webnovel

Serigala

"Aaaauuuuuuuuu" suara serigala melolong dengan begitu jelasnya. Padahal matahari masih benderang. Semua yang mendengar itu merasa terheran. Entah dari mana suara serigala itu berasal.

Dylan terhenti di sebuah persimpangan jalan. Mendengar lolongan itu dia tersadar terpisah dari yang lain. Menengok ke kiri dan ke kanan tidak ada siapapun disana. Tiba tiba sebuah kepulan asap hitam muncul perlahan. Semakin lama semakin jelas. Membentuk suatu tubuh hewan. Bukan hanya satu. Tapi ratusan. Menyeringai menunjukan taring taring nya. Tatapannya seakan ingin menerkam mangsanya. "Haha aku pernah mendengar yang seperti ini. Tapi sepertinya ini berbeda dari cerita orang orang." Secepatnya dia berlari menjauh dari sana. Anjing anjing itu mengejarnya. Mengikutinya kemanapun dia pergi. Sambil mengonggong seperti mengejar pencuri. Dylan tidak melawan. Hanya berlari terus. Tidak ingin berurusan dengan mahluk jadi-jadian ini. "Aahh. Aku orang baik. Kenapa kau terus mengejarku."

Pradhika Wiriya di kelilingi oleh ratusan ekor anjing jadi jadian. Mereka sesekali menyalak padanya seakan menyuruhnya untuk pergi dari wilayahnya. Dhika memicingkan matanya. Sesuatu ada yang salah dengan ini. Dia menyadarinya. Anjing anjing ini bukan milik Bayu. Ratusan anjing itu menyerangnya. Dhika melawan itu semua. Tanpa rasa takut. Tanpa rasa ampun. Sorot mata tajamnya seakan berkata akan membunuh semuanya. Tidak ada yang sulit bagi sang Balapati.

Rinaya masih berdiri di tempatnya. Mendengar lolongan itu dia meragu. "Itu Serigala? Anjing?" Dua jenis hewan dari keluarga yang sama. Tapi tentu berbeda. Sifat keduanya pun bisa di bedakan.

Sekelebat bayangan muncul melintas di depannya. Tidak terlalu jelas. Tapi dia bisa melihat cirinya. Seseorang setinggi Balapati. Mengenakan tudung merah gelap.

Dia mencoba mengejarnya. Berharap dia adalah seseorang yang dia kenali. Bayangan itu terlihat sangat nyata. Bukan ilusi. Semakin lama semakin terlihat. Ciri ciri yang sama dengan seseorang yang berpapasan dengannya di desa sebelah. Dia terus mengikuti langkahnya.

"Tunggu" teriaknya pada orang itu. Dia pun berhenti di sebuah jalan buntu. "Tunjukan Siapa dirimu!"

Pria itu perlahan berbalik. Tudungnya masih menutupi wajahnya. Pencahayaan yang tertutupi kabut membuat semuanya tidak terlalu jelas. Meski Rinaya memicingkan matanya berharap bisa mengenali orang itu.

"Ketemu!!" Morang tiba tiba berbisik di belakangnya. Seketika itu juga Rinaya berbalik. "Maaf membuatmu kecewa" ujar Morang padanya dengan tawa khasnya.

Perhatiannya teralihkan. Dia putar kepalanya memastikan pria itu masih di tempatnya. Tapi dia tidak ada.

"Mencari seseorang?" Ujar Morang. Dia seakan tau apa yang dipikirkan Rinaya.

"Berhenti mengangguku."

"Kau ingin bertemu dengannya?"

"S siapa maksudmu?"

"Dia." Seseorang muncul di balik persimpangan. Perlahan berjalan mendekati mereka berdua. Pria itu. Perawakan dan wajah yang sangat dia kenal. Mengenakan tudung merah gelap. Bayu.

Mata Rinaya mulai bergetar. Membeku. Tidak bisa berkata apa apa. Sosok itu benar benar seperti yang dia kenal. Dia ragu. Benarkah pria ini adalah Bayu yang dia kenal? Atau hanya sebuah ilusi?

"Kita lanjutkan permainannya. Aku akan biarkan dia yang melakukannya untuku. Aku akan memperhatikan dari jauh. Aku yakin kau bisa melepas semua perasaanmu padanya." Dengan sesekali dia tertawa seolah menemukan satu hal yang dia senangi.

"Memangnya apa yang kau tau tentang aku?" Tanya Rinaya dengan nada sinisnya.

"Benar. Kira kira apa yang ku tau tentangmu. Kau sangat misterius. Aku bahkan tidak bisa membaca pikiranmu. Aku juga tidak bisa menebak rasa takutmu. Aku hanya yakin kau bukan orang biasa." Dia kembali melakukan tawa khas nya. "Apa tebakan ku kali ini benar? Aku berikan dia sebagai hadiah. Sebagai gantinya kau beritau aku dimana itu berada."

Rinaya Tertawa. "Haha kau pikir dengan seperti ini aku bisa tau dimana itu berada? Kau benar. Aku menghilangkannya. Jadi percuma saja kau bertanya padaku."

Senyum Morang seketika menghilang. Berubah jadi kemarahan. Secepat itu dia merubah emosinya. Benar benar tidak waras. "Kalau begitu aku biarkan dia bersamamu selamanya."

Dia menjentikan jarinya. Seperti sebuah tanda atau perintah. Bayu segera berlari menghampiri Rinaya. Secepat kilat tangannya mencengkram leher Rinaya. Dia sama sekali tidak bisa menghindar. Dia Mencekiknya.

Rinaya memberontak menggunakan semua tenaganya berharap bisa lepas dari cengkraman kuat itu. Bayu mengangkatnya hingga kaki kaki Rinaya melayang sudah tak menyentuh tanah. Sorot matanya kosong. Rinaya mulai menyadari satu hal. Dengan terbata dia berkata "Kau bukan Bayu."

"Wah. Kau bisa tau secepat itu." Ujar morang dari kejauhan. Memperhatikan semuanya. "Kau benar. Dia hanya peniru. Bukankah aku hebat. Bisa melakukan ini. Aku yakin kau ingin bertemu dengannya."

Rinaya sudah tidak bisa berfikir. Nafasnya terhenti di tenggorokan. Perlahan Rinaya mulai kehilangan kesadaran. Sosok Bayu ini. Benar benar ingin membuatnya mati.

Rinaya memang memiliki dewa pelindung. Dimanapun dia berada. Dia percaya dalam kesulitan ini akan ada yang menolongnya. Dia percaya Tuhan tidak tidur. Dia percaya Tuhan selalu mendampinginya. Dia percaya Tuhan masih menyayanginya. Meski dia tidak tau harus berbuat apa. Dia hanya bisa berdoa.

Tiba tiba saja tubuhnya terpental. Begitu juga dengan sosok Bayu. Salah satu lengannya terputus. Seseorang melakukan itu padanya. Seseorang yang tadi menolongnya dari serangan Morang.

Siapa itu? Rinaya berusaha bangkit dan melepas potongan lengan yang masih mencengkramnya.

Sesekali memicingkan matanya melihat siapa dia. Dia dengan cepat bertarung dengan Sosok Bayu. Kekuatannya diluar kewajaran sekali pukul Sosok Bayu itu langsung terpental jauh. Sosok Bayu itu bisa mengimbanginya tapi tetap saja dengan satu lengan Dia kalah di tangan orang itu.

Sosok Bayu berubah menjadi kepulan asap setelah Dia memukulnya dengan sangat keras. Rinaya masih mengamatinya.

Begitu juga dengan Morang "Pengganggu!!" Ujarnya. Tak lama orang itu berbalik menatap Morang. Rinaya akhirnya menyadari siapa itu. Tapi dia sangat berbeda.

"Tidak mungkin.....bagaimana bisa?" Seakan tidak percaya dia melihatnya. Hal hal yang tidak masuk akal ini.

Morang berlari pergi. Menjauh dari tempat itu. Lagi lagi orang itu berlari mengejarnya. Rinaya dengan segera ikut mengejar mereka. Tapi mereka terlalu cepat. Dia kehilangan jejak mereka. Diapun berlari terus mencari.

"Kemana mereka pergi. Cepat sekali menghilang." Keluhnya dengan nafas yang terengah engah. Lalu kembali berlari.

Seseorang menarik lengannya. Memasuki sebuah rumah kecil. Menutup semua pintu dan akses masuk. "Apa yang kau lakukan?" Rinaya bertanya pada Dylan. Yang baru saja menutup pintu.

"Sssstt. Jangan berisik. Anjing anjing itu masih mengejar."

"Anjing? Dimana?"

"Dengar?" Suara gongongan anjing kian lama kian jelas. Mereka mengintip dari sela sela lobang di jendela. Memastikan keadaan di luar apakah aman atau tidak. Tak lama kemudian Balapati datang. Dikejar beberapa anjing besar di belakangnya. Dia berbalik lalu melayangkan pedangnya. Anjing yang dia lumpuhkan, terurai menjadi asap hitam. Lalu menghilang. Dengan cepat dan gesit dia membunuh anjing anjing itu. Sekelompok lain datang. Seakan tidak ada habisnya. Berlari mengonggong dan menyerangnya. Tapi seketika itu juga Balapati mengayunkan pedangnya.

"Wahh.. dia sangat hebat" Bisik Rinaya.

"Tentu saja. Reputasi itu tidak main main untuknya." Jawab Dylan dengan percaya diri.

"Kenapa kau tidak membantunya. Malah bersembunyi disini."

"Haha. Tidak tidak. Untuk apa aku melakukannya. Dia saja sudah cukup."

"Kau takut?"

"Ha? T t tidak. Tidak sama sekali"

"Benarkah?"

"Tt tentu saja."

"Kalau begitu pergilah. Bantu dia."

Dylan memutar matanya seperti berfikir akan membuat alasan apa agar tidak melakukan itu. Tapi sesuatu terjadi di luar. "Lihat! Ada yang datang." Bisik Dylan.

Seseorang berdiri berlawanan arah dari Balapati. Menatapnya dengan ekspresi datar.

"Kau?" Balapati mengenal sosok itu. Dia pun seakan tak percaya. Orang itu sudah mati Lima Belas tahun lalu. Hanya sesuatu berbeda darinya. Wajahnya terlihat lebih pucat. Bolamatanya tak lagi putih. Merah keseluruhan. Tapi korneanya masih tetap sama.

"Sudah lama tidak bertemu. Tuan Wiriya." Ujarnya pelan.

Rinaya yang mengintip dari balik jendela benar benar merasa tidak percaya. Dulu dia melihatnya sendiri. Orang itu tewas saat itu juga. Dylan menahannya ketika Rinaya hendak beranjak ingin keluar dari tempat persembunyiannya. "Tunggu. Kita lihat dulu."

"Bukankah kau-?" Kalimat Balapati terpotong. Dan orang itu melanjutkan kalimatnya.

"Sudah mati?. Benar. Seharusnya aku sudah mati saat itu."

Dylan bertanya pada Rinaya "Siapa orang itu?" Dylan memang tidak tau apa apa mengenai kejadian itu. Tapi pasti dia telah mendengar sebagian ceritanya.

"Rekanku. Salah satu anggota kelompok Halimun. Namanya Jaka."

Mata Dylan terbelalak mendengar itu. "Apa aku tidak salah dengar?"

"Memangnya ada apa?" Tanya balik Rinaya.

"Ceritanya nanti saja. Aku harus melihat ini dulu."

Sekelompok anjing datang lagi. Lebih besar dan lebih banyak dari biasanya. Jaka tidak mengkhawatirkan itu. Begitu pula dengan Dhika. Anjing anjing itu mengelilingi mereka. Menggonggong. Seperti ingin mengusir mereka. Atau memberitahu tuannya bahwa mereka menemukan targetnya.

"Itu benar benar Anjing!" Ujar Rinaya masih mengintip dibalik jendela.

"Ketemu!!" Rinaya dan Dylan di kagetkan dengan suara itu. Seseorang Tiba tiba saja ada di belakang mereka. Di dalam ruangan yang sama.

"Sepertinya percuma saja kau bersembunyi. Dimanapun kau berada. Aku selalu menemukanmu." Tidak ada lagi tawa dalam kata katanya. Dia menahan amarahnya entah karena apa. Terlihat lebih menakutkan dari biasanya. Rinaya membatu menatapnya.  Dylan berinisiatif membuka pintu. Dia tau orang ini mungkin berbahaya. Dylan Mundur perlahan keluar Rumah itu. Begitu pula Rinaya. Morang mengimbangi langkahnya maju mendekati mereka hingga keluar dari rumah kecil itu.

Mereka di tengah kepungan anjing anjing milik Morang. Pasti seperti itu. Tapi Jaka? Dimana dia perpihak? Semua tidak tau. Raut wajahnya tidak memberi petunjuk sama sekali.

"Berhentilah mengangguku!" Ujar Rinaya pada Morang.

"Kalian berfikir bisa keluar dari desa ini? Tidak akan ku biarkan." Morang meniup dua jarinya. Terdengar suara siulan. Apa yang dia panggil?

Riuh ramai terdengar dari kejauhan. Semakin lama semakin jelas. Sekelompok manusia datang bergerombol. Mengepung mereka semua. Benar benar seperti di masa lalu. Orang orang itu. Bukan manusia.

"A-Apa yang terjadi?" Rinaya terbelalak melihat itu.

Morang tertawa "haha. Bagaimana menurutmu. Ini semua adalah hasil karyaku."

"Ada apa dengan orang orang itu?" Bisik Dylan pada Rinaya.

"Mereka sudah bukan lagi manusia." Jelas Rinaya padanya.

Tentu saja orang orang itu berbeda dari yang dulu menyerang kota. 'Hasil Karya' jika Morang menyebutnya begitu maka ada campur tangan manusia didalamnya. Mereka berwajah Hitam. Matanya merah mengalirkan darah. Mereka tidak berkedip. Mereka seperti mayat hidup.

"Bukankah mereka sangat indah. Aku ingin menirunya tapi tidak pernah bisa." Ujar Morang.

"Kau benar benar membuatku kagum. Tapi Mayat hidup ini kurasa tidak akan bisa bertahan lama." Balas Rinaya meledek.

Morang memegang dagunya. "wah. Kau juga tau mengenai itu. Padahal aku tidak pernah memperlihatkan ini pada siapapu n. Tebakan hebat. Tapi kau memang benar."

"Beritau aku siapa yang ingin kau tiru? Apa dia begitu hebat?" Tanya Rinaya.

Morang tersenyum. "Kau sudah melihatnya." Dia menganggukan kepalanya. Menunjuk satu sosok dekat mereka Jaka. "Karya ku tidak bisa menyamainya."

Semua menatap Jaka yang masih berdiri disana. Tanpa ekspresi dia tetap diam. Beribu tanya terukir di setiap kepala yang menyaksikan percakapan itu. Jaka memang terlihat berbeda. Tapi dia tidak mirip dengan semua boneka milik Morang. Jaka tersenyum sinis.

Secepat kilat dia berlari menghampiri dan menyerang Morang. Secepat itu juga Morang menghindar dan membalas serangannya. Sementara dua orang itu bertarung, Anjing dan mayat hidup mulai menyerang. "Dylan kurasa kau harus terbiasa berhadapan dengan anjing anjing ini." Ujar Rinaya.

Dhika tanpa ragu mengayunkan pedangnya. Memotong Membelah apapun yang menjadi musuhnya. Rinaya hanya bisa menghindar sebisanya.

"Tetap ditengah" ujar Dhika. Sementara dia Menahan musuh dari satu sisi. Dan Dylan di sisi yang lain.

"Kerjasama yang bagus" Celoteh Rinaya di tengah perterungan.

"Apa kau tidak bisa melakukan sesuatu? Bukankah tempo hari kau begitu hebat?"  Ujar Dylan meledek sambil sesekali memotong anjing anjing itu.

"Kali ini kalian lah pemeran utamanya. Bereskan saja itu dengan cepat. Aku ingin segera keluar dari desa ini." Balas Rinaya.

Musuh semakin berkurang. Dhika membuka jalan. "Lari.!!" Teriak Dhika pada semuanya. Mereka pun berlari. Sementara sisa musuh masih mengejar. Terutama beberapa anjing yang selalu berlari lebih cepat. Dhika dan Dylan harus selalu waspada dengan mahluk mahluk ini.

"Bagaimana dengan Jaka?" Tanya Rinaya sambil Terengah berlari.

Dylan "kurasa dia akan baik baik saja. Kita keluar dulu dari sini."

Perlahan kabut mulai menipis. Mataharipun terlihat mengintip di balik garis bumi. Hari sudah semakin larut. Gerbang selatan desa sudah terlihat. Berbeda dengan pintu masuk gerbang utara yang tertutupi bebatuan. Pintu Gerbang selatan terlihat porak poranda. Seseorang pasti telah menghancurkannya.

Mereka masih berlari. Mayat hidup itu masih mengejar. Tapi tidak sebanyak seperti semula. Mereka pun melewati pintu gerbang. Namun mayat hidup dan Anjing itu berhenti di balik gerbang. Tidak melewatinya. Seakan batas hidup mereka adalah hanya mencapai gerbang.

Dylan "mereka tidak mengejar keluar?"

Dhika "Sama seperti Morang. Tidak pernah meninggalkan desa. Mereka pasti mengikutinya."

Sesuatu datang dengan cepat. Jaka melayang terpental melewati pintu gerbang. Dia pasti mendapat pukulan keras. Morang mulai terlihat di balik kabut. Seseorang berdiri di belakangnya. Sosok Bayu. Bayu tiruan. Morang hanya menatapnya dari balik gerbang. Lalu mundur dan menghilang bersama kabut. Begitupula dengan anjing dan mayat hidup itu.

Rinaya membantu Jaka bangun dan berdiri. "Apa yang terjadi?"

Jaka menurunkan pandangannya dan menunduk seakan ingin menutupi matanya yang sudah tak sama lagi.

***