webnovel

Berkat Kamu

"De ... ehm ...."

"Dev," jelas Devan melirik naik. Sendok dibiarkan mengapung demi menanggapi kata-kata separuh Lentera. "Dev saja. Saya jarang mendengar orang memanggil saya Van. Apalagi Eva. Jangan."

Ini Devan sungguh ingin membuatnya jadi lelucon atau bagaimana? Dia lembut. Cara bicaranya terkesan sopan dan normal. Tapi sampai sekarang, ia tidak pernah melihat Devan tersenyum dengan tulus. Mentok karena Devan bersyukur dirinya menyelamatkannya.

Selain itu? Tertawa tidak pernah, tersenyum lebar juga tidak. "Oke, Dev, saya mau tanya sama kamu."

Persis seperti tadi, alisnya terangkat naik lebih mudah. "Selain tentang Nanda. Kalau dia mau, dia bisa menceritakannya sendiri pada kamu."

Cepat sekali jawabnya. Lentera kemudian menggeleng. "Bukan. Saya mau tanya ke kamu, tentang kamu."

"Silakan kalau begitu." Devan menyantap satu sendok makanannya ringan.

Kalau ini pertanyaan pertama, harusnya menjadi pertanyaan yang ringan, bukan? Tapi apa? Dirinya bukanlah orang yang suka membuka pembicaraan, apalagi mencari topik pembicaraan yang tidak penting.

Diliriknya tangan yang sudah bebas bergerak itu. Kemudian Lentera menunjuk dengan dagunya. "Tangan kamu sudah baikan?"

"Seperti yang kamu lihat." Devan menepikan sendoknya di sisi piring. Melebarkan jari-jari tangan kanannya, mengepal, lalu direntangkan lagi membuktikan bahwa tak ada masalah yang terjadi. "Berkat kamu."

Mau tak mau Lentera mengangguk kaku. "Ehm ... apa pekerjaan kamu?"

"Nanda mengungkit sesuatu tentang itu?"

Bibir kering bawahnya dikulum terpaksa. "Saya dengar percakapan kalian. Nanda bilang saya terlalu berbahaya untuk ... berada di sekeliling kamu. Kalau bukan tentang keluarga, berarti tentang pekerjaan. Karena saya tidak mau menanyakan yang privasi, lebih baik saya tanyakan tentang pekerjaan."

Senyum itu nampak lebih tulus dari sebelumnya. Namun, sebelah sisinya timpang dengan sisi lain. Tipikal senyuman miring. "Kamu pintar."

"Jadi?" tagih Lentera tidak suka berbasa-basi. Lupakan perihal makanan nikmat itu. Rasa penasarannya lebih menggebu dari yang seharusnya.

Tentu saja kalau lingkungan ini berbahaya untuk dirinya sendiri, lebih baik ia angkat kaki dari sini, sekarang juga kalau bisa.

Hanya saja ia belum tahu alasan Devan menahannya. Yang jelas firasatnya tak bisa lebih buruk dari ini. Tangannya mengepal mempersiapkan diri mendengarkan yang terburuk.

"Saya bisa dibilang memberikan perlindungan bagi yang membutuhkan," kata Devan selagi menutup makanannya sendiri. "Sekalipun itu melukai, Lentera. Saya melakukan apa yang mereka minta, dengan imbalan yang tidak murah juga."

Tak perlu melihat raut Lentera sendiri untuk merasakan ketakutan wanita itu. Padahal itu baru sebagian kecil yang diungkapkannya. Bagaimana jika semuanya? "Nah, sekarang saya minta kamu jangan takut pada saya. Saya tidak melukai tanpa alasan."

Sekarang yang ada Lentera makin ingin kabur dari sini. Mungkin itu penyebab Devan selalu berpenampilan serius, bertingkah juga misterius.

"Hei."

Lentera berjengkit kaget kala tangannya ditangkupi sesuatu yang hangat. Segera ia menarik diri melindungi tangannya di bawah selimut. "A-apa?"

"Jangan takut," ujar Devan lembut. Selimut ditepikannya dengan mudah demi mencari tangan beku itu. "Jangan takut pada saya. Saya tidak akan melukai kamu."

"G-gimana saya bisa percaya kamu kalau kamu nggak memulangkan saya?" tanya Lentera bergetar.

Bukan kehangatan yang dirasakannya. Setelah menekankan kata membunuh, tangan itu tak lagi sama di mata Lentera. Tangan itu berulang kali digunakan untuk membunuh.

Membayangkannya saja sudah mual. Perutnya bergejolak drastis kalau saja Lentera tidak menahannya untuk kesopanan semata.

Ini jauh lebih buruk dari dugaannya. Dunia gelap. Itu artinya Devan selalu berada di dunia gelap.

"Lentera," panggil Devan seraya menjentikkan jarinya. "Hei, Lentera. Lihat saya."

"Saya mau pulang." Pengulangan itu tiba lebih lirih. Paras manisnya ditangkupkan sedih ke dalam telapak tangannya. "Saya mau pulang ..., Devan. Saya tidak mau di sini lagi. Tolong, kali ini pulangkan saya."

***

"Kamu yakin untuk memulangkannya?"

Devan agaknya terkekeh dengan pertanyaan itu. "Bukannya kamu yang sempat bilang berbahaya untuk dia berada di sini? Kenapa sekarang bertanya yang sebaliknya?"

"Karena ini bukan diri kamu sama sekali." Nanda menelisik lebih dalam manik jernih yang terpancang ke luar jendela. "Kamu tidak pernah memedulikan orang lain, kecuali ada maksud tertentu yang saya belum tahu, dan bisa dipastikan Lentera belum tahu."

"Urusan kamu tampaknya sudah selesai, Nanda." Devan tersenyum tipis. Di bibirnya terapit mesin elektrik yang dihisapnya dalam-dalam, kemudian diembuskan tepat di wajah Nanda. "Kamu boleh pulang."

"Kalau saya belum mau?"

"Oh, kamu harus." Kini kedua bola mata cerah itu bersembunyi dari kesilauan matahari pagi. "Pulanglah. Saat saya butuh bantuan kamu, saya akan memanggil kamu."

"Devan."

"Nanda," panggil Devan pelan. "Kamu teman saya, tapi kamu juga orang luar. Tolong jangan ikut campur lebih dari ini. Peran kamu cukup sampai di sini, oke?"

"Kamu tertarik sama wanita itu?"

Sebelah kiri alis Devan menukik naik. Segaris lengkungan terulas begitu mencurigakan. "Kalau saya bilang tertarik, bagaimana?"

***

"Sekarang saya rasa kita sudah impas." Diberi Devan jeda sedikit untuk memancing perhatian Lentera.

Dan ternyata itu berhasil. Lentera mengalihkan pandangannya dari luasnya pemandangan yang berganti-ganti seiring perjalanan jauh mereka. Pulang ke rumah Lentera. Baru dikabulkan Devan tiga hari tanpa pertemuan mereka. "Apa?"

"Kamu takut saya melukai kamu, dan saya takut kamu melukai saya," tutur Devan mengulum senyuman kecilnya.

"Tapi kamu sering melukai orang lain," ujar Lentera membuang lagi wajahnya. Sia-sia saja mendengar Devan berbicara demikian. "Lagipula orang seperti kamu mana mungkin takut terlukai? Di balik kamu sering melakukan hal buruk, hal buruk pasti akan berbalik ke kamu juga."

Devan mengangguk ringan, ikut setuju akan apa yang dikatakan Lentera. "Saya begini juga bukan karena mau saya."

"Ya, ya, terserah." Lentera melambaikan tangannya menandakan ia menyerah dalam berdebat. "Bukan urusan saya juga. Saya tidak akan terlibat lagi dengan kamu, itu serius. Kamu juga harus berjanji untuk tidak mencari saya lagi."

Pria itu tidak menanggapi sekenanya. Selalu ada ucapan lain yang menimpali kata-kata dari Lentera. "Saat kamu butuh bantuan misalnya?"

"Mengingat saya punya kekuatan yang lebih mengutuk, mungkin kamu yang akan mencari saya duluan," cetus Lentera mencerocos bebas. Tapi kemudian ia menyadari ... dengan siapa Lentera berbicara. "Oke, saya minta maaf tentang itu. Pokoknya saya tidak mau berikatan dengan kamu lagi."

"Setelah kamu takut dengan saya, kamu anti juga dengan saya, ya?" tanya Devan lebih menuju pertanyaan retorik. "Saya sudah bilang saya tidak akan menyakiti kamu. Seorang pria yang dipegang adalah ucapannya, Lentera."

Lentera sudah tidak bisa mempercayai apa yang didengar, ataupun dilihatnya lagi. Mungkin menyelamatkan Devan merupakan sebuah kesalahan. Bisa jadi ia adalah anomali dalam kehidupan Devan.

Pria itu semestinya mati, mungkin begitu. Untuk jutaan dosa yang dibuatnya, Lentera tidak bisa berpikir lagi. "Keputusan saya bulat. Tolong jangan bertemu saya lagi."