webnovel

Perburuan

Rinaya berlari menembus kabut dengan air mata yang masih mengalir. Dylan mengejar dari belakang. Sesekali tak terkejar karena pekatnya kabut. Rinaya seolah menghilang dan Lalu muncul lagi kemudian hilang lagi. Dylan hanya mengikuti bayanganya yang kian lama kian samar.

"Kau baik baik saja?" Tanya Dhika pada Bayu yang masih mematung berdiri di tempat yang sama. Tidak bergeming.

"Aku tidak sengaja" ujarnya pelan. Getaran penyesalan tersirat dari kata katanya.

"Aku tau." Jawabnya singkat.

"Kau tidak mengejarnya? Seperti yang lainnya."

"Aku... akan menemanimu."

"Apa aku melakukan kesalahan?"

"...." Dhika tidak menjawab itu. Dia mengerti. Tapi bicara pun tidak merubah apapun.

"Perkataan Jaka benar. Aku tidak tau terimakasih."

"Kita harus mengejarnya. Boris atau Morang mungkin akan menemukannya."

Sejak awal tujuannya memang untuk menemukan Rinaya. Tapi perselisihan ini malah membuat mereka semakin menjauh.

"Aku merasa malu" Jawab Bayu dengan sedih.

Seseorang menarik lengan Rinaya. Membungkam mulutnya, membawanya bersembunyi dari jalur yang tadi dia lewati. 'Di saat seperti ini, ada apa lagi? Ujarnya dalam hati. Siapa ini?'

"Tenanglah.... Mereka sedang mencarimu." Bisiknya. Seseorang yang membungkamnya dari belakang. Melingkarkan kedua tangannya. Membuat Rinaya tidak bisa bergerak.

Beberapa saat banyak prajurit yang berlalu lalang melewati jalur itu. Ditengah kabut. Mereka menerobos mencari seseorang. Tapi itu bukan pasukan Boris. Entah siapa mereka.

Dia melepaskan lengannya setelah dirasa aman. Rinaya berbalik dan melihat siapa orang itu. Matanya semakin panas melihat seseorang berdiri di depannya. "Tama?..."

"Sudah aman. Pergilah."

"Tama, kenapa kau ada disini?" Dia tidak menjawab itu. Dia berbalik dan melangkah pergi.

"Tidak, Tama tunggu" Rinaya menarik lengannya. Menahannya untuk pergi. "Tidak bisakah kau memaafkan aku?"

"Aku harus pergi. Ada hal penting yang harus aku lakukan."

"Tama..." Semakin lama suaranya semakin bergetar. Menahan emosi dan perasaan sedihnya.

Tama melepaskan lengan Rinaya dan pergi begitu saja. Dia masih terlihat marah. Tapi dia juga terlihat sedih. Dia pasti dalam perasaan yang tidak stabil.

Rinaya pun berbalik pergi dari tempatnya dengan perasaan yang semakin kacau. Tidak ada gunanya hanya berdiam diri di tempat yang entah dimana itu. Mau bagaimana lagi. Tama tidak ingin bersamanya. Diapun mulai melangkahkan kakinya lagi.

Dia mencari jalan keluar di tengah kabut. Dia ingin segera keluar dari desa itu. Tapi semakin lama dia berjalan semakin tidak tau dimana dia berada. Tersesat?? Mungkin itu memang benar.

Dylan menemui Dhika dan Bayu di luar Bangunan itu. Dylan memutuskan untuk kembali ketika menyerah mengejar Rinaya. "Aku kehilangan dia. Aku tidak bisa mengejarnya. Ngomong ngomong  Aku merasa semakin banyak orang sekitar sini."

Dhika "Ini desa mati, selain pasukan Wilis mungkin hanya ada pasukan mayat hidup milik Morang." Jawabannya menegaskan bahwa, tidak mungkin ada lagi orang yang benar benar orang disana.

Bayu "Jaka dimana?"

Dylan "Dia pergi juga?"

Bayu tertunduk. "Kuharap dia menemukannya."

Riuh ramai terdengar dari kejauhan. Semakin lama semakin dekat. Beberapa orang, entah siapa dikejar oleh beberapa Mayat mayat hidup. Terlihat ganas dan mengerikan. Mereka panik. Tidak mengerti bagaimana cara melawan mahluk mahluk itu.

Teriakan kini terdengar dimana mana. Dhika dan Dylan membuka senjatanya setelah mendengar teriakan teriakan itu

"Ada apa ini?" Ujar Bayu bertanya tanya melihat orang orang itu berlari panik mendekat.

"Tolong! Tolong!" Tunggang langgang mereka menjauhi mahluk mahluk itu. Panik. Berharap orang di hadapannya dapat menolong mereka.

Semakin lama semakin terlihat jelas. Mayat mayat hidup itu berjumlah sangat banyak. Pantaslah mereka terlihat sangat panik menghadapinya. Mereka benar benar terlihat ketakutan.

Mereka memutuskan berlari memasuki Bangunan. Dylan, Dhika dan Bayu pun ikut berlari. Bergabung dengan yang lainnya menghindari mahluk mahluk yang merepotkan itu. Lalu menutup Pintu bangunan itu. Pintu yang rapuh. Tapi masih bisa setidaknya menahan mereka beberapa saat.

Rinaya terhenti dari langkahnya. Seseorang berdiri di depannya. Tidak tampak jelas karena sedikit samar tertutupi kabut. Selangkah Rinaya mendekat. Memastikan siapa itu. Apakah orang yang dia kenal atau orang yang dia harus hindari. Semakin lama semakin dekat. Semakin jelas juga apa yang nampak di hadapannya. Bukan seseorang yang dia kenal. Bukan juga seorang manusia. Dia melotot dengan mata merah seutuhnya. Dengan mengalirkan air mata darah di pipinya.

Nafasnya seakan terhenti di tenggorokan. Dipaksanya melangkah berjalan mundur. Perlahan. Selangkah demi selangkah. Berharap tidak ada reaksi apapun dari mahluk itu. Rinaya merasa takut. Seluruh tubuhnya bergetar Dia merasa tidak memiliki kemampuan apapun saat ini. Tidak ada gunanya melawan. Lebih baik menghindar mencari jalan lain.

Tapi tiba tiba saja mahluk itu berreaksi. Dia menatap tajam Rinaya yang mematung hingga kaki kakinya gemetar. Dia mengeluarkan keberaniannya. Dan berbalik lari pergi dari sana. Pergerakan itu sontak membuat mahluk itu ikut berlari mengejarnya. Sekuat tenaga dia berlari menembus kabut. Entah berapa jauh dia berlari. Langkah kaki mahluk itu masih terdengar di belakangnya. Rinaya pun bersembunyi di sebuah rumah tua yang masih berdiri kokoh. Masuk kedalamnya, menutup pintunya dan berdiam sembunyi disana. Menstabilkan nafasnya. Mengurangi pergerakan. Menghindari suara. Entah sampai berapa lama dia harus bersembunyi di tengah desa yang penuh dengan bahaya.

Goresan pedang menggema di sepanjang jalan. Boris dan pasukannya mendapatkan sambutan yang istimewa. Morang muncul lagi dihadapan mereka. Mengundang boneka boneka ciptaannya untuk bergabung lagi dalam pesta. Dan Morang sendiri hanya menonton di atas sebuah atap rumah. Menumpangkan kakinya sambil memainkan pisau kecil miliknya. "Ah. Aku tidak suka ini. Terlalu banyak orang. Bonekaku jadi sia sia saja. Susah payah aku menciptakan mereka."

Boris "Turun kau. Akan ku akhiri hidupmu." Dengan emosi dia berteriak sambil terus mengayunkan senjatanya melawan mahluk mahluk itu.

"Tuan, mereka terlalu kuat. Kita tidak bisa menghadapinya." Seorang prajurit mengeluh. Tidak banyak yang mereka lawan. Tapi mereka kewalahan. Kecuali Boris. Dia memang kuat. Jika saja tadi Dhika tidak datang. Mungkin saat ini pun mereka masih disibukan dengan mahluk yang sebelumnya menyerang mereka. Tapi. Memang itu tujuan Morang. Membuat semua orang sibuk. Hingga dia bisa melakukan tujuannya dengan tenang.

"Darimana saja kau? Disaat seperti ini kau masih bisa berkeliaran?" Tanya seseorang kepada Tama. Dengan tegas dan nada seakan setengah marah.

"Tuan, Aku memeriksa keadaan. Prajurit ibukota menuju selatan. Dan di utara ada kelompok prajurit Keluarga Wilis beserta Tuan Boris di serang mahluk mahluk itu. Ada seseorang yang mencurigakan disana." Ujar Tama.

Hendra. Seorang tuan muda keluarga ternama disalah satu kota dekat dengan ibukota. Meski dari kalangan bangsawan. Dia bukan orang yang bisa hanya duduk diam. Dia selalu ingin melakukan apapun untuk tujuannya. Namun beberapa hal tidak terlalu baik. Seperti bergabung dengan kelompok perdagangan budak. Oh bukan. Dia adalah pemimpin tertinggi kelompok itu. Dia sangat di takuti oleh semua anak buahnya. Dengan kekuasaan tinggi tidak mudah untuk menjatuhkannya. Koneksi yang luas membuatnya selalu lolos dari daftar tersangka. Bahkan tidak ada yang berani menyelidikinya sama sekali.

Tama tidak terlihat gentar meski di tanyai dengan nada seperti itu. Jika orang lain, mungkin akan langsung tersungkur bersujud minta ampun.

"Kau menemukannya? Gadis mitos itu." Tanya Hendra

"Tidak. Kurasa dia bersembunyi." Jawabnya singkat tanpa ragu. Membuat Hendra percaya pada ucapannya itu.

"Kau harus menemukannya. Itu salahmu karena kau tidak mengejarnya saat itu. Akan aku dapatkan apa yang menjadi incaran Boris. Sudah cukup Keluarga itu menguasai beberapa kota." Tama hanya menangguk mengiayakan.

Tama "Sebaiknya kita mencari tempat sembunyi. Mahluk itu mungkin akan datang. Tidak mudah mengalahkan mereka."

Desa itu cukup luas. Meski banyak rumah yang sudah tak beratap. Tapi banyak juga yang masih kokoh berdiri. Rumah rumah dengan dinding Batu. Mereka bersembunyi di bangunan itu. Membuat strategi.

Dylan mengenali salah seorang dari pasukan itu. Dhika pun mengenalinya. Tuan Karna. Seorang patih yang juga ikut andil dalam penyelidikan tewasnya puluhan orang di desa Bintu. Di sebuah  bangunan megah tempat Rinaya terpanggil.

Dhika "Tuan Karna, apa yang membuat anda berada disini?"

Tuan Karna "Aku mengejar sebuah kelompok perdagangan budak. Juga mencari seseorang bernama Nurmala."

Kalimat itu membuat semua orang terkejut.

Dylan "Apa ada masalah?"

Tuan Karna "ini berkaitan dengan kasus enam belas tahun lalu. Dia pernah di tangkap sebagai mata mata Mongol. Tapi kurangnya bukti membuatnya lolos dengan mudah. Gusti memerintahkan kami untuk menyelidikinya kembali." Tuan Karna menghela nafas dan melanjutkan kalimatnya "ini semakin rumit saja. Setelah diselidiki lagi. Ternyata pemanggilan di Bintu berhasil membuatnya kembali. Lalu rumor beredar dia menyebabkan kekacauan di desa dekat perbatasan."

Bayu bergumam "Lagi lagi seperti itu." Semua selalu dihebohkan dengan rumor. Membuat semua orang menjadi gempar tanpa tau kenyataannya seperti apa.

Tuan Karna "Balapati Wiriya kudengar dia adalah temanmu. Tidak perlu khawatir aku hanya akan menyelidiki lebih lanjut. Aku tidak akan sebodoh orang orang terdahulu. Tapi aku benar benar harus menginterogasinya untuk informasi secara detail."

Dhika hanya diam dan membuang muka. Menatap Bayu yang masih menunduk entah apa yang dia pikirkan. Dylan menatap tajam Patih itu seolah dia sedang merekam semua kata dan pergerakannya. Tidak ada yang membuka suara diantara mereka bertiga. Hanya diam dan mendengarkan.

Tuan Karna "Aku tidak menyangka ternyata mahluk itu benar benar nyata. Ku kira perang lima belas tahun lalu itu hanya cerita di lebih lebihkan saja."

Bayu bergumam lagi "banyak korban tewas bagaimana bisa itu hanya sebuah cerita yang dilebih lebihkan."

Bayu mengeluarkan pedang pendek miliknya yang selalu dia bawa kemanapun. Membuka sarungnya dan bersiap untuk bertarung. Dhika yang melihat itu seperti siap untuk melawan arus diluar sana. Tidak biasanya Bayu memakai senjata untuk bertarung. Dia bahkan tidak ingin melakukannya sama sekali meskipun dia memanglah sangat hebat. Tidak berbeda dengan Sang Balapati.

"Kurasa aku akan keluar dan menerobos arus. Keluar dari desa ini." Ujar Bayu

"Ide bagus" ujar Dylan.

Sesekali Rinaya mengintip melalui celah jendela kayu. Keadaan diluar cukup tenang dan sepi. Tapi dia tidak berani untuk keluar. Lagipula matahari semakin tenggelam. Akan semakin sulit mencari jalan keluar. "Kenapa kabut semakin tebal." Gumamnya. Rinya melihat kembali layar Ponselnya. Memastikan waktu. "Masih jam 5." Rinaya membulatkan tekadnya untuk keluar dari sana. Desa akan semakin berbahaya. Apalagi penuh dengan mahluk mahluk itu yang semakin gelap akan semakin agresif. Dia tidak ingin mati sia sia disana. Yang bisa dia lakukan hanyalah berjalan mengendap endap tanpa suara. Lalu keluar dari desa dengan sesegera mungkin.

Satu kalimat perintah di lontarkan Hendra. Memerintahkan beberapa anak buahnya mencari Nurmala. Dengan cepat dan diam diam. Sebisa mungkin tidak melakukan pertarungan. Jika diharuskan maka bunuhlah semua orang tanpa sisa.  Hendra cukup kejam. Mungkin akan sebanding dengan Boris. Tapi akan lebih mengerikan jika mereka bekerja sama. "Kalian pergilah. Dan dapatkan dia." perintah mutlak dari si pemimpin. "Kau tetap disini karena Aku mulai ragu padamu" ujar Hendra kepada Tama.

Pasukan Patih Karna begitu juga Dhika dan yang lainnya keluar menerobos kerumunan mahluk mahluk yang sedari tadi menunggu mereka di balik pintu. Hari semakin gelap. Mereka benar benar harus keluar dari desa itu. Mereka mengayunkan senjatanya. Menjatuhkan kepala kepala mahluk mahluk itu. Dengan cepat dan dengan penuh energi.

Tuan Karna "Kalian akan keluar dari desa? Aku masih harus mencari kelompok pedagang budak. Sebaiknya kita bertemu lagi setelah keluar dari sini."

Dhika hanya mengangguk tanpa kata. Itu sudah biasa. Semua orang sudah tau bagaimana kaku nya dia. Tanpa basa basi lagi. Tuan Karna dan pasukannya pun pergi. Berbekal beberapa informasi mengenai apa yang terjadi di desa ini.

"Kita benar benar pergi dari sini?" Tanya Dhika pada Bayu, memastikan.

Dylan "tidak tidak. Kita harus mencari gadis itu. Aku harus mendapatkannya. Dia sangat penting."

Bayu menatap Dylan tajam "sepenting apa dia? Apa dia tahananmu? Apa dia sumber informasimu? Apa dia tersangka bagimu? Apa kau mendampinginya untuk akhirnya memenjarakannya?"

"Kenapa kau bicara begitu?" Tanya Dylan.

Bayu "Kau orang pemerintahan. Aku tidak percaya padamu."

Dylan tersenyum "lalu bagaimana denganmu? Apa yang akan kau lakukan padanya? Apa yang sudah kau lakukan padanya? Kau ingin melindunginya? Aku sama sekali tidak melihat itu."

Dylan menatap Balapati "Aku akan mencarinya"

Dhika "Bayu, sebaiknya kita cari dia. Dia mungkin dalam bahaya. Banyak yang sedang mengejarnya. Aku yakin kau juga khawatir."

Mata Bayu tidak berhenti bergetar menahan air matanya dia benar benar merasa bersalah telah memukul Rinaya. "Baiklah" jawabnya pelan.

Rinaya melangkahkan kakinya di tengah kabut. Selangkah demi selangkah. Tanpa suara. Sesekali melirik kesana kemari memastikan keadaan aman. Tapi baru saja hatinya sedikit lega. Tidak ada yang mencurigakan. Tiba tiba sebuah bayangan nampak di depannya. Rinaya pun mematung. Sedikit penasaran ada apa disana. Perlahan siluet itu semakin jelas. Pergerakannya seperti manusia normal. Dan tidak hanya satu orang. Mungkin lima orang. Sedikit lega. Tapi dia juga tidak tau apakah mereka musuh. Atau teman temannya. Dia masih mematung. Mengamati bayangan yang kian jelas terlihat.

"Rupanya kau! Ku kira berhadapan lagi dengan pria gila itu."

'Haris? Kenapa dia di sini?' Rinaya masih membatu.

"Kau sendirian? Kemana para pelindungmu itu?" Ujarnya ketus.

"Raka, apa yang akan kita lakukan padanya?" Bisik Galih. Tapi Haris tidak menjawab itu.

"Kebetulan sekali. Aku tidak harus mencarimu." Ujar Rinaya ketus

"Kau mencariku?"

"Benar. Aku akan mengambil miliku."

"Milikmu?"

Rinaya tersenyum "Aku yakin kau mengerti maksudku."

Haris menajamkan matanya. Menahan emosi. Mereka saling membenci satu sama lain. Seakan ingin membunuh satu sama lain. Haris membuka pedangnya. Tanpa kata dia berlari dan mengayunkan pedangnya pada Rinaya. Dia tidak siap. Bahkan untuk menghindarpun seakan tidak sempat.

Trang!! Sesuatu menahannya. Jaka. Tepat waktu. Dia Menahan itu dengan pedang pendek miliknya. Hampir saja.

"J jaka!" Rinaya masih berdebar dengan hal tiba tiba ini.

Jaka mendorong Haris dengan kuat. "Putri? Kau baik baik saja?"

Rinaya mengangguk.

"Serang. Dan bunuh dia" perintah Haris pada beberapa anak buahnya. "Dia adalah ketua bandit gunung yang seharusnya di ekseskusi sejak dulu." Dan semua orang mengikuti perintahnya.

Mendengar itu Rinaya semakin marah. Dan semakin emosi. Bahkan dia kini tidak segan meluapkan emosinya. Rinaya membuka pedang pendeknya. "Benar. Majulah. Aku tidak akan segan." Ujarnya emosi.

"Putri! Sebaiknya kau mundur saja kau mungkin tidak bisa menghadapinya."

"Mundur Jaka. Ini urusanku dengannya."

Hanya sedikit anak buah yang dibawa Haris tapi tanpa Jaka. Rinaya mungkin akan mati. Tapi sudah tidak ada lagi pikiran itu di kepalanya. Semua meluap marah karena emosi. Galih tertegun. Sedikit tidak mengerti. Tapi sedikit mengerti juga. Ada hal yang salah yang dia rasakan selama ini. Ada kesalah pahaman yang dia tidak tau. Ada kebencian yang salah yang sudah dia tujukan. Tapi dia tidak mengerti. Rinaya tidak terlalu memperdulikan itu. Meski dia tau Galih sangat membencinya. Dia tidak tau apa apa. Lagipula urusannya kali ini hanya dengan Haris.

Pertarungan pun di mulai. Jaka seolah mengerti tujuannya. Dia menghadapi semua anak buah Haris. Sementara Rinaya berhadapan satu lawan satu dengan Haris. Dan Galih masih tertegun menyaksikan semua yang terjadi. Ada pergolakan batin dalam hatinya.

Haris menyerang, Rinaya menghindar. Berulang ulang dengan gerakan yang selalu berbeda. Begitupun sebaliknya. Tidak ada yang mengalah. Mereka terlihat sebanding. Entah darimana Rinaya mendapatkan kekuatan seperti itu. Semua karena emosi yang meluap.

Jaka tidak melukai siapapun. Dia hanya berusaha melumpuhkan mereka. Membuat mereka merasa kaku dan tidak bisa berdiri. Dia lakukan itu dengan cepat. Lalu terdiam menyaksikan Rinaya dan Haris bertarung. Sesekali tersungging senyum dari bibir Jaka. Melihat kehebatan Rinaya. Kau masih hebat uajrnya dalam hati.

Satu ayunan pedang dari Rinaya mengenai kaki Haris. Membuatnya terjatuh. "Bukankah kau sangat hebat dengan bantuannya? Kemana semangatmu untuk membunuhku saat itu?"

Haris menatapnya tajam "bukankah ada syarat yang tidak bisa di langgar? Kurasa kau tidak bisa mendapatkannya."

"Hahahah" Rinaya terbahak tertawa. "Ah. Aku lupa. Kau mungkin tidak tau dari mana aku berasal. Syarat apapun itu, tidak berlaku untuku. Kau tidak penasaran bagaimana aku mengambil itu dari seorang arwah yang dikutuk?"

Mereka semua mendengarkan dengan seksama. "Hentikan itu. Berhentilah mengganggu kakak ku!" Teriak Galih

Jaka menunduk. Senyum di bibirnya hilang tanpa bekas. Dia tidak suka dengan perubahan Rinaya. Baginya Rinaya seperti sedang balas dendam. Jaka tau Rinaya bukan orang yang terobsesi dengan dendam. Dia sedih melihat Rinaya bersikap sangat angkuh. Satu emosi terluapkan membuat Rinaya menjadi seperti orang jahat. Padahal dulu Rinaya selalu berpesan untuk tidak menaruh hati yang buruk.

Rinaya tersenyum. "Galih, kau tidak ada peran dalam drama ini. Kau tidak tau apa apa."

"Benar, aku tidak tau apa apa. Tapi aku tau apa yang sedang kau lakukan saat ini. Kau seperti rumor beredar. Kejam dan menakutkan."

Rinaya tersenyum "Haha, bukankah aku memang harus seperti itu. Seperti rumor beredar. Tapi kau juga mungkin harus tau mengapa aku menjadi seperti ini!."

"Putri, kurasa sudah cukup. Lakukan saja tujuanmu dan kita pergi dari sini. Kita menjauh dari dunia ini."

Rinaya tersenyum lagi, namun kali ini air matanya tidak terbendung. "Baiklah Jaka. Kurasa aku sudah cukup membuatnya berlutut dihadapanku. Akan aku akhiri ini."

Rinaya melangkah mendekati Haris. Seseorang menarik lengannya. Berbalik lalu mencengkram kedua lengannya.

"Jangan lakukan itu." Bisiknya. Bayu. Tiba tiba saja datang entah darimana.

Rinaya memutar tangannya. Melepaskan diri dari Bayu. Berusaha mendekati Haris. Tapi lagi lagi Bayu selalu menahannya. Hingga Rinaya benar benar kesal. Rinaya mengayunkan pedangnya ke arah Bayu. Benar benar berusaha untuk menjauhkannya. Tapi Bayu merebut pedang pendek itu darinya dengan mudah. Sedikit mendorong Rinaya hingga tersungkur jatuh. Lalu menodongkan pedang itu padanya.

"Bayu??" Ucap Rinaya sangat sedih mendapat perlakuan ini. Semua orang tidak mengerti dengan apa yang terjadi. Jaka berlari menengahi mereka.

"Tuan,??"

"Pergilah Rinaya, aku tidak ingin melihatmu."

Tidak percaya dengan apa yang dia dengarkan. "Kenapa? Kenapa kau seperti itu padaku?"

Morang entah menghilang kemana. Boris berhasil menghabisi mahluk mahluk itu. Mereka pun kembali bergerak mencari tujuan mereka. Atau mencari jalan keluar saja. Mereka berlari tanpa arah. Mereka seakan sudah tersesat di desa itu. Hingga akhirnya berpapasan dengan orang orang anak buah Hendra. Boris tidak mengenali mereka. Tapi kelompok pedagang budak itu tau siapa dia. Mereka hanya diam tanpa membuka suara.

Hendra masih menunggu sambil duduk tumpang kaki menatap lilin yang sesekali tersapu angin. "Mereka lama sekali."

Tama "Apa perlu aku memastikan mereka Tuan?."

Hendra diam seakan berfikir. Lalu mengiyakan "Baiklah. Pergilah dan lihat apakah mereka dalam kesulitan. Hal seperti ini kau selalu bisa melakukannya lebih baik dari yang lain. Jangan kecewakan aku."

Tama mengangguk mengiyakan lalu pergi dari ruangan itu.