webnovel

The Wedding (3)

"Pernikahan Marquis Hadrian Melchoir dengan Rheannon Whitley?"

"Ya, itu benar, Uskup Meical. Rencananya akan diselenggarakan di sini karena alasan privasi dan keamanan. Hanya akan ada pemberkatan tidak akan mengundang banyak tamu, hanya beberapa saksi saja."

"Siapa saja rencananya yang akan diundang?"

"Yang Mulia Raja, Duke Colton beserta putranya, tiga orang dari Marquis Hadrian, dan dua saksi dari Istana."

Uskup Meical mengernyitkan alisnya heran. "Itu benar-benar sedikit orang untuk pernikahan seorang marquis," komentarnya. "Terlebih lagi, untuk seorang pahlawan Rexton."'

"Mengingat alasan di balik pernikahan tersebut…" Pendeta pembawa pesan menggelengkan kepalanya sungkan. "Mohon maaf karena saya mengatakan hal buruk."

"Tidak mengapa, Nak." Uskup Meical tesenyum. Dia melipat jemarinya di atas meja. "Lalu bagaimana dengan Pangeran Axelle?"

"Menurut pengakuan Istana, Pangeran Axelle sudah menolak undangan tersebut."

"Terima kasih atas pemberitahuannya," ucap Uskup Meical. "Saya akan mulai mempelajari apa saja yang perlu dipersiapkan dalam pernikahan penting ini. Kamu bisa pergi."

"Baik, saya permisi dulu."

Begitu sendiri di ruangannya, Uskup Meical melepaskan tawa yang sudah ditahan-tahannya.

Berita barusan tidak seberapa mengejutkannya karena utusan rahasia Raja Rexton V sudah memberitahu sebelumnya. Semua, kecuali yang terakhir itu.

Axelle Rexton.

Pangeran terbuang itu memiliki kekuatan suci yang besar, meski Uskup Meical tak yakin sudah seberapa besar kekuatannya sekarang. Dengan kekuatannya yang besar itu, dia menduga Axelle sudah mengetahui apa yang sebenarnya terjadi Kuil Beulah maupun di Istana, makanya Axelle selalu menghindari pertemuan-pertemuan dengannya.

Bukannya melawan, malah diam saja. Sungguh khas Axelle.

"Memang benar apa kata Yang Mulia Raja. Pangeran Axelle memang anak yang manis."

Situasi yang lucu dan bodoh. Padahal kalau Axelle mau, dengan kekuatannya yang sekarang, dia pasti bisa saja merebut takhta. Menjadi Paus di benua ini atau menghancurkan Rexton pun sepertinya dia bisa.

[Itulah sebabnya manusia yang tunduk pada Dewa tidak pernah berkembang. Mereka selalu merasa semuanya terlalu berlebihan dan tidak pantas untuknya. Kehidupannnya terlalu dibayangi ketakutan.]

"Hihihi. Itu benar."

***

Townhouse Duke Colton merupakan bangunan yang megah dengan taman belakang yang indah. Kesannya terbilang ceria, sangat berkebalikan dengan kesuraman Duchy of Colton dari cerita-cerita yang pernah Axelle dengar. Dia sendiri tidak pernah ke sana jadi tidak tahu pasti sesuram apa tempat itu. Yang jelas, kamar tahanan sementaranya di townhouse ini jelas jauh lebih baik daripada sel kecil nan gelapnya di bawah tanah Istana.

Axelle tidak ingat bagaimana. Lebih tepatnya, dia sengaja tidak ingin ingat bagaimana dia bisa berada di sini. Dia hanya ingat berpelukan dengan Elias dan beberapa orang lainnya di bagian entah mana Istana, lalu detik berikutnya saat membuka mata dia sudah berada di salah satu kamar townhouse Duke Colton.

Setelahnya, dia mendengar kabar yang cukup mengejutkan.

"Anda tidak salah dengar, Pangeran. Rheannon akan dinikahkan dengan Marquis Hadrian karena alasan keamanan dan keberlangsungan kerajaan tercinta kita ini," kata Duke Colton. "Dan, Anda mendapat undangan sebagai saksi."

"Di mana… permberkatannya?" tanya Axelle.

"Di Kuil Beulah."

Sudah jelas siapa yang akan memberi pemberkatan. "Aku…"

"Tidak akan memenuhi undangan tersebut, kan?"

Axelle tertegun sesaat, kemudian mengangguk kecil. "Maaf…"

"TIdak apa-apa, saya mengerti," kata Duke Colton. "Keadaan Pangeran juga belum pulih sepenuhnya. Beristirahatlah yang nyaman sambil memikirkan langkah selanjutnya."

Langkah selanjutnya, ulang Axelle dalam hati. Setelah mendapat pengampunan atas perbuatan kriminal besarnya, tidak akan ada tempat bagi Axelle. Gelar "pangeran"-nya memang tidak dicabut, tapi masyarakat pasti sudah tidak menganggapnya lagi. Belum lagi orang-orang Axelle. Begitu mereka keluar dari Istana, mereka bukan siapa-siapa lagi. Tidak akan ada pekerjaan di luar sana untuk mereka.

"Sebenarnya apa yang harus kulakukan sekarang?" bisik Axelle sambil menatap keluar jendela kamar tahanannya yang menghadap langsung ke taman.

"Pernikahan Rhea tiga hari lagi dan kau belum memutuskan apa pun juga?" Chas masuk begitu saja ke kamar yang ditempati Axelle tanpa permisi. "Tiga hari lagi kau juga akan lepas sepenuhnya dari Istana maupun bangsawan manapun."

Axelle memandang ketidaksopanan Chas lelah. "Mohon maaf, Tuan Chas. Jika Anda ke sini hanya untuk mengejek, sebaiknya Anda keluar."

Chas bersiul. "Raja sepertinya benar kalau kau jadi sedikit lebih pemberani dari sebelumnya–walau masih kurang. Tenang saja, aku ke sini untuk membantumu berpikir," katanya sambil tersenyum miring. Dia duduk di sofa yang tersedia. "Yang menjadi masalahmu adalah kau tidak pernah meminta tolong. Kau punya pelayan secakap Pak Elias dan para kesatria yang setia, tapi malah membiarkan mereka hidup dalam pekerjaan sehari-hari yang remeh. Kau melakukan itu karena berpikir yang penting kalian hidup tenang tanpa pernah sekali pun bertanya hidup tenang seperti apa yang sebenarnya mereka inginkan."

Karena tidak ada yang lebih penting daripada kesalamatan mereka, orang-orang yang masih berani melayani dan bersumpah setia padanya. Axelle sudah kehilangan banyak orang, jadi sudah menjadi tugasnya untuk menjaga mereka yang masih tersisa.

"Tapi meski begitu, ujung-ujungnya kau penasaran juga," lanjut Chas. "Kau ingin tahu apa yang sebenarnya terjadi, makanya kau mencari dan membebaskan Rhea. Sayangnya, kau melakukannya tanpa mengatakannya pada siapa pun. Bisa dibilang, Pangeran sudah bertindak ceroboh."

"Tuan Chas sudah tahu jika tindakanku adalah tindakan yang ceroboh. Bayangkan kalau dari awal aku mengatakannya pada entah siapa, Yang Mulia Raja pasti sudah membunuh semua orang," kata Axelle.

"Nah, persetan dengan semua itu sekarang, kan? Rhea sudah bebas dan kau sebentar lagi akan didepak dari garis keluarga kerajaan–begitu pula dengan orang-orangmu. Jadi apa lagi yang kau takutkan?"

Axelle mengembuskan napas panjang. Dia tahu ke mana arah pembicaraan ini. "Tuan Chas, orang-orangku tidak bisa mengikutiku terus. Aku sudah bukan siapa-siapa lagi dan tidak memiliki apa-apa lagi. Mungkin masih ada tempat untukku di luar sana, tapi tidak untuk mereka."

"Apa kau pikir pengkhianat Raja Rexton V hanya kalian saja?" Chas melipat tangannya di depan dada. "Tanyakan pada Elias, bangsawan mana saja yang masih mendukungmu selain keluarga Colton."

"Apa?"

"Pangeran Axelle." Nada bicara Chas berubah menjadi serius. "Anda bisa hidup dengan damai dan tenang jika mengetuk kediaman keluarga mendiang Ratu. Reputasi keluarga beliau memang sedikit memburuk karena kudeta, tapi aku yakin Viscount Tarquin pasti akan menerimamu dengan tangan terbuka. Beliau juga pasti mau menerima beberapa orangmu untuk bekerja di wilayah mereka."

"Tapi–"

Chas memotongnya. "Itu hanya jika Pangeran masih bersikeras untuk hidup tenang. Tapi kalau Pangeran masih ingin mengetahui yang sebenarnya, asahlah kekuatan suci Pangeran. Pergilah ke Kota Suci Zion. Di sana ada pendeta tua yang bisa diandalkan, adikku Marioline akan membantu Anda selama di sana," jelasnya. "Orang-orang Pangeran bisa menyebar ke wilayah-wilayah bangsawan pendukung Pangeran untuk menghimpun kekuatan, informasi, dan rencana."

Ini jelas rencana kudeta.

Apakah Axelle sanggup melakukannya?

"Perlu Pangeran ketahui kalau keluarga Colton sama sekali tidak bermaksud untuk menyetiri Anda." Chas berdiri dari duduknya, hendak keluar. "Kami hanya sedikit memberi saran dan pengarahan karena Pangeran terlihat belum kesusahan menata pikiran. Tentu saja, agenda di baliknya adalah untuk menyelamatkan kerajaan tercinta ini. Tenang saja, kami tidak akan bergerak jika tak ada pemimpin yang menginginkan takhta."

"Aku… tidak menginginkan hal itu…"

"Pangeran, menduduki takhta bukan cuma soal menjadi penguasa. Dengan memiliki takhta dan kekuasaan, Anda bisa menolong banyak orang yang sudah disesatkan dan dibutakan di luar sana. Bukankah itu yang sebenarnya paling ingin Anda lakukan?"