webnovel

Nubuat (Indonesia ver.)

(Action and Adventure) Rex dan adiknya hanya bagian dari sekelompok prajurit bayaran, yang memiliki masa lalu yang kelam seperti sebagian orang di daratan Pangea. Tapi bagian dari masa lalu yang bahkan tidak ia ketahui akan mengubah hidupnya, bukan lagi sebagai salah satu pion namun menjadi seseorang yang akan mengubah sejarah dunia.

Norphic · War
Not enough ratings
1 Chs

I - Pertempuran di Lembah Merah 1

"Suara langkahnya diredam oleh gemerisik gandum yang tertiup angin, rambut hitamnya yang lebat ikut tersapu angin barat. Mata coklatnya memantulkan cahaya matahari saat kami bertatapan. Dengan cepat ia berlari dan melompat ke dalam pelukanku.

"Abang!", seru Abigail, "Kamu mau melihat kain hasil jahitanku?" lanjutnya.

Dia adalah adik perempuanku yang paling kecil, Abigail Byzan.

"Hahaha, tentu saja, tapi boleh kau tunggu sebentar? Aku sedang berburu", jawabku, lalu menunjuk ke arah kelinci yang sedang sibuk menyantap rumput segar. Bulu putihnya sangat kontras dengan rerumputan hijau.

Abi mengangguk, dan dengan lugunya ia berdiri di belakangku. Aku meraih anak panahku, memasangnya ke tali busur, lalu menariknya sampai tepat menyentuh pipiku.

Aku menarik nafas dalam-dalam, menunggu saat yang tepat. Aku tidak mau mengulangi kesalahanku 15 menit yang lalu, yang menyebabkan kelinci biru yang cukup langka kabur ke hutan Cidel yang lebat. Aku mengejarnya beberapa saat, tapi berakhir melukai lenganku dan aku harus kehilangannya.

Kelinci itu melompat beberapa langkah kedepan, kemudian melihat ke sekelilingnya. Belum saatnya.

Dia kemudian melompat sekali dan melahap rumput yang masih baru. Mulutnya yang mungil bergerak lucu, mengunyah rerumputan pendek.

Sekarang.

Aku melepaskan panah, yang melesat dan menembus tubuh mungilnya. Aku mendekatinya, dan dia bergerak lemas. Aku mengakhiri penderitaannya dengan menusukkan pisau belati sekali lagi.

Abi berlari kesampingku, meringis melihat mayat kelinci yang sedikit berdarah. Dia dengan tangan kecilnya mengenggam tanganku, takut dan tidak nyaman. Aku menariknya menjauh.

"Abang, kenapa tanganmu berdarah?", tanyanya menunjuk lenganku yang tergores saat tadi mengejar kelinci di hutan Cidel. Lukanya tidak terlalu besar, hanya sepanjang jari telunjukku.

"Tidak apa-apa, abang hanya kurang berhati-hati. Abi, kamu pulang duluan yah, aku akan menyusul. Akan kuberikan padamu kaki kelinci sebagai hadiah, tapi nanti ya". Wajahnya bersinar setelah mendengar jawabanku, dia melambaikan tangannya, lalu kemudian berlari mengarungi gandum dan ilalang yang tinggi. Nafasnya terengah-engah karna tak berhenti berlari, namun hal itu tak ia gubris. Kakinya yang pendek terlihat imut, dan tak lama kemudian dia menghilang dari pandanganku.

Aku menenteng busurku, memeriksa anak panahku, tersisa 7 buah anak panah.

Aku membersihkan kelinci tadi di sungai tak jauh dari sana, darah segar mengalir dan hilang mengikuti arus. Setelah mencuci muka dan melepas dahaga, aku berjalan kembali menuju desa.

Langkah demi langkah aku meniti jalan menuju desa. Luka goresan di lenganku sudah tidak berdarah tapi masih sakit. Kalau saja tadi kuperhatikan sekelilingku, pasti tidak tergores ranting. Tapi aku bangga dengan yang sudah kudapatkan, seekor kelinci kugenggam erat dengan tangan kananku, tidak sabar kutunjukkan kepada ayah, ibu, dan adik"ku, terlebih Fort, dia suka sekali daging kelinci.

Papan nama 'Midan', nama desa ini, kutepuk sebagai suatu tradisi masyarakat disini untuk menandakan hormat kepada leluhur. Ini sudah menjadi kebiasaan bagiku.

Hari masih siang, dan cuaca tidak terlalu panas. Angin sepoi-sepoi meniup topi Pak Jinbe yang sedang sibuk membuat busur panah ke arahku. Kukutip, dan kuberikan kepadanya.

"Oi nak Rex, terimakasih" kata Pak Jinbe lalu memakai kembali topinya. "Wah, tangkapan bagus", dia ucapkan dengan acungan jempol. "Kalau begitu ayahmu akan segera pensiun, hahaha", lanjutnya.

Aku tersenyum lebar karena aku memang bangga akan buruanku.

"Dia butuh sepuluh tahun lagi untuk bisa menyaingiku, Jinbe!", seru ayah sambil memamerkan rusa yang ia gendong di pundaknya, sebuah anak panah tertancap di kepalanya. Altis, ayahku, merupakan salah satu pemburu terbaik di desa ini.

"Ayolah Altis, anakmu cukup berbakat, mungkin sembilan tahun lagi?", jawab Pak Jinbe, lalu mereka tertawa terbahak-bahak.

Ayah mengusap kepalaku, "Tentu saja, dia anakku. Kerja bagus nak.", lalu berjalan mendahuluiku. Aku mengikutinya.

Hampir disetiap langkah, ada saja sapaan yang tertuju kepada ayahku, dia memang orang yang terpandang di desa ini, dan selalu berkenan untuk menolong mereka yang sedang membutuhkan. Aku melihat rusa yang ayah bopong, anak panah tertancap di bagian samping kepalanya, matanya kosong tak bernyawa. Aku mengalihkan pandanganku, antara takut dan kasihan.

Seorang pria muda berlari ke arah ayah, ia berhenti untuk mengatur nafasnya yang terengah-engah. Aku tidak mengenalnya, ada beberapa luka gores di tangan dan kakinya. Bajunya lusuh dan penuh dengan sobekan, wajahnya kusam dan tampak sangat letih.

"Pram, ada apa?", tanya ayahku.

Pemuda itu memberi isyarat kepada ayahku untuk menunggu sebentar, lalu mengeluarkan gulungan kertas dari tas kulit yang ia tenteng.

Ayah membentang gulungan tersebut, diatasnya terlukis peta yang tidak kumengerti. Ada beberapa titik merah, ayah menunjuknya satu persatu.

"Pram, ini kan desa-desa tidak jauh dari sini, ada apa dengan ini?"

"Tidak ada lagi desa disana, semua rata dengan tanah.", jawab Pram dengan wajah dingin, dari wajahnya aku tau dia sudah melihat hal yang ingin dia lupakan.

"Bahkan Gildwell?", nada ayah meninggi.

"Ya, dan aku takut sebentar lagi Midan juga bernasib sama.", dia tidak bercanda. Dari tatapannya ayah tau ini situasi yang genting.

"Pram, siapa mereka?", tanya ayah. Walau menyandang status desa, namun Gildwell lebih mirip dengan kota. Ekonomi masyarakatnya yang makmur serta pertahanannya yang cukup kokoh membuat ayah bertanya-tanya siapa yang bisa menaklukkannya.

"Akkardia.", suara Pram bergetar saat mengucapkan nama mereka, nama kerajaan tetangga. Akkardia merupakan kerajaan yang kuat, bahkan bisa dikatakan kerajaan terkuat di tanah Pangea, hanya itu yang kutau.

"Rex, tunggu aku dirumah.", aku mengangguk dan kembali kerumah dengan masih bertanya-tanya. Tapi aku menepis pikiranku yang tidak-tidak, Ayah dan orang-orang di desa ini cukup handal untuk menjaga kami semua, aku percaya itu.

Begitu aku membuka pintu, aku langsung melihat Abigail yang sudah menungguku dengan antusias, dia menyerahkan sepotong kain hasil rajutannya sendiri. Terang namun tidak norak, dengan corak bunga yang cukup indah.

"Bagaimana abang?", tanya Abigail.

Aku jongkok agar tatapan kami seimbang, "Cantik sekali, kamu hebat Abi", kuucap dengan senyuman, lalu mengusap kepalanya.

Ia tersenyum manis, mulutnya memaksa pipinya yang sudah bulat menjadi semakin tembem.

Aku melihat sekeliling, tidak ada orang dirumah.

"Abi, dimana ibu dan Fort?"

"Fort sedang bermain dibelakang, kalau ibu sedang ada di belakang.", Abi lalu beranjak ke pergi dan lanjut mengerjakan kainnya.

Aku menggantung kelinci tadi di ruang tamu, berjejer dengan beberapa hewan buruan ayah, meletakkan anak panah dan sarungnya di ujung ruangan, lalu menggantung busur di tempat biasa aku menggantungnya.

Busur ini adalah busur buatan ayah, terbuat dari bambu yang ia ambil dari hutan Cidel.

Dia membuatnya 3 minggu lalu, saat untuk pertama kalinya dia mengajariku cara untuk berburu.

"Rex, kamu sudah pulang?" seru ibu dari belakang, sepertinya Abi memberitahunya.

"Iya bu, saya dapat seekor kelinci bu!".

Derap langkah ibu terdengar mendekat, dia muncul dari arah dapur, aroma roti mengikutinya hingga menggoda hidungku.

"Kamu tidur saja dulu, nanti ibu bangunkan kalau sudah bisa makan." ujarnya tersenyum.

"Baik bu." balasku.

Aku masuk ke kamar tidur, kamar para anak-anak. Dampak dari semua tindakanku tadi, lari, melompat hingga merayap akhirnya kurasakan. Pegal terasa di sekujur tubuhku.

Aku berbaring diatas kasur jerami, sedikit terasa menusuk tapi tidak terlalu mengganggu. Langit-langit ruangan kupandang, tidak seindah langit biru yang begitu menenangkan. Mataku terasa berat, dan aku terlelap beberapa saat kemudian.

-----------------------------

"Rexx!!!", jeritan Fort membangunkanku, kepalaku sakit tidak kepalang, telingaku berdengung tak karuan.

Dentingan pedang yang saling berlaga berbaur dengan seruan mereka yang bertaruh nyawa, entah itu seruan semangat ataupun jeritan kesakitan.

"Rexxx bangkit!!!", jerit Fort kembali, ada seseorang yang berlari mendekat ke arahku, lalu mengayunkan pedangnya dengan cepat.

Aku secara refleks berguling ke samping, lalu langsung berdiri walau sedikit linglung.

Aku mengeluarkan pisau belati yang tersarung di kaki kananku, ukurannya yang cukup kecil tidak mengurangi betapa mematikan benda ini.

Pria yang tadi mengayunkan pedangnya kini berhadapan denganku, dia mengacungkan pedang yang cukup panjang ke arahku.

Kami bertatapan, dan dia tampak ketakutan. Tangannya sedikit bergetar, dan dia mengertakkan gigi. Dalam sekejap dia meluncur ke arahku, dan mengayunkan pedangnya dengan cepat.

Aku menunduk menghindar, angin karena tebasan pedangnya terasa dekat dengan kepalaku. Dengan dua langkah aku menyelinap ke belakangnya, dan menyentuh lehernya dengan belatiku.

Aku akan melepaskannya apabila dia menyerah.

Dia mencoba memutar tubuhnya, namun gerakan belatiku lebih cepat.

Aku melangkah mundur, dan dengan sia-sia ia mencoba menghentikan darah yang mengalir cepat dari lehernya. Dia jatuh dan terbaring lemas. Dia belum mati, tapi hidupnya tidak lama lagi.

Aku mengambil pedangnya, dia tidak tampak membutuhkannya lagi. Pedangnya sedikit berat, tapi kualitasnya tidak buruk.

Aku mendekat ke arah Fort, dia baru saja menghabisi nyawa seorang prajurit lainnya.

"Tidak buruk, kau pantas menjadi adikku", kataku kepada Fort. Dia berpaling lalu tersenyum sinis.

"Kau yang tidak pantas menjadi abangku, bagaimana bisa kau tertidur di tengah pertempuran", jawabnya mengejek.

"Nih, kau menjatuhkannya", dia menjulurkan tangannya memberikanku busur panah, sesuatu yang sudah menemani kami sejak hari itu, hari dimana kami kehilangan semuanya.

Aku mengambilnya dan mengaitkannya di punggungku, lalu melihat ke sekitar. Kami sedikit jauh dari pusat pertempuran, hanya ada beberapa di sekitar kami yang sedang bertarung.

"Kau mau menghabisi yang di sini dulu, atau mau langsung ke acara utamanya?", tanya Fort kepadaku. Sekitar 500 meter ke arah Barat dari sini, pertarungan besar yang sedang terjadi, setidaknya ada ratusan orang yang saling membunuh disana.

"Argh"

Aku melihat ke arah suara, seorang prajurit yang berada di pihak yang sama dengan kami sedang dalam masalah, dia sedang dikeroyok 2 orang, sedangkan lengan kanan dan perutnya sudah terluka.

Fort melihat ke arah yang sama, dan sepertinya pemikiran kami sama.

"HEI BRENGSEK!!!", jerit Fort, mengalihkan perhatian kedua orang itu, lalu berlari ke arah mereka. Aku secepat mungkin menyiapkan busurku, dan meraih anak panah yang tertancap di mayat dekatku.

Setelah menarik nafas, aku menarik tali busur dan membidik ke arah orang yang berada di sebelah kiri.

Fiuh

Aku melesatkan anak panah itu, yang langsung menuju dan menancap di dadanya. Dia terjatuh dan tidak bergerak lagi.

Prajurit yang satu lagi terkejut bukan main, namun dia tidak memiliki waktu untuk bereaksi karena Fort sedang menuju ke arahnya.

Dengan cepat Fort menepis pedangnya, membuat pria itu sedikit goyah, yang kemudian dimanfaatkan oleh Fort dengan menebas lututnya. Pria itu mengerang kesakitan dan langsung berlutut, dan Fort dengan sigap menikam dadanya, mengakhiri penderitaannya.

Fort membantu rekan kami bangkit. Lukanya tidak terlalu parah, namun dia tidak bisa bertarung lagi. Dia memberitahu Fort sesuatu, namun aku tidak bisa mendengar dengan jelas apa.

Fort berjalan menghampiriku sembari membersihkan darah yang ada di pedangnya. Dari ekspresi wajahnya, sepertinya apa yang diberitahu orang itu bukanlah hal sepele.

"Apa yang dia katakan Fort.", tanyaku.

Dia menghela nafas, lalu berkata, "Wakil kapten, Pritj, tewas beberapa saat yang lalu."

Pritj merupakan wakil kapten dari pasukan kami, kemampuannya memang tidak sehebat Waly, Kapten kami, ataupun si gila Ope, tapi tidak mungkin dia semudah itu mati.

"Bagaimana bisa?", tanyaku.

"Sepertinya lawan kita bukan pasukan sembarangan.", jawabnya, lalu menunjuk ke arah sumber keributan dimana pertempuran sengit sedang terjadi.

"Jadi, mau bersenang-senang?", tanya Fort kepadaku.

Aku tersenyum, lalu menepuk pundaknya sembari melangkah.

"Ayo!"

-----------------------------