tunjuk untuk memimpin perang saat itu. 

Dalam hati Dhika bergumam, tapi dia harus menelan itu bulat bulat untuk tidak mempermalukan keluarganya.

Perjamuan diadakan lagi untuk merayakan kesuksesan tuan Wilis dalam perang, masih di tempat yang sama. Istana kediaman tuan Wilis.

Seperti biasa seluruh petinggi dan keluarga besar di undang untuk merayakannya, juga untuk menyombongkan diri, dia memajang piagam penghargaan emas pemberian Raja, dan dengan bangga memamerkannya kesetiap orang disana. 

Bayu mengerutkan bibirnya dan bergumam tidak karuan.

Tidak rela prestasi itu di ambil alih olehnya, orang sombong yang tidak punya perasaan. 

Dyah menghampiri Bayu, dengan kebaya panjang yang dikenakannya dia sangat terlihat manis. Tapi tentu saja  sama sekali tidak dapat menyentuh hati Bayu. 

Bayu yang memisahkan diri dari ramainya perjamuan hanya berdiri di samping jendela. 

"Kau tidak ikut bergabung dengan yang lain?" ujar Dyah

"Aku sedang tidak ingin di keramaian saat ini."

"Seseorang pernah melihat Nurmala, bagaimana perasaanmu?"

"Kenapa kau bertanya padaku?"

"Ku kira kau akan senang."

"Entahlah. Apapun yang terjadi aku hanya berharap dia bahagia. Tidak menderita lagi."

"Apakah jika dia mati maka dia bahagia?."

"Entahlah. Jika kau berharap dia hidup hanya untuk menderita, maka aku akan berharap sebaliknya."

Terdengar keributan di tengah keramaian. Membuat semua orang penasaran dengan keributan itu.

Seseorang berseru "Aku benar benar pernah melihat Nurmala ketika pergi berburu di hutan berdekatan dengan hutan pekat, aku yakin itu dia"

"dia seakan mengendalikan sebuah mahluk seperti bayangan"

Raut muka Bayu tiba tiba saja berubah seakan ingin mengungkapkan sesuatu.

"Apa kau pikir itu benar" tanya Dyah pada Bayu

"Entah."

Ditengah keramaian itu, semua salah paham itu menjadi semakin rumit.

Bayu menghampiri lalu berteriak "tidak bisakah kalian menghargai orang yang sudah meninggal? tidak bisakah kalian membiarkannya dengan tenang?"

seseorang menyela "Apa maksudmu, bukah seharusnya kau senang karena temanmu masih hidup.?"

"Tentu saja aku akan senang, tapi aku tidak senang dengan cerita kalian semua. Ayu sudah meninggal dan sudah tidak ada gunanya merahasiakan ini, bukankah semua orang tau mengapa dia bisa mati,"

"Tentu saja karena hukuman telah memberikan racun kepada Ayu."

"Tapi ayu tetap mati meski tidak ada Nurmala. karena bukan Nurmala yang meracuninya."

"Itu tidak terbukti sama sekali. Ayu meninggal karena efek racunnya masih tertinggal."

" Setahun ini aku mempelajari mengenai racun itu. itu bukan racun yang bisa membuat seseorang mati dengan sekali teguk, racun itu melemahkan semua organ vital hingga terlihat seperti anemia biasa. Beberapa hari pengaruh racun itu akan hilang, tapi itu bertahan hingga tiga bulan, yang berarti Ayu masih meminum racun itu secara rutin.

Apa tidak ada yang memikirkan hal ini?"

Semakin lama Bayu semakin emosi. Semua orang tertuju pada perselisihan itu. Bayu teguh pada pendiriannya.

"Itu sudah lama berlalu dan tidak ada yang bisa membuktikannya."

"Benar. Nurmala sudah lama mati dan biarkan tetap seperti itu, karena itu sudah lama berlalu."

"Giok cahaya ada di tangannya bagaimana jika ada prajurit Mongol mendapatkan itu." Tiba tiba tuan Wilis bergabung dengan pembicaraan

"Jadi itu tujuan anda? Mencari giok cahaya?"

Bayu tersenyum pahit dan melanjutkan kalimatnya.

"aku rasa bukan karena takut di ambil Mongol, mungkin mereka bahkan tidak tau mengenai itu"

"apa maksudmu?"

Bayu tersenyum pahit lalu pergi meninggalkan aula perjamuan. 

------

Lentera malam sudah menghiasi seisi rumah. Mereka akan menjadi saksi ketika kisah malam terurai. Terkadang hanya mereka lah yang menemani dikala gelap menyelimuti. 

Rumah keluarga Wijaya selalu di penuhi tawa. Tiada kisah sedih di setiap sudutnya. Mungkin itu yang orang orang pikirkan. Tidak ada yang bisa membaca isi hati seseorang. Begitu juga lentera lentera itu.

Beberapa tahun terakhir tidak terdengar lagi tawa yang mengitari rumah. Anak anak yang selalu bersenang senang kini sudah tumbuh dewasa. Begitu juga dengan Haris dan Bayu. Mereka tumbuh bersama dalam satu atap. Bersama orang orang yang menyayangi mereka. Tapi tentu saja perselisihan kadang terjadi. Namun itu bukan hal yang besar. Seperti memecahkan kendi kendi mahal atau melepaskan hewan langka yang sengaja di bawa tuan Wijaya untuk di pelihara. Anak anak dengan kepolosannya. Tapi Tuan Wijaya tidak pernah menganggap itu dengan serius.

Bayu lagi lagi berbuat onar. Padahal beberapa tahun terakhir tidak ada kenakalan lagi yang di buatnya. Bahkan dia membantu penyelidikan dengan Tuan Budhi, atau hal lainnya yang patut di acungi jempol. Perselisihan di perjamuan Tuan Wilis membuat Tuan Wijaya geram. 

Haris dan Bayu terlihat beradu mulut di ruang keluarga. Bertengkar. Sikap Bayu saat di perjamuan benar benar mempermalukan nama keluarga Wijaya. 

Haris "Tidak bisakah kau jaga ucapanmu? Apa kau lupa kau berada dimana?"

Bayu "Apa kau tidak dengar apa yang mereka bicarakan."

Haris "Semua tidak ada hubungannya dengan kita. Sebaiknya kau tidak ikut campur lagi masalah ini."

Bayu "tidak bisa begitu"

Tuan Wijaya datang dengan muka merah. Berjalan dengan cepat memasuki ruang keluarga. Istrinya - Rindah mengikuti di belakangnya.

Tuan Wijaya menahan amarahnya, tapi tentu saja karena dia mengerti dulu Bayu sangat kehilangan Nurmala, Kini setelah setahun berlalu dia merasa marah karena seseorang akan mengusik ketenangan kawan dekatnya.

Tuan Wijaya "Bayu, Paman mengerti perasaanmu, tapi kau berada di tempat yang salah untuk bicara"

Bayu "paman, aku..."

Tuan Wijaya "Bayu tahan amarahmu, kau tau situasi kali ini seperti apa. Tuan Wilis semakin kejam dia bahkan tidak segan melukai warganya sendiri. Jangan sampai amarah kita berakhir dengan hal yang lebih buruk lagi."

Bayu tau itu. Dan dia mengerti. "aku minta maaf Paman, tidak seharusnya aku bersikap seperti itu."

Rindah "Sudahlah, jangan dipermasalahkan lagi. kita semua tau bagaimana keadaanya, lagipula Bayu sudah menyadari itu."

Nyonya Wijaya orang yang baik, mereka memperlakukan Bayu sebagai anaknya sendiri. Bayu sangat menyayangi keluarga ini.

Bayu kembali ke kamarnya dan berbaring di tempat tidurnya. Menyilangkan kedua tangannya menjadi bantalan kepalanya. Salah satu kakinya menumpang di kakinya yang lain.

Haris datang membawa  dua cangkir teh. Untuknya dan untuk Bayu. "Merasa bersalah?"

"Tentu tidak. Aku puas sudah meluapkan semuanya"

"Cih. Kau tidak pernah berubah"

Bayu menghela nafas panjang "tiba tiba aku teringat ketika pertama kali aku di bawa kesini."

"Ada apa dengan itu?"

"Kau pikir paman memungutku darimana?"

"Bahasamu kasar sekali. Kau pikir kau itu kucing?"

"Anggap saja begitu"

"Ayah tidak suka kucing jadi pasti kau di tendangnya"

"Kejam sekali! aku suka kucing."

"Ah kau bicara omongkosong lagi. Kau membuatku pusing"

"Bagaimana kabar adikmu?"

"Sedang tidur"

"Kau tau, aku tidak ingat bagaimana ayah dan ibuku. Tapi aku tidak terlalu memikirkannya hanya saja terkadang aku sedikit penasaran"

"Penasaran terhadap apa?"

"Bagaimana mereka tewas."

"Jangan bicarakan itu. Kau akan sedih. Lebih baik bicarakan sesuatu yang menyenangkan. Lagipula bukan hanya kau yang kehilangan orang tua. Ibuku juga meninggal ketika aku kecil."

"Benar. Apa kau rindu ibumu?

"Terkadang. Tapi ibu tiriku juga sangat baik. Aku tidak khawatir. Kau juga jangan khawatirkan apapun. Kau memiliki kami"

"Kau benar"

Rindah adalah Istri kedua bagi Tuan Wijaya. Mereka menikah sepuluh tahun lalu. Tapi baru di karuniai seorang keturunan. Rindah baru saja melahirkan putra pertamanya. Diberinama Galih Surya Wijaya. Nama yang indah untuk bayi laki laki.

----