webnovel

Cerita

Suasana ruangan semakin memanas. Hal hal besar ini akhirnya sedikit demi sedikit terungkap. Hal besar ini bagaimana bisa tidak ada yang mengetahuinya. 

Bayu "Tuan, berapa orang yang mengetahui ini?"

Ketua "Hanya 5 atau mungkin 7 orang"

Bayu "7 orang, salah satu nya berada di hadapanku. Tidak pernah keluar gunung selama tiga puluh tahun lebih. Mendirikan sebuah kelompok yang ditakuti banyak orang. Jika ku lihat. Kelompokmu adalah orang orang hebat. Biar ku tebak. Kau sudah menduga ini akan terjadi lagi. Karena itu lah kau membentuk sebuah koloni."

Nada bicara Bayu begitu angkuh. Tapi dia terdengar sangat percaya diri dengan ucapannya.

Ketua "salah. Aku tidak menebaknya. Aku memang khawatir itu akan terjadi lagi. Ku yakin kau sudah menduga mengapa aku mengumpulkan orang orang hebat ini."

Bayu "tentu saja karena kau tau orang biasa akan sulit menghadapi mahluk mahluk itu."

Nurmala "Ketua ... Aku ingin bertanya."

Ketua "silahkan."

Nurmala "Apakah tuan Budhi mengenalmu? Apakah kau mengenal tuan Budhi? Apakah dia salah satu orang yang selamat?"

Bayu terhentak mendengar pertanyaan itu. "Kenapa kau bertanya begitu?"

Nurmala "Ketua selalu menampung orang berkemampuan khusus. Orang orang yang terbuang. Mereka di tinggalkan d hutan oleh keluarganya. Satu kemampuan tidak biasa dianggap sebagai pembawa malapetaka, kutukan atau semacamnya. Warga awam percaya hal seperti itu. Membunuh mereka bukan jalan yang baik karena akan membawa mereka kesialan. Akhirnya mereka membuang orang orang itu. Keluarga mereka. Mungkin anak anak mereka. Tuan Budhi tau ketua melakukan itu. Karena itu lah dia meninggalkanku di hutan. Berharap aku adalah salah satu yang bisa berguna di kelompok ini."

Bayu "Apa???...Dia benar benar sengaja melakukannya?"

Nurmala "Orang lain mungkin akan percaya aku akan mati di hutan. Tempat hewan buas bersarang. Tempat sihir berkumpul. Terlebih bandit gunung yang kejam. Tapi dia tetap meninggalkanku di sana. Karena dia tau Bandit gunung tidak sekejam yang orang orang ceritakan."

Bayu "Jika itu benar maka, mungkinkah tuan Budhi mengenal Tuan?"

Ketua tersenyum "kalian tidak salah. Benar aku dan dia pernah bertemu. Tapi kami tidak mengenal satu sama lain. Dia memiliki caranya sendiri untuk mencari informasi. Dan benar dia adalah salah satu orang yang selamat saat itu. Tapi dia hanya warga sipil yang tidak mengerti apapun. Dia masih sangat muda."

Bayu "lalu bagaimana kelanjutan cerita nya?"

Ketua "Carilah hingga ke ujung pulau ini. Aku yakin tidak ada lagi orang yang mengetahui masa itu. Semua cerita telah berubah. Pada akhirnya kota itu di katakan sebagai kota mati karena wabah. Menurutmu mengapa demikian?"

Bayu "jika dibuat sengaja maka ada yang ingin menutupi peristiwa itu seakan tidak pernah terjadi perang."

Ketua tersenyum.

Nurmala "apakah ada hubungannya dengan kasus kali ini?"

Ketua "Bagaimana menurutmu?"

Nurmala sudah menduga bahwa ada hal yang aneh dengan masalah ini. Dan mahluk itu seakan memang sengaja di biakkan untuk kepentingan pribadi. Jika bukan untuk pribadi maka seharusnya mereka membuat nya menjadi senjata bagi kita. Bukan untuk membinasakan kita.

Bayu "kurasa ini sangat berhubungan erat. Jika masa lalu bisa sampai separah itu. Maka tidak menutup kemungkinan bahwa akan terjadi hal yang sama yang mungkin lebih mengerikan"

Jadi ini yang arwah itu peringatkan. sesuatu yang lebih mengerikan Adalah perang. Tapi menurutku yang lebih mengkhawatirkan adalah ketidak setiaan.

Jaka "Jadi, kemana orang orang selamat itu ketua? Dan kenapa ketua tidak pernah meninggalkan gunung ini?"

Ketua "Bukankah itu pertanyaan dariku. Menurutmu mengapa demikian?"

Nurmala "Tidak ada lagi orang selamat Jaka, kasus itu di tutup. Siapapun yang selamat akan dibunuh. Kota itu akan menjadi kota mati karena wabah."

Jaka "apa?.... Tapi. Tapi..."

Nurmala "Karena itulah ketua tidak pernah pergi. Hanya dia satu satunya yang tau mengenai ini. Jika mereka tau. Mereka akan mencari nya dan membunuhnya. Semua kerahasiaan dirinya. Adalah untuk ini." Nurmala menatap lekat lekat sang ketua. Ada hal yang tidak dia bicarakan di depan mereka. Satu rahasia ini hanya Nurmala yang tau.

Ketua "Jika aku keluar mungkin aku akan mati. Atau mungkin aku sudah seharusnya mati saat itu. Tapi tuhan berkehendak lain."

Bayu "Baiklah. Terimakasih atas informasinya. Kau bisa beristirahat dengan tenang. Sisa nya aku akan berusaha membereskan ini."

Nurmala heran dengan kalimat dari Bayu. Bayu meninggalkan ruangan dan Nurmala mengikutinya. Nurmala ingin menahannya pergi. Banyak hal berkelimut  di kepalanya. Bayu terhenti dari langkahnya lalu menatapnya.

Bayu "Nurmala jika ada yang ingin kau bicarakan denganku. Kita bicarakan ini di toko herbal Sae."

--------

Dhika berdiri di depan toko Herbal Sae. Memandangi papan nama yang tergantung di depan toko. Entah berapa lama dia mematung disana. 

Nurmala dan Bayu baru saja tiba. Dilihatnya sosok rupawan itu. Wajahnya semakin dingin ketika melirik kearah mereka berdua. 

Nurmala "Dhika??"

Bayu "Masuklah. Kita bicara di dalam"

Bayu melangkahkan kaki nya kedalam toko yang setengah tutup. Entah apa maksud dari paman Arif. Papan penutup tokonya sebagian di biarkan begitu saja. 

Bayu "Sampurasun, paman. Aku pulang"

Paman Arif Meletakan sebuah bingkai lukisan kecil di atas mejanya. Segera keluar dari ruangannya ketika mendengar suara Bayu. Wajah muramnya seketika berganti cerah melihat Bayu di hadapannya. 

Paman Arif "Bayu." Dia memeluk Bayu. Matanya berkaca kaca penuh syukur melihat kembali. "Kamu baik baik saja? Kamu terluka? Bagaimana den Haris?"

Bayu tertawa. "Hehe paman bisa lihat sendiri, aku baik baik saja. Maaf aku baru bisa mengunjungimu. Haris juga baik baik saja"

Paman Arif "paman kira kamu tidak akan kembali. Paman harus banyak banyak bersyukur."

Bayu tersenyum.

Paman Arif "duduk lah. Kalian juga duduklah. Akan aku bawakan teh dan camilan. Nurmala masih suka makan camilan?"

Nurmala tersenyum dan mengangguk senang.

Teh dan Camilan sudah dihidangkan. Lebih banyak dari biasanya. Paman Arif terlihat sangat senang. Sudah lama tempat itu tidak di kunjungi mereka bertiga. Paman Arif sering mendengar kabar tentang mereka bertiga. Para pembeli herbal selalu membagi informasi padanya. Baik secara langsung ataupun hanya sekedar mendengarkan celotehan orang. Satu berita yang membuatnya bersedih adalah menghilangnya Bayu. Dia sangat menyayangi Bayu seperti anaknya sendiri. 

Paman Arif "Bayu malam ini mau menginap disini? Paman ingin mendengar cerita cerita mu lagi."

Bayu mengangguk. "Beberapa hari aku akan disini. Ada yang harus aku lakukan."

Paman Arif "kalau begitu kalian ngobrol lah dulu. Paman akan ke Pamunjungan untuk sukuran." Dia pun pergi.

Raut wajah Bayu yang berbinar tersenyum berganti dingin dan penuh benci. Nurmala yang sedikit senang melihat senyum manisnya. Kembali kecewa melihat tatapan dingin itu. Sementara Dhika tidak menatapnya sama sekali. 

Suasana menjadi sangat canggung. Ini pertama kalinya mereka berkumpul lagi setelah bertahun lamanya. 

Bayu "kau tidak akan menanyaiku lagi?" Matanya menatap tajam Dhika yamg masih memandangi meja kayu. 

Bayu "Ada perlu apa mengunjungi tempat ini? Ada yang ingin kau pastikan?"

Dhika masih saja diam.

Bayu "apa yang kau lamunkan?"

Dhika "Bicaralah apapun yang ingin kau bicarakan. Aku tidak akan memulai pertanyaan."

Nurmala semakin merasa sesak mendengar dingin nya setiap kata yang mereka ucapkan. 

Bayu "Baiklah"

Bayu "Nurmala apa yang kau pikirkan?"

Nirmala "ha?.. aku....?"

Bayu "Nurmala bisakah kau meninggalkan kelompokmu?"

Nurmala "apa?, Kenapa kau bicara begitu?"

Satu kalimat yang membuatnya terhenyak. Seketika teringat perkataan Tuan Budhi kemarin. Kalimat itu pun membuat Dhika terheran. Bayu bukan orang yang tak tau terimakasih. Dia tau kelompok itu yang menampung Nurmala. Memberinya hidup. Tidak mungkin Bayu bicara seperti itu. Kemungkinannya adalah ada hal yang meragukannya terhadap kelompok itu. 

Bayu hanya tersenyum "tidak apa. Lupakan. Jangan dipikirkan."

Bayu "jadi, siapa yang kau temui? Siapa yang memberitaumu mengenai yang dibicarakan ketua?"

Nurmala "Seseorang yang sudah mati sangat lama."

Bayu "begitu, seperti arwah laras yang memberimu Giok Cahaya?. Kali ini Apa yang arwah itu berikan padamu?"

Nurmala menunduk "bayangan kesedihan" semakin lama Bayu bertanya. Semakin sakit yang dia rasakan. Bayu begitu berbeda. Dia seperti orang lain.

Bayu "Boleh kutanya satu hal lagi?" Bayu memainkan pisau miliknya dengan tangan kanannya. Entah kenapa dia selalu memegang itu kemanapun dia pergi. "Giok itu ada dimana sekarang?"

Dhika "Apa maksudmu? Bukankah sudah di rebut oleh Boris?"

Bayu "Sepertinya dia menipu semua orang. Entah apa yang direbut oleh Boris. Itu bukanlah Giok Cahaya." 

Nurmala "Kenapa kau membahas itu sekarang. Bukankah perang kali ini lebih penting?"

Bayu "Semua ada hubungannya kau tau itu. Kau tidak pernah bicara sedikitpun. Kau berhasil menipu semua orang"

Nurmala cukup sakit mendengar semua itu. Dia berdiri dan melangkahkan kakinya pergi. 

Bayu menggenggam lengan nya kuat kuat. Menghentikan langkah nya. "Ah, sakit" 

"Tinggalkan kelompok itu segera" tatapan Bayu semakin menyeramkan. Wajah nya memerah. Dia marah. Entah karena apa.

Nurmala "Ada apa denganmu?"

Dhika menggengam lengan Bayu dan melepasnya dari tangan Nurmala. "Sudah cukup Bayu, kau tidak seperti dirimu."

Bayu terkekeh "Kau tidak tau apa apa"

Dhika "Aku diam bukan berarti aku tidak tau. Kau memang sudah berubah. Aku tidak mengenali siapa dirimu"

Bayu "Terserah saja, itu bukan urusanmu"

Nurmala "Ada apa dengan mu Bayu? Mengapa kau seperti ini? Apa yang sudah merubahmu?"

Bayu "Tinggalkan kelompok itu, dan kau akan melihatku kembali."

Nurmala menggelengkan kepala "tidak. Bukan itu maumu. Apa yang kau takutkan?"

Bayu "Tidakkah kau mengerti? Kau tidak aman berada disana."

Nurmala "Aku bukan gadis polos berusia 18. Kau tidak bisa membohongiku."

Bayu kembali mencengkram lengan Nurmala "Kau sangat kasar Bayu" 

Dhika kembali memaksa melepasnya. "Sudah cukup Bayu. Kau menyakitinya."

Nurmala pun pergi dengan hati teriris. Semua yang dia alami kini sulit untuk dicerna. Sangat membingungkan. Sangat menyakitkan.

Dhika "Aku berharap bisa selalu percaya padamu. Kau benar benar berubah."

Dhika pun melangkah pergi.

Dhika berlari menyusul Nurmala. Kali ini Bayu mungkin sulit bicara dengannya. Bayu lebih tertutup dan misterius. Melebihi sebelumnya. Satu satunya yang bisa menjawab rasa penasaranya hanyalah Nurmala.

Nurmala geram. Menendang nendang bebatuan di pinggir sungai. Kesal dengan yang dia dengar dari Bayu. Cipratan air membuat ikan ikan berenang menjauh. 

"Ahh. Dasar bocah sialan. Mengapa kau sangat menyebalkan." Sesekali dia melemparkan bebatuan ke tengah sungai. 

"Dasar Bodoh. 

Memangnya siapa yang penipu

Aku tidak akan peduli padamu. 

Kenapa kau seperti itu. 

Kau berubah. Kau sangat berbeda.

Semua salahku. Memang semua karena aku."

Suara teriakan nya semakin lama semakin menurun. Sekian lama semakin pelan dan semakin meragu. Bibir nya bergetar matanya berair. Dia terduduk di pinggir sungai. Menutup wajahnya. Tersedu menangis. 

Dhika memperhatikannya dari kejauhan. Membiarkannya meluapkan kesedihan. Dia berpikir Nurmala perlu waktu untuk sendiri. Dia terus menunggunya.

Nurmala berdiri di tengah jembatan kayu. Melihat indahnya pelangi di depan air terjun. Bulir air terjun terbawa angin padanya. Matanya terpejam merasakan bulir itu membelai wajahnya. Dhika datang menghampiri. "Menunggu seseorang?"

"Menunggu sesuatu."

"Sesuatu seperti apa?"

"Seperti suatu tanda atau petunjuk dari tuhan. Aku tidak tau harus berbuat apa sekarang. Hatiku sedang tidak ramah."

"Karena Bayu?"

"Karena banyak hal."

"Kau tidak pernah lagi bercerita padaku"

"Aku merasa kosong. Aku tidak tau harus bercerita atau tidak. Aku merasa hampa."

"..."

"Apa kau merasakannya?

"...."

"Apa kau kecewa?"

"Terhadap apa?"

"Dunia ini."

"Entahlah"

"Apa kau kecewa padaku?"

"Entahlah"

"Apa kau kecewa pada Bayu?

".... Tidak tau"

Nurmala tersenyum "Tidak apa apa. Sesekali ungkapkan lah perasaanmu. Aku mengerti. Kau kecewa padanya. Mungkin juga kecewa padaku"

Mata Nurmala bergetar. Bibirnya masih tertutup rapat. Dia ragu untuk bicara.

"Aku yakin kau tau sesuatu. Di lembah itu.... Apa yang dia lakukan?" ujar Dhika

"D Dhika,.. mengenai itu aku tidak tau"

"Lalu apa yang kau tau?"

"Itu.... Aku....."

"Tidak apa. Kau tidak perlu bercerita jika tidak ingin. Aku akan menunggu." Nurmala tersenyum. Dia bersyukur memiliki seorang yang mengerti dirinya. Tapi dia juga merasa kecewa pada dirinya sendiri. Dia tidak bisa berterus terang pada temannya. 

"Aku berjanji Dhika, aku akan menceritakan semuanya nanti. Kau... Percaya padaku?"

Dhika mengangguk

"Dhika ayo kembali. Ada yang harus aku bahas dengan Bayu. Juga dengan Kau. Situasi tadi membuatku kesal. Aku bahkan belum bicara apapun. Ini hal yang sangat penting."

Dhika mengangguk mengiakan.

* Pamunjungan = tempat ibadah atau sesembahan pada masa itu. Biasanya sebuah tempat berbentuk Punden Berundak untuk meletakan persembahan dll.

Pada masa itu kepercayaan mereka masih menganut sistem Animisme dan Dinamisme.