11 Menutupi

Ella masih sibuk menumpuk beberapa jerami yang sudah mulai meninggi, ia baru saja menyelesaikan memberi makan para kuda.

"Ella, bukankah bulan depan kau sudah menghadapi ujianmu?" Ucap Jason yang sedang duduk diatas tumpukan Jerami, dan ia mulai menyeka keringatnya.

"Jason beristirahatlah, lihat keriputmu sudah semakin banyak." Ucap Ella tapi tidak menjawab pertanyaan Jason.

"Ini karena aku sudah terlalu tua Ella, apa kau akan melanjutkan sekolahmu?" Tanya Jason kembali.

Ella menancapkan sekopnya yang panjang ke salah satu tumpukan jerami, ia pun ikut menyeka keringatnya dengan handuk kecil yang ia selipkan di kantong bajunya.

"Entahlah.. Aku hanya ingin mencari uang yang banyak. Dan bisa keluar dari sini, saat ini tabunganku juga sudah cukup banyak seharusnya." Jawab Ella.

"Bukankah ibumu ingin kau melanjutkan sekolahmu Ella? Aku jamin Laras akan menolak permintaamu." Ucap Jason.

Ella pun berjalan mendekati Jason, dan duduk disampingnya walau hanya beralaskan tanah yang keras. Ia menopangkan tanganya di antara kedua kakinya.

"Aku hanya ingin ibuku menikmati hari tuanya. Kau tau Jason? Sebelum kami bekerja dengan keluarga Huxley, kehidupan kami sangat sulit. Bahkan sering kali aku menahan laparku, karena aku tau ibuku pun juga menahan laparnya." Ucap Ella sedih.

"Hmmm aku tidak sabar menunggu kelulusanku, dan mulai bekerja." Ucap Ella lagi, ia menyeringai dan mulai berandai-andai.

Sedangkan Jason menatap prihatin dan simpati kepada gadis tersebut.

Ella sudah selesai dengan pekerjaannya, ia baru saja tiba di ruang dapur dan melihat Bobby yang sedang mengobrol dengan Laras.

"Hai Ella, kau benar-benar sangat kotor." Ejek Bobby.

"Terimakasih Bobby, aku curiga kau mulai menyukaiku. Bu, apa ibu melihat Alvin? Mrs. Huxley sedang mencarinya" Ucap Ella tidak peduli dengan Bobby yang terkekeh mendengarnya.

Laras tiba-tiba saja terbatuk dengan keras, matanya bahkan berair karena batunya yang terus menerus. "Sebentar....huk...huk...." ia pun melangkah mundur dan berlari ke arah Janitor.

Laras mengampil sapu tangan yang berada dalam kantong celemeknya, dan mencoba menutupi batuknya sendiri. Tapi ia terkejut, ada noda darah yang tertinggal di saputangannya.

"Bu? Kau tidak apa-apa?" Ella yang khawatir, mendekati Laras yang lansung memasukan kembali sapu tangannya ke dalam kantong celemek yang ia kenakan.

"Apa ibu sudah minum obat?" Tanya Ella kembali, Laras langsung menutup pintu janitor dengan cepat.

"Sudah, aku sudah meminumnya tadi.." jawab Laras terburu-buru.

"Alvin sedang bersama floretta, Tampaknya ia akan pergi untuk belanja bulanan." Jawab Laras.

"Ahh... Clarissa, itu bukan untuk anak-anak lima tahun. Pakaian itu bahkan lebih cocok untuk anak dua belas tahun." Mrs. Huxley tampak kesal dengan Clarissa yang tidak banyak membantunya.

Sore itu Mrs. Huxley sedang sibuk mempersiapkan bingkisan hadiah yang banyak untuk diberikan kepada salah satu panti asuhan.

Hal tersebut merupakan kegiatan rutinnya, setidaknya sebulan sekali Mrs. Huxley akan disibukkan dengan pakaian, mainan, makanan kaleng, selimut dan masih banyak lagi.

"Ibu..... ini salah mereka. Kenapa mereka mencampurkan semuanya. Membuat pekerjaan kita semakin bertambah." Clarissa sudah mulai lelah dan menatap semua barang-barang yang berada di ruang keluarga.

"Sudah tidak ada waktu Clarissa, dan cepat bantu ibu. Kau hanya semakin memperlambatnya. Ibu Lupa Floretta dan Alvin sedang keluar. Setidaknya dengan mereka lebih cepat menyelesaikan pekerjaan ini." Mrs Huxley masih memilih-milih dan melihat daftar yang ia buat.

Clarissa semakin menekuk wajahnya, ia pun kesal karena harus menuda perawatan kecantikannya.

"Aku lupa, Ibu harus menghadiri petermuan penting hari inj." Mrs. Huxley sudah bangkit.

"Clarissa panggilah beberapa pelayan untuk membantumu, dan pastikan hari ini selesai." Perintah Mrs. Huxley

"Tapi.. Ibu..."

Ella sudah berada di ruang keluarga, ruangan itu penuh dengan berbagai barang. Clarissa masih saja mengeluh, ketimbang ikut membantunya.

Ella menatap daftar nama anak-anak yang cukup panjang, lengkap dengan nama, jenis kelamin dan usia mereka.

"Ella, percepatlah. Hari ini jadwalku untuk ke salon." Clarissa sudah mulai mengeluh.

"Nona Clarissa, mungkin kalau anda tidak mengacak-ngacaknya tadi. Hal ini akan jauh lebih mudah, dan lebih cepat selesai." Sindir Ella.

"Ah.. terserah kau saja. Aku sungguh pusing dengan semua daftar itu. Ibu ingin semua hari ini selesai, karena besok ibu sendiri yang akan mengantarnya." Ucap Clarissa.

Sudah hampir setengah jam Ella berkutat di ruang keluarga, Clarissa sama sekali tidak membantunya. Dia hanya duduk memantau, dan sibuk memerintah.

Edward Huxley memasuki ruangan keluarga, terlihat dia baru saja pulang. Diam-diam dia menatap Ella yang tidak menyadari kehadirannya.

Ella sedang duduk berhadapan dengan Clarissa, ia sedang membentangkan sebuah dress biru panjanng. Masih sibuk mencocokkan, dengan dafar yang sudah dibuat Mrs. Huxley.

"Edward, kau sudah pulang?" Ucap Clarissa memandang kakaknya, Ella langsung menengok ke arah belakangnya. Edward Huxley sudah memasang wajah datarnya, walaupun sorot matanya masih menatap lurus ke Ella.

"Kalian terlihat sangat sibuk?" Ucap Edward yang mulai melangkah dengan hati-hati, menghindari beberapa barang yang masih tergeletak.

"Kami harus merapikan ini semua, Ibu mengganti para suplier. Mereka mengirim barangnya secara acak. Aaaahhhh.... aku harus segera ke salon hari ini." Clarissa sudah mulai lagi dengan keluhannya.

"Pasti pekerjaan yang cukup menyulitkan bukan." Ucap Edward masih terus berjalan, tapi dengan sengaja ia menyeret halus tangan kanannya di area punggung Ella.

Ella langsung mendongak, ia tau Eward yang berada di belakang punggungnya dengan sengaja melakukannya.

Edward berjalan memutari Ella, dan sudah berdiri di hadapannya.

"Gaun yang bagus." Ucap Edward, kali ini ia sengaja memegang tangan Ella yang sedang memegang gaun tersebut.

Ella semakin melotot, dengan cepat ia menarik tangannya. Tentunya Clarissa tidak menyadari perbuatan kakaknya, ia masih sibuk memandang kukunya yang perlu dilakukan perawatan ulang.

"Hei Clarissa, kalau kau mau pergi ke salon. Pergi sana, dari pada kau hanya duduk disini dan tidak banyak membantu."Ucap Edward.

Mata Clarissa langsung menatap aneh dan tidak percaya, "Tumben sekali??" Ucap Clarissa curiga.

"Kalau kau tidak mau, ya sudah. Aku bisa mengerjakan tugas lain." Edward mulai sedikit mengancam.

Clarissa langsung bangkit, "Tentu saja aku mau, jadwalku hari ini sudah berantakan." Ucap Clarissa dan mulai berjalan meninggalkan.

Entah apa yang direncanakan oleh Edward, tapi Ella benar-benar canggung dengan Edward yang hanya duduk dan memandangnya.

Ella pun pura-pura tidak peduli, ia masih terus merapikan dan mencocokkan semua daftar yang telah dibuat oleh Mrs. Huxley.

"Tuan Edward? Kalau anda tidak ingin membantu, saran saya anda mungkin bisa melakukan hal lain yang lebih penting." Ella sudah tidak bisa menahan kesalnya.

Edward hanya sedikit memberikan senyuman, dan dia senang dengan Ella yang akhirnya berbicara dengannya.

"Hal lain apa? Yang menurutmu harus kulakukan?" Tanya Edward.

"Mana saya tau Tuan Edward." Jawab Ella lebih ketus, Ella sudah hampir selesai dengan semua daftar barang.

Ia sudah meletakkan semua barang didalam kotak-kotak hadiah yang sudah ia tumpuk dengan rapi.

Edward masih saja menontonnya, dan tidak peduli dengan sikap Ella yang sangat ketus kepadanya.

Ella sudah membawa tiga tumpukan kotak ditangannya, hingga menutup pemandangan di depannya.

Edward menyeringai melihat Ella yang terlalu memaksakan dirinya. Ella terlalu ceroboh, niatnya ingin menyelesaikan tugasnya dengan cepat, dan menghindari Edward. Tapi ia terlalu terburu-buru dan tidak melihat meja yang berada di depannya.

Ia bisa merasakan sisi meja yang keras menghantam bagian depan tulang betisnya, ia juga mulai kehilangan keseimbangan dengan kota-kotak yang ia bawa.

Edward dengan cepat langsung menyambar Ella dari belakang. Tubuh ella bersandar di dada Edward yang bidang, sedangkan tangan Edward langsung memeluk Ella bersama kotak-kotak hadiah dari belakang.

Edward membantu menjaga keseimbangan, "Kau harus lebih hati-hati." Edward berbisik ke telinga Ella, dan ia meletakkah wajahnya di pundak Ella.

"Tuan Edward?" Ucap Ella bingung karena Edward masih saja tidak melepaskan pelukannya.

Edward membalikkan badan Ella, ia mengambil kotak yang Ella pegang dan meletakkannya dengan hati-hati di atas meja.

"Duduk." Perintahnya, Ella masih diam dan menatap bingung.

"ku bilang duduk." Edward mulai memaksa, dan Ella pun menurut.

Ella sudah duduk, sedangkan Edward berlutut di depannya. Ia memegangi salah satu kaki Ella dan meluruskannya.

Saat itu Ella sudah menggunakan celana hitam panjang, Edward dengan pelan menggulung celana Ella hingga ke lututnya.

"Tuan Edward, apa yang sedang anda lakukan?" Tanya Ella kembali.

Edward mempehatikan ada lebam merah di kaki Ella, "Apa ini sakit?" Tanya Edward dengan perhatian, Ella menatap tidak percaya ke arahnya.

Seorang Edward Huxley tiba-tiba peduli dengan luka kecilnya. Padahal sering kali Ella menerima luka yang lebih dari itu.

Ella pun dengan cepat berdiri, Tapi Edward sudah menarik lengannya dengan kencang. Membuat Ella terhempas dan kembali duduk di kursinya.

Kaki Edward sudah ia senderkan disisi kursi diantara kaki Ella, tangannya sudah ia rentangkan dengan panjang ke arah sandaran kursi.

Edward sudah membentengi Ella, ia yakin Ella tidak akan bisa pergi meninggalkannya begitu saja. Wajah Edward tertunduk, menatap Ella yang sudah tersudut.

"Tuan Edward, saya yakin akan ada kesalah pahaman jika ada yang melihat kita seperti ini." Ucap Ella yang juga medongak untuk menatap Edward yang berada di atasnya.

Edward sangat jelas melihat wajah Ella, Ella sudah bukan lagi seorang gadis kecil.

Ia sepertinya baru sadar, kalau Ella sudah tumbuh menjadi wanita yang sangat menariknya.

Edward menyentuh rambut Ella dengan perlahan, ia juga menyentuh setiap sisi wajah Ella dengan jari jemarinya. Seakan-akan sedang mempelajari wajah Ella.

Kulit wajahnya yang halus tanpa ada bintik-bintik layaknya orang-orang Britain pada umumnya.

Warna kulitnya juga tidak terlalu gelap, tapi berwarna cokelat muda itu, semakin membuat Ella terlihat sangat manis dan cantik.

Ditambah dengan bentuk matanya yang bulat, dan berwarna hitam. Serta dagunya yang runcing, dengan wajahnya yang tirus.

Ella juga memiliki alis yang natural dan tebal, hidungnya yang mancung dan bibirnya berbentuk dan tebal membuat Edward tergoda.

Seketika Edward berpikir, ingin sekali ia menerkam gadis yang ada di depannya.

"Tuan Edward?" Ucap Ella, membuyarkan lamunan Edward.

Edward langsung menghentikan jari jemarinya yang sedari tadi menggerayangi wajah Ella.

Edward sudah berdiri tegap, kali ini ia sudah tidak membentengi Ella. Wajah Edward mulai memperlihatkan expkresi kecewa.

Ia tidak berbicara sama sekali, justru malah meninggalkan Ella diruangan tersebut. Tapi Ella sendiri merasa ada yang mengganjal di hatinya, melihat Edward memperlakukannya seperti itu.

avataravatar
Next chapter