16 Masa Kelam

Sudah hampir satu Minggu Ini Laras bersikap aneh. Ella sangat curiga dengan tingkah laku ibunya.

Setelah ia mendesak, akhirnya ia mengetahui apa yang membuat ibunya kesal, dan selalu menghindar darinya.

"Tidak Ella !!! Dan dengarkan ibu, ibu tidak mau kau....." Laras tidak melanjutkan perkataannya. Matanya menatap ke segala penjuru dapur, yang hanya berisikan mereka berdua.

"Ibu tidak ingin, kau menjadi mainannya. Percayalah ibumu ini, tau mana pria yang baik untukmu. Bagaimana dengan Ron?" Ucap Laras kembali.

"Ibu.. kami hanya berteman. Dan Tuan Edward orang yang baik..."

"Astaga Ella... Ella Amber...!! setelah apa yang dilakukannya olehmu selama ini... Dan sekarang kau buta hanya karena cinta sesaat..." Laras memotong ucapan putrinya dan menatap dengan galak.

"Ingat siapa kita, dan siapa DIA.. Sudah ibu tidak ingin berdebat lagi.. ibu sudah sangat kesal dengan tingkah lakumu... "

"Dan ingat hari ini jadwalmu untuk menemui dokter Alfred, dan berangkatlah sendiri masih banyak pekerjaan yang harus aku kerjakan."

Laras yang kesal sudah pergi meninggalkan Ella sendiri diruang dapur.

Ella sudah bersiap-siap, ia sudah memesan taksi untuk mengantarnya ke rumah sakit. Dari pagi ia belum bertemu dengan Edward, mungkin ini memang waktu yang pas untuk tidak bertemu sementara.

Ella sudah menceritakan kisahnya kepada Laras, ibunya sudah mencurigai sejak kencan pertamanya yang gagal.

Dan begitulah, Laras menjadi marah dan tidak akan pernah mau anaknya menjalin hubungan dengan Edward Huxley.

Ella mendengar ponselnya berdering, sebuah pesan singkat terpampang di layarnya. Edward yang mengiriminya pesan, dan mengatakan akan mengantarnya untuk pergi ke rumah sakit.

Ella masih menutup mulutnya, dan masih berpikir bahwa ini keputusan terbodohnya. Edward Huxley sudah berada di sampingnya, menatap serius jalan yang berada didepannya.

"Ella..?" Panggil Edward dengan pelan.

"YAA??" Jawab Ella dengan nada tinggi dan aneh. Edward langsung menahan senyumnya, dengan tangannya.

"Apa yang sedang kau pikirkan?" tanya Edward.

"Apa kau tau Tuan Edward? Setelah ini semua orang di kediaman anda akan membuat gosip mengenai kita." Jawab Ella.

"Tidak jadi masalah, karena kita berpacaran bukan." Ucap Edward.

"Apa?? Kapan kita berpacaran, saya tidak pernah merasa anda pernah...."

"Apa kau tidak dengar, tadi aku sudah memintamu untuk menjadi pacarku bukan." Ucap Edward menyeringai senang.

"Mana bisa seperti itu... Ahh... Tuan Edward, ibuku bisa menghabisiku!"

"Tidak... dia pasti akan membelahku menjadi dua bagian, jika dia tahu kau mengantarku ke rumah sakit." Ucap Ella, Sambil memperagakan dengan tangan kanannya, yang seakan-akan menjadi sebuah  pisau yang tajam.

Edward pun tertawa melihat Ella yang tampak putus asa. 

"Ayahku, juga tidak menyetujui hubungan kita. Sepertinya kita -benar berjodoh, Ella."

Ella menepuk jidatnya sendiri, "Sungguh? Lengkap sudah penderitaanku... Astaga... Tuan Edward kau akan membuat kita dalam kesulitan yang besar."

"Hei... panggil aku Edward, mulai sekarang kau adalah pacarku. Dan aku tidak peduli dengan ayahku. Dan mengenai ibumu... Aku yakin bisa mendapatkan perasaannya." Ucap Edward seraya menggenggam tangan Ella dengan tangan kirinya.

***

Rumah Sakit.

"Ok, kita akan melakukan ini dengan hati-hati." Ucap Alfred memegang lengan kiri Ella. Gyp yang menempel di kaki dan tangan Ella kali ini sudah terlepas, membuat dia bisa sedikit bergerak bebas.

Ella menggerakkan tangannya, lalu ia putar perlahan.

"Apa ada yang sakit?" Tanya Alfred, sedangkan Edward terus menatap Ella.

"Tidak ada dokter," Jawab Ella..

"Ok, kalau begitu. Sekarang kita akan mencoba dengan kakimu." Alfred mulai memberikan tangannya untuk Ella, agar ia bisa berpegangan padanya.

"Hei... Alfred.. biar aku saja." Ucap Edward yang langsung mengambil alih.

"Hhh.... pacarmu ini sangat cemburuan sekali ya, Nona Ella." Sindir Alfred.

Edward tampak tidak peduli, Ella hanya canggung dan malu dengan tingkah Edward yang berlebihan.

"Ayo, pegang tanganku dan hati-hati pada langkahmu sendiri." Edward sudah siap dengan ancang-ancangnya.

Ella memegangi tangan Edward, ia pun mulai beranjak dari duuknya dan berdiri dengan hati-hati.

Ella sudah melangkahkan kakinya, sambil memegangi tangan Edward dengan genggaman yang kuat. Ella sedikit tergelincir, karena ia terlalu gugup dengan langkah pertamanya.

Tapi Edward sudah memeluk dan memeganginya dengan erat, mereka pun saling memandang dalam jarak dekat.

"Apa kau baik-baik saja, Ella?" tanya Edward. 

"Eh... ya... aku baik-baik saja," jawab Ella kikuk.

Alfred harus berdeham dengan kencang agar bisa mendapatkan perhatian keduanya, ketika keromantisan antara Ella dan Alfred membuat dirinya merasa tak nyaman.  dengan situasi yang menjadi canggung.

"Apakah kita bisa mesa melanjutkan pemeriksaan? Karena aku masih memiliki banyak pasien yang menunggu. Mungkin kalian bisa menghabiskan waktu kalian berdua, setelah kita menyelesaikan sesi inii." Ucap Alfred.

"Tentu saja," ucap Ella dan Edward bersamaan. 

Usai pemeriksaan, akhirnya Ella dan Edward sudah keluar dari ruangan Dokter Alfred. Edward masih tampak sigap memegangi lengan Ella, siapa tahu gadisnya akan jatuh karena langkah kakinya yang sulit. 

"Edward.. " Ucap Ella yang berjalan di lorong rumah sakit, dan Edward berada di sampingnya.

"Ya.. ?"

"Kau tidak perlu memegangi tanganku, aku tidak akan terjatuh, tadi itu karena aku terlalu gugup. Jadi lepas saja genggaman tanganmu." Jawab Ella.

"Kenapa? apa kau merasa malu dengan perhatianku?"

"Bukan begitu Edward da kumohon jangan salah paham. Tapi... Ahh... kau bersikap aneh seharian ini. Sepertinya kau harus memeriksakan kesehatanmu juga," ucap Ella sedikit kesal.

Secara bersamaan, Alan Smith dan putrinya Abigail sedang berjalan dari arah berlawananan. Langkah mereka menjadi pelan, karena melihat Edward bersama dengan Ella.

"Edward?" Ucap Alan bingung, Abigail melirik ke arah genggaman tangan Edward dan terlihat kesal.

"Siang Mr.Smith. Apa anda sedang ada kunjungan rutin disini?" Ucap Edward dengan sopan.

Alan tidak langsung menjawab, ia menatap Ella dengan pandangan yang lama, "Mr.Smith?" Ucap Edward kembali.

"Ohh... maaf... ya kau benar, Edward. Hanya sebuah agenda rutin, aku dan Abigail mengurus beberapa pekerjaan disini." Ucap Alan singkat.

"Kalau begitu kami permisi dulu Mr.Smith. Kami tidak ingin mengganggu agenda anda." Ucap Edward seraya menarik lengan Ella, lalu segera membawa pergi dari situasi yang canggung dan tidak nyaman. 

Abigail masih saja diam, tapi sorot matanya tidak lepas dari punggung Ella yang sudah mejauh. Bahkan terlihat jelas, ketidak sukaannya dengan Ella.

"Ayah, bukankah dia pelayan yang bekerja di keluarga Huxley?" tanya Abigail dengan volume suara yang cukup kencang.

Ella dan Edward memang sudah berjalan memunggungi mereka, tapi suara Abigail sangat terdengar jelas.

Edward semakin menggenggam tangan Ella. Dia tahu kalau Ella bisa mendengar ucapan Abigail yang pastinya akan membuat Ella menjadi tidak nyaman.

***

Kediaman Huxley.

"Thomas apa maksud ucapanmu?" tanya Mrs. Huxley menatap suaminya dengan bingung.

"Aku ingin kau memberhentikan mereka berdua... Ella dan Laras, terserah dengan alasan yang akan kau jelaskan kepada mereka berdua." Ucap Thomas kesal.

"Tapi.. kenapa? selama ini mereka tidak melakukan kesalahan apapun, mereka bekerja dengan baik."

"Emma, aku tahu kalian berteman. Aku pun menerima wanita jalang itu karena kau yang meminta dan memohon padaku. Agar Laras dan Ella, bisa bekerja dan tinggal disini. Tapi aku tidak akan membiarkan dia menjadi bagian keluarga kita." Ucap Thomas dengan amarah yang tinggi.

"Apa maksudmu?" Ucap Emma yang bingung. 

***

Flashback

Sebuah tempat dengan lingkungan yang terlalu kumuh dan kotor, banyak orang yang sedang duduk santai atau hanya sekadar berbincang sambil menghabiskan beberapa putung rokok dengan banyak kepulan asap tipis.

Wanita dengan rambut cokelat gelap dengan panjang sebahu, sedang berbincang dengan seorang pria didalam mobil.

Tidak lama wanita itu keluar dengan membanting pintu, dan mengumpat serampah dari mulutnya yang kecil.

"Kau pikir ada yang GRATIS! di dunia ini!!" Ucap wanita itu kesal, ia masih berusaha memberikan tendangan kakinya kearah mobil yang sudah berjalan.

"Bibi Emma, apa yang sedang kau lakukan. kenapa kau terlihat sangat marah?" Ucap Ella kecil dengan bingung.

"Ella!! kenapa kau bisa ada disini? Kau tidak boleh ada disini, dan dimana ibumu?" Tanya Emma.

Ella menunjuk ke sebuah restoran kecil yang tidak jauh dari tempat ia berada. "Kembali ke Laras, dan aku tidak mau jika kau menyusulku lagi, apa kau paham?" Ucap Emma.

"Aku tidak suka menunggu, kadang ibu terlalu lama berada didalam." Ucap Ella dengan polos

Emma memegang pundak Ella, dan menatapnya dengan simpati. "Ella, apa kau ingin melihat ibumu bersedih?"

Ella menggelengkan kepalanya, "Kalau begitu, kau harus menuruti semua perintah ibumu."

Ella mengamgguk, Emma pun tersenyum melihat gadis kecil itu masuk kedalam restoran. Walaupun ada rasa simpati yang sangat besar pada anak kecil yang tidak tahu apa yang sedang dikerjakan oleh ibunya.

Usai hari yang panjang, Laras bersama dengan Emma memutuskan untuk mengajak Ella bermain di sebuah taman.

"Aku tidak bisa melakukan perkerjaan ini lagi," ucap Laras, "Aku menerima pekerjaan paruh waktu untuk membantu mencuci di bagian dapur."

"Apa kau yakin, Laras?" tanya Emma tidak yakin.

"Aku sangat yakin, demi putri kecilku aku harus berhenti melakukan pekerjaan kotor ini. Ahh... maafkan aku Emma. Aku tidak bermaksud untuk menyinggungmu."

"Tidak apa-apa Laras, memang pekerjaan ini tidak pantas untukmu yang sudah menjadi seorang ibu. Bahkan aku pun menjadi iri, aku juga ingin memiliki keluarga kecil sepertimu." Ucap Emma dengan sedih.

"Kau tidak akan mencari pria itu, kau bisa saja meminta sejumlah uang. Katakan itu untuk kebutuhan Ella," ucap Emma menatap wajah Laras.

Laras tidak langsung menjawab, dan dia memperhatikan Ella yang masih asik bermain dengan ayunannya.

"Ella, pelankan... jangan terlalu kencang!" Teriak Laras dari kejauhan.

"Tidak Emma, pria itu sudah kuanggap mati. Lagi pula aku tidak mau merusak rumah tangga orang. Walaupun aku tahu itu bukan salahku sepenuhnya." Jawab Laras.

Emma tertawa kecil mendengar pernyataan temannya.

"Emma.. sekali lagi maafkan aku.. bukan maksudku menyinggungmu." Laras semakin merasa bersalah.

"Tenang Laras, aku sama sekali tidak tersinggung dengan semua ucapanmu."

"Semenjak aku mengenalmu dan Ella, pandangan hidupku sedikit-sedikit berubah." Ucap Emma.

"Jadi bagaimana dengan kau sendiri da pria itu? Apakah kalian masih berhubungan?" Tanya Laras.

"Hmm... Awalnya aku tidak peduli, dengan keluarganya. Bahkan ketika istrinya memergoki kami, tengah asik berduaan di tempat tidur. Sungguh, aku benar-benar tidak peduli." Ucap Emma dengan sungguh-sungguh.

"Kenyataannya, pria itu yang datang sendiri padaku. Mulai mengeluhkan pertengkaran yang terlalu sering dengan istrinya, bagaimana dia dan istri semakin menjauh." Emma mulai tertawa lagi mengingat kenangannya bersama Thomas.

"Tapi kau mencintainya bukan?" Laras memotong pembicaraan temannya.

Emma menatap wajah Laras, ia pun mulai berkaca-kaca.

"Yah aku mencintainya Laras. Dia pria yang berbeda, dia memperlakukanku layaknya aku adalah wanita yang sangat berharga untuknya."

>>>

"Tapi saat aku melihat kau dan Ella, perasaanku menjadi merasa bersalah. Thomas memiliki dua anak yang masih kecil, aku tidak mau..." Emma sudah menangis tersedu-sedu, dia tidak bisa melanjutkan perkataannya.

Laras hanya bisa memberikannya sebuah pelukan hangat sebagai temannya.

Malam hari itu  Emma berlari-lari di lorong rumah sakit. Thomas menghubunginya dan mengatakan hal yang sangat mengerikan.

Thomas sedang menyandarkan punggungnya pada dinding yang dingin, air matanya masih ia tutupi saat itu. Emma yang baru saja tiba, langsung memeluknya dengan erat.

"Apa itu benar? apa kau yakin?" tanya Emma masih memeluk Thomas.

"Kami bertengkar malam itu, dan aku katakan bahwa aku ingin berpisah darinya. Tapi dia menolaknya, lalu mengatakan lebih baik mati daripada hidup menderita," ucap Thomas dalam kesedihannya.

"Aku memutuskan untuk pergi keluar rumah, bahkan aku ingin menemuimu Emma. Hingga Alvin menelponku dan mengatakan..... bahwa ia menembakkan kepalanya sendiri. Dan itu ia lakukan didepan Clarissa... Wanita itu sungguh gila Emma... dia sudah gila.." ucap Thomas mulai meraung-raung dengan air mata.

"Tenanglah Thomas, kau harus kuat. Kau juga terlalu cepat mengambil keputusan. Bukankan sudah kubilang, hubungan kita sudah berakhir, harusnya kau bisa memperbaiki kembali hubunganmu dengan istrimu." Emma mulai melepaskan pelukannya,

"Dan bagaimana dengan kondisi putrimu?" tanya Emma kembali.

"Aku takut ia akan menjadi gila seperti ibunya." Ucap Thomas sedih.

Emma dengan hati-hati membuka pintu kamar, Dia mendengar jelas suara anak kecil yang berteriak histeris.

Ada dua perawat yang terlihat kewalahan menangani Clarissa, anak kecil itu memberontak dengan amat kuat.

"Clarissa..?" Panggil Emma dengan hati-hati, dan terus berjalan mendekati anak kecil tersebut.

Clarissa langsung terdiam, ia menatap ke arah Emma yang sudah sangat dekat dengannya. Emma langsung memberikan aba-aba kepada perawat agar mereka bisa pergi dan meninggakan mereka berdua.

"Clarissa, apa kau baik-baik saja? Apa kau haus?" tanya Emma tersenyum, Clarissa terus memandang wajah Emma dengan seksama dan tanpa berkedip.

Clarisa tiba-tiba saja memeluk Emma, "Mommy..... mommy jangan pergi.... mommy.... mommy...."

Seorang anak laki-laki kecil baru tiba di pintu kamar, baru saja ia ingin menjenguk adiknya. Disamping berdiri Thomas yang menatap tidak percaya dengan apa yang dilihatnya.

"Clarissa, dia bukan mommy..." Teriak Edward kecil, tapi Clarissa tidak peduli dan masih terus memeluk Emma yang ia anggap sebagai ibunya.

"Clarissa saat ini mengalami amnesia," Jelas dokter tersebut, dan mengamati hasil pemeriksaan kesehatan milik Clarissa dari balik kaca matanya yang tebal.

"Amnesia? Tapi bagaimana bisa?" Thomas tidak percaya, Emma sudah menahan emosi pria tersebut.

"Tenang Thomas, biarkan dokter memberikan penjelasan."

"Mr. Huxley, saya yakin pemahaman anda mengenai Amnesia hanyalah sebatas cerita di sebuah film."

"Jelas sekali putri anda mengalami shock emosional yang besar, atas apa yang ia lihat saat kejadian malam itu."

"Sebagian saraf-saraf yang ada di otaknya ingin dia melupakan ingatan pada saat kejadian malam itu. Tapi sebagian lagi, ingin dia tetap terus mengingatkan pada malam kejadian dimana Clarissa kehilangan ibunya." Dokter itu menghela napas nya dan masih berpikir.

"Tapi mengapa Clarissa berpikir jika saya adalah ibunya?" Tanya Emma.

"Seperti yang saya beritahu, Clarisa sangat ingin melupakan kejadian malam itu. Dengan seperti itu, ia bisa berpikir bahwa ibunya masih dalam keadaan hidup." Dokter itu kembali menjelaskan.

Dan semenjak itulah, Emma menjadi bagian keluarga Huxley. Walaupun putra pertama mereka masih belum mau menerima keberadaannya.

Bahkan Emma menolong Laras untuk bekerja di keluarga Huxley. Tapi Thomas, memberikan catatan khusus kepada dua orang wanita tersebut. Agar mereka bisa menjaga rahasia mengenai masa lalu mereka masing-masing.

avataravatar
Next chapter